Let's Break The Spell!


Aku memakaikan masker ke wajah Luc saat para pekerja menempelkan peledak di dinding tambang. Aku pun memakai maskerku sendiri.


"Kau siap?" tanyaku kepada Luc yang membenahi topi rajutnya.


Luc mengangguk.


"Ayo." Aku mendorongnya menuju lorong seberang untuk berlindung.


Pria berumur empat puluhan tahun yang berpakaian serba putih di sampingku memberi isyarat dengan tangannya kepada pria botak di depan kami.


"Semuanya berlindung!" teriak pria botak itu.


Mendengar perintah bos mereka, para pekerja bergegas menurutinya.


Vince, pria serba putih tadi kembali memberikan isyarat. Kali ini, isyarat diberikan kepada pria dengan seperangkat peralatan di depannya. Kami semua menutup telinga sebelum pria itu menekan tombol peledak di tangannya.


Ledakan yang dihasilkan mengakibatkan tambang bergetar hebat. Untuk sesaat, aku mengira tambang yang kami masuki ini akan runtuh.


Kami mengulurkan kepala ketika kabut debu telah menghilang. Tampak lubang besar menganga dari dinding yang ditempeli peledak tadi.


Vince menepuk bahuku, lalu ia menyalakan senter dan beranjak mendekati lubang dengan hati-hati. Aku dan Luc mengikutinya. Begitu juga beberapa pekerja lainnya.


Cahaya dari lampu senter menyinari ruangan yang ada di balik lubang. Kami semua memandang kagum melihat apa yang terhampar di hadapan kami saat ini.


Harta Kerajaan Carabi yang hilang. Harta berlimpah milik kerajaan terbesar dan terkuat sepanjang sejarah, yang dinyatakan hilang sejak kejatuhan Kerajaan Carabi 700 tahun yang lalu.


Aku dan Luc melangkah hati-hati, melewati barang antik, senjata, tumpukan koin emas, dan benda bersejarah lainnya yang berserakan. Kami berdua memandang ke sekeliling, mencari simbol burung hantu di ruangan yang sangat luas ini.


"Akhirnya, setelah pencarian selama 130 tahun ...," kata Vince, merentangkan kedua tangannya, mengagumi ruangan itu.


Keluarga Vince telah mencari Harta Kerajaan Carabi selama empat generasi hanya dengan sebuah petunjuk di selembar perkamen tua berusia sekitar 700 tahun atau lebih.


Vince sebagai pemimpin serikat Pemburu Harta Karun yang mendengar keahlianku segera menyewaku untuk menemukan Harta Kerajaan Carabi.


Jujur saja, mencari harta karun dengan hanya sebuah petunjuk adalah hal yang mustahil. Tapi tidak bagiku.


"Caz!" Vince berbalik menghadapku.


"Ya, Tuan Vince?"


Senyum lebar mengembang di wajah pria itu. "Sesuai janjiku, kau boleh mengambil apa saja yang kau inginkan dari Harta Kerajaan Carabi yang kita temukan ini."


Sebelum aku menjawabnya, aku melihat Luc melambai-lambaikan tangannya dengan senyum aku-menemukannya-di-sebelah-sini.


"Seperti janjiku kepada Anda, Tuan Vince. Aku hanya akan mengambil satu benda dari ruangan ini." Aku berjalan mendekati Luc dan Vince mengikutiku.


Ada alasan mengapa aku menerima tawaran Vince untuk mencari Harta Kerajaan Carabi ini.


Luc menunjuk simbol burung hantu yang ada terukir di dinding bagian bawah. Simbol tersebut adalah bagian dari sebuah lukisan dinding. Lukisan abstrak yang didominasi oleh warna putih, abu-abu, dan hitam.


Aku mengambil pisau lipat dari saku dan menusuk ibu jariku hingga berdarah. Aku lalu menorehkan darahku ke simbol burung hantu, mengikuti setiap lekuk ukiran simbol. Setelah selesai, simbol itu bercahaya. Lukisan abstrak di dinding bergerak-gerak seolah menjadi hidup dan membentuk gambar burung hantu yang sangat besar.


"Demi Tuhan, apa yang terjadi di sini?" seru Vince terperanjat melihat pemandangan di depan kami. Terdengar pula teriakan kaget dan gumaman tidak jelas dari para pekerja yang ada di belakang kami.


Akhirnya lukisan itu berhenti bergerak. Kini simbol burung hantu telah berpindah posisi ke bagian atas dinding, tepatnya di dahi gambar burung hantu yang terbentuk oleh lukisan dinding.


"Luc."


Luc melompat tinggi dan menekan simbol bercahaya itu setelah mendengar aba-aba dariku. Ia pun mendarat dengan anggun. Aksi Luc ini membuat Vince dan para pekerja ternganga. Detik berikutnya, lantai tempat kami berpijak bergetar disertai bunyi seperti siulan panjang. Lukisan tadi kembali bergerak seolah terhisap ke dalam simbol. Dinding tempat simbol perlahan-lahan menonjol, dan akhirnya simbol itu terpisah dari dinding. Untuk sesaat simbol itu mengeluarkan cahaya yang sangat menyilaukan mata. Ketika kami menengadah, simbol burung hantu telah berubah bentuk. Dengan sigap, kutangkap benda hitam sepanjang kira-kira 30 cm yang meluncur turun itu.


"A ... Apa ...," Vince tergagap.


"Suling Hitam Penyihir," jawabku singkat, memperhatikan sejenak wujud benda hitam yang adalah sebuah suling, kemudian menyimpan suling hitam dengan corak burung hantu tersebut ke dalam tasku.


Vince melotot. Beberapa pekerja langsung kabur keluar ruangan mendengar jawabanku, sedangkan yang lain komat-kamit mengucapkan doa. Hal ini tidak mengherankan karena di dunia ini para penyihir sangat ditakuti sama halnya dengan para iblis. Orang-orang percaya bahwa penyihir adalah keturunan iblis karena kutukan yang diberikan mereka membawa umat manusia pada penderitaan bahkan kematian.


Tapi aku tahu semua itu tidaklah benar.


"Tuan Vince," kataku seraya menjabat tangannya erat-erat, "terima kasih banyak atas bantuan Anda."


Vince tampak kebingungan, membuka mulut untuk mengucapkan sesuatu tapi tidak ada suara yang keluar.


Aku mengangguk mengerti, memberi hormat kepada pria itu untuk terakhir kalinya, dan berjalan meninggalkan ruangan penuh harta bersama Luc.


***


Aku menutup pintu kompartemen kereta api. Menarik tirai jendela di dekat pintu kompartemen hingga tertutup, sementara Luc melemparkan topi rajut merahnya ke sofa, memperlihatkan telinga anjingnya yang selalu disembunyikan di bawah topi rajut. Ia lalu menjatuhkan diri ke sofa yang sama.


"Kau lelah, Adik Kecil?" Aku mengacak-acak rambut ikal coklatnya setelah menggantung mantelku. Telinga anjing Luc bergerak-gerak.


"Tidak. Hanya saja memakai topi rajut membuat telingaku gatal," jelasnya sambil membelai kedua telinganya, berusaha menghilangkan rasa gatal.


Aku tersenyum prihatin. Aku bisa mengerti perasaannya. Memang tidak nyaman memakai topi rajut hampir setiap waktu. Namun, hal ini harus dilakukan bila tidak ingin jati diri Luc sebagai siluman terungkap.


Aku duduk di sofa yang berseberangan dengan sofa yang diduduki oleh Luc. Aku mengeluarkan barang-barang dari tas dan meletakkannya di sampingku. Luc memperhatikanku dengan seksama.


"Gulungan Ottorf, pisau pusaka Escarr, dan Suling Hitam Penyihir," gumamku. Akhirnya semua benda yang diperlukan telah lengkap. Butuh waktu hampir lima tahun untuk mengumpulkan benda-benda ini. Perasaan penuh emosi ini mulai mengambil bentuknya di mataku.


"Tidak kusangka, kau sangat cengeng, Kak," ejek Luc yang sekarang duduk seperti anjing di atas sofa.


"Hei, aku ini pria yang emosional, kau tahu," sangkalku. "Lagipula siapa yang tidak bahagia ketika tujuan mereka akhirnya sudah di depan mata. Sebentar lagi kutukan yang melekat padamu dan Sienna akan segera hilang."


Ya, sebentar lagi Luc akan kembali menjadi manusia biasa lagi dan Sienna, adik perempuan kami, akan bangun dari kutukan tidur abadi.


Luc menatapku tajam.


"Apa?"


"Semua ini gara-gara penyihir wanita itu. Kita semua menderita karena kutukannya. Mengapa ia tega melakukannya? Bukankah dia ... pacarmu, Kak Caz?" Pertanyaan serupa selalu diajukan oleh Luc sejak ia dan Sienna terkena kutukan Loraine, kekasihku, yang ternyata adalah seorang penyihir. Dan selalu aku berhasil mengelak menjawab pertanyaannya. Tapi tidak kali ini.


Aku menarik napas panjang sebelum menjawab, "Sebenarnya ini bukan salah Loraine ...."


"Apa maksudmu, Kak?"


Aku pun menceritakan keadaan sebenarnya kepada Luc untuk pertama kalinya. Bagaimana Loraine memergokiku saat menemani Karen belanja. Entah bagaimana aku dan Loraine bertengkar hebat karena masalah yang kuanggap sepele ini. Serta bagaimana Loraine menjadi panik dan kalap ketika aku mengucapkan kata pembawa sial tepat di mukanya, menyebabkan Loraine kehilangan kendali. Memaksanya melakukan serangan mematikan bernama kutukan. Hanya saja kutukan Loraine tidak ditujukan padaku, melainkan kepada kedua adik tersayangku.


"Jadi, itulah pertama kalinya aku mengetahui bahwa Loraine adalah seorang penyihir. Berkat kutukannya, kau menjadi siluman anjing dengan kekuatan super dan Sienna menjadi Putri Tidur. Sedangkan Loraine ... Ia menghilang tanpa jejak begitu ia melontarkan kutukannya," kataku mengakhiri cerita yang terdengar seperti dongeng dari dunia antah berantah.


Sungguh ironis. Loraine sangat mengenal diriku sehingga ia tahu apa yang harus dilakukan untuk membuatku menderita. Kutukannya mungkin saja mengenai Luc dan Sienna, tapi jika tujuan kutukan Loraine adalah membuatku menderita, tersiksa, dan tersakiti, maka Loraine berhasil melakukannya. Di dunia ini, keluarga adalah nomor satu bagiku. Setidaknya itu yang selalu kupikirkan sampai aku bertemu Loraine.


Ini seperti mimpi buruk yang menjadi kenyataan.


"Maksudmu ..., semua ini terjadi karena sebuah kesalahpahaman ...?" Luc menatapku tidak percaya. "Ini benar-benar konyol. Kami dikutuk gara-gara seorang penyihir cemburu padamu ...." Luc tidak bisa berkata apa-apa lagi saking syoknya ia mengetahui kebenaran di balik kutukan dirinya dan Sienna.


Aku mengangguk lemah.


"Begitulah. Kupikir sebagian besar adalah salahku. Loraine-"


"Tentu saja, ini adalah salahmu!" bentak Luc seraya melempar topi rajutnya tepat mengenai mukaku. "Semuanya!"


Luc menerjangku sebelum aku sempat membela diri.


Singkat cerita, kami berdua saling beradu mulut sambil bergulat di dalam kompartemen kereta api. Menghancurkan seisi kompartemen yang untungnya telah dibiayai sepenuhnya oleh Vince.


Ini adalah pertengkaran kami sebagai kakak beradik setelah peristiwa tragis lima tahun lalu itu. Kali ini, Luc mengalahkanku. Sejujurnya, adik laki-lakiku itu baru saja menghajarku babak belur. Kini kami berdua terkapar di atas lantai kompartemen.


"Kau benar-benar bodoh, Kak Caz ...," ujar Luc memecah keheningan di antara kami.


"Kau benar, Luc. Kau benar."


"Aku tahu kau sangat menyesal bertengkar dengan Kak Loraine. Pastikan kau minta maaf kalau bertemu dengannya lagi, Kak." Luc menonjok lengan kananku. "Katakan kalau kau sungguh mencintainya."


Aku menoleh ke arah Luc cepat.


"Bagaimana kau ...."


Luc menyengir lebar. "Kau harus lihat dirimu sendiri saat tidur, Kak Caz. Kau menangis dan mengigau dalam tidur. Kau terus menerus bergumam, 'Maafkan aku, Loraine. Aku hanya mencintaimu, Loraine.'"


"Hentikan." Aku membalas tonjokannya tadi sekeras mungkin. Cengiran Luc pun berubah menjadi tawa.


Aku memandang keluar jendela, melihat langit berubah warna perlahan-lahan saat matahari terbenam ke balik gunung.


Kereta api yang kami tumpangi akan membawa kami ke Kota Suva. Kota yang menyimpan Buku Sihir Hellan, buku sihir yang konon dapat mematahkan semua sihir. Buku ini adalah harapan kami untuk membatalkan kutukan Loraine.


Aku memejamkan mata, tiba-tiba merasa sangat mengantuk dan lelah.


Aku berjanji dalam hati akan minta maaf dan mengakui perasaanku yang sebenarnya kepada Loraine kelak kami bertemu kembali.


***



Aku terbangun karena Luc menguncang bahuku begitu kuat.

"Ada apa?" tanyaku, menguap lebar dan berusaha bangkit. Sepertinya aku tertidur di atas lantai dan keadaan dalam gelap gulita di dalam kompartemen saat aku membuka mata.

Luc tidak menjawab.

Samar-samar terdengar bunyi 'klik' dan lampu di kompartemen pun menyala.

"Ada apa, Luc?" tanyaku lagi ketika melihat Luc mengernyit dan menutup hidungnya.

"Aku mencium bau darah. Darah manusia."

Jawaban Luc membuatku sadar sepenuhnya. Luc, dengan kemampuannya sebagai siluman anjing, dapat mencium bau sejauh 100 meter.

Tanpa menunggu perintahku, Luc memejamkan mata, mempertajam indera pendengarannya. Telinga anjingnya berdiri tegak.

"Aku mendengar suara orang marah ... dari gerbong barang paling belakang." Mendadak Luc tersentak. Namun, masih menutup matanya.

"Luc?"

"Mereka menembak seseorang memakai pistol dengan peredam." Telinga Luc kembali bergerak. "Ada juga suara tembakan dari gerbong kereta bagian depan."

"Apa kau bisa mendengar pembicaraan orang-orang yang menyerang kereta ini, Luc?" Aku bergegas mengumpulkan Gulungan Ottorf, pisau pusaka Escar, dan Suling Hitam Penyihir, yang tergeletak di atas sofa. Gulungan Ottorf kujejalkan ke dalam tas, Suling Hitam Penyihir kumasukkan ke saku bagian dalam mantelku, dan pisau pusaka Escar kuselipkan ke dalam sepatu botku.

"Sebentar." Luc tampak berkonsentrasi penuh.

Aku menekan tombol di dinding kompartemen hingga lampu mati dan keadaan kembali gelap gulita. Aku mengambil senter kecil berukuran seperti pena dari saku mantel, menyalakannya dan mendekati Luc.

"Tampaknya mereka mencari seseorang." Beberapa saat kemudian, Luc membuka mata lalu menatapku. "Mereka mencarimu, Kak Caz."

Entah kenapa aku tidak kaget mendengar pernyataan Luc barusan. Luc juga tidak tampak terkejut. Kami berdua sadar bahwa perjalanan kami ini sangat berbahaya. Mengingat Buku Sihir Hellan yang kami cari adalah buku yang menjadi incaran sebagian besar orang di dunia.

"Apa kau mendapat informasi mengenai para penyerang ini, Luc?" tanyaku penuh harap.

"Aku mendengar mereka sering menyebut 'Bos Hank', 'Dante', 'gulungan', serta namamu, Kak Caz."

Informasi yang diberikan Luc cukup bagiku untuk mengetahui siapa para penyerang kereta api yang kami naiki saat ini.

"Tidak kusangka, aku harus berurusan kembali dengan Verde, kelompok perompak harta karun terkejam yang pernah ada sepanjang sejarah. Bos mereka bernama Hank dan Dante adalah orang kepercayaan Hank. Aku mencuri Gulungan Ottorf dari kelompok perompak ini. Hebat, bukan? Oya, bendera kebanggaan mereka berwarna putih dengan simbol tengkorak hitam di tengah-tengahnya. Itulah yang membedakan mereka dari kelompok perompak lainnya," jelasku panjang lebar tanpa diminta.

Luc tidak menanggapi penjelasanku.

"Baik. Lupakan saja ceritaku. Sienna pasti menyukai ceritaku ini," gumamku lirih. Luc sama sekali tidak tertarik. Ia meraih dan memakai topi rajutnya, menyembunyikan telinga anjingnya. Aku membuka pintu kompartemen.

"Kita akan melakukannya sesuai rencana," kataku dengan suara yang sengaja kukecilkan. Rencana yang telah kami susun jauh sebelumnya sebagai persiapan menghadapi situasi berbahaya seperti ini.

"Kau siap, Adik Kecil?"

Luc mengangguk mantap. Kami pun berpisah. Luc menuju ke salah satu ujung gerbong dan aku melangkah menuju ujung gerbong lainnya.

***

Udara malam yang dingin langsung menerpa tubuhku begitu aku membuka pintu gerbong. Aku menggigil. Segera kurapatkan mantel kusamku lalu mencari tangga yang menuju ke atap gerbong. Aku bersorak dalam hati saat menemukannya.

Jeritan kesakitan diikuti teriakan, umpatan, serta suara barang pecah terdengar ketika menginjakkan kakiku ke tangga.

Sepertinya Luc sedang menghabisi para perompak kejam itu, batinku. Aku pun berdoa dalam hati supaya Luc tidak terbawa suasana dan tidak terluka.

Aku menaiki tangga dengan hati-hati, kemudian menjatuhkan diri ke atap gerbong kereta api yang dingin.

"Caz!" Seseorang memanggilku. Aku menoleh ke arah sumber suara yang kukenal itu, dan menemukan pria botak bertato di pipi kirinya berdiri di atap gerbong lainnya.

"Dante!" balasku menyapa pria itu seolah aku baru saja bertemu teman lama. "Bagaimana kau bisa menemukanku?"

Dante menunjuk kepala botaknya dengan pistol di tangannya seraya mengangkat alisnya sok tahu.

"Ya, ya! Kau sungguh cerdas, Dante!" seruku, masih berbaring di atap gerbong kereta api yang meluncur dengan cepat. Angin di sekitar kereta api berhembus lumayan kuat. Dante menyadarinya dan terpaksa harus berjongkok bila ia tidak ingin jatuh terhempas.

Dante mengarahkan pistolnya kepadaku seraya berteriak, "Serahkan Gulungan Ottorf yang kau curi dari kami dan juga benda berharga lainnya yang kau temukan, Caz!"

Aku harus mengulur waktu sampai Luc tiba menolongku.

"Apa maksudmu dengan benda berharga lainnya yang kutemukan? Aku hanya punya Gu-"

Dante melepaskan satu tembakan peringatan ke arahku. Cukup untuk membungkam mulut besarku.

"Jangan main-main denganku, Caz! Kau tahu apa yang kumaksud!"

"Baik! Baik! Maafkan aku!" Aku pura-pura berseru ketakutan. "Semua yang kau inginkan ada di dalam tasku!"

Perlahan-lahan aku duduk dan memperlihatkan tas coklat milikku. Dante tersenyum puas melihatnya.

"Berikan padaku!" perintahnya.

Aku langsung menggunakan kesempatan yang ada dengan melempar tasku ke arah Dante tapi sengaja kubidik ke pinggir atap gerbong. Tas milikku itu meluncur ke pinggir atap gerbong. Namun, Dante berhasil menangkap tali tas tepat saat tas itu melewati pinggiran atap gerbong.

Di saat bersamaan, aku bangkit dan meloncat keluar dari atap kereta. Sesaat aku melayang di udara dan akhirnya mendarat dengan punggung lebih dulu di atas sesuatu yang empuk sekaligus berbulu.

Aku menghembuskan napas lega.

"Terima kasih, Luc. Kau benar-benar menyelamatkanku," ucapku kepada makhluk berbulu yang menjadi landasan pendaratanku. Saat ini, Luc sedang berada dalam wujud hewan sepenuhnya. Rupa Luc adalah seekor anjing coklat yang ukurannya dua kali lebih besar dibandingkan singa liar. Sekilas orang-orang pasti menganggapnya adalah werewolf, manusia yang dapat berubah menjadi serigala saat bulan purnama. Namun, Luc yang dikutuk menjadi siluman anjing, dapat dengan mudah mengontrol perubahan wujudnya, sama sekali tidak bergantung pada kekuatan bulan serta tidak menjadi liar dan hilang kendali saat berubah. Luc tetaplah Luc walaupun telah berubah. Ia dapat berbicara dan berpikir jernih layaknya seorang manusia.
Aku sangat menyadari betapa hebatnya seorang siluman. Kutukan Loraine ternyata ada gunanya juga. Tentu saja, aku tidak berani mengutarakan pendapatku yang satu ini secara terus terang.

"Untunglah aku tepat waktu." Luc mendengus dalam wujud hewannya. Luc memang bisa berbicara dalam wujudnya ini, tapi suaranya menjadi benar-benar berbeda dari suara Luc dalam wujud manusia.

Kami berdua memandang kereta api yang meluncur cepat hingga menghilang dari hadapan kami.

"Jadi, sekarang apa yang akan kita lakukan, Kak Caz? Gulungan Ottorf sudah jatuh ke tangan Verde ...."

Aku bergegas mengatur posisiku.

"Tenang saja," kataku sambil mengetuk-ketuk jari telunjukku ke pelipisku. "Semua yang tertulis dalam gulungan telah kuhafalkan. Sekarang, ayo kita pergi ke kota Suva, Luc!"

Luc tidak bergerak.

"Ada apa?" tanyaku bingung.

"Aku ini bukan hewan tunggangan, tahu!" seru Luc kesal.

"Oh, ayolah, Luc. Kota Suva masih jauh. Memangnya kau tega membiarkan kakakmu ini berjalan kaki sampai ke sana .... Lagipula akan lebih cepa-"

Luc mendadak berlari kencang masuk ke dalam hutan. Aku nyaris saja terlempar karenanya.

"Hei, Luc! Pelan-pelan!"

***



Comment