Asisten Detektif Muda


Ketegangan yang meyelimuti ruang tamu ini terasa menyesakkan. Sembilan pasang mata terfokus hanya pada diriku seorang. Di belakangku, berdiri dua orang detektif dan dua orang polisi. Sementara lima orang yang mempunyai hubungan dengan korban pembunuhan berada di depanku.


Nyonya pemilik rumah menggebrak meja dengan kasar dan tidak sabar, membuatku nyaris terjungkal dari kursi.


"Kau bilang aku yang membunuh Tirta, kepala pelayanku sendiri! Mana buktinya, Bocah? Mana?" seru wanita berusia 46 tahun itu, menggebrak meja berulang kali.


"Itu benar! Tidak mungkin Mama membunuh Tirta!" sangkal Gilian, sedangkan ayahnya beserta kedua pelayan lainnya diam seribu bahasa.


Berdasarkan petunjuk yang ada dan motif pembunuhan, semuanya mengarah kepada Nyonya Sitra sebagai pelaku pembunuhan terhadap Tirta, kepala pelayan keluarga Lievire sekaligus tunangan Gilian. Sayangnya, bukti terkuat belum ditemukan yaitu senjata tajam yang digunakan oleh si pelaku untuk membunuh korban.


"Semuanya tenang!" Seorang detektif laki-laki maju untuk melindungiku karena ibu Gilian seakan hendak menerkamku.


Detektif yang satunya meletakkan tangannya di pundak kananku dan berkata, "Bagaimana, Gadis Kecil? Apa kau tahu di mana senjata pembunuhnya?"


Aku menelan ludah dan berdoa dalam hati. Asker, cepatlah!


Detik berikutnya Asker muncul dan membisikkan sesuatu kepadaku. Aku mendengarnya dengan seksama, mengangguk, lalu bangkit.


"Ikuti aku."


Aku berjalan paling depan diikuti oleh lainnya, menuju ruang keluarga. Aku mendekati rak buku satu-satunya di ruangan itu dan menarik rak buku tersebut hingga roboh. Sudah pasti teriakan marah dan sumpah serapah keluar dari mulut Nyonya Sitra melihat tindakanku.


"Senjata pembunuhnya disembunyikan di balik tembok ini," ujarku sambil menunjuk tembok yang berada di belakang rak buku. Pernyataanku ini jelas mengundang protes dan pertanyaan. Hanya kedua detektif yang sudah lama mengenalku yang tidak mengeluarkan suara.


Detektif Michael memberi isyarat kepada dua polisi untuk menghancurkan tembok. Dengan bantuan palu besar, tembok putih itu hancur berkeping-keping dan langsung menampakkan sebuah katana berlumuran darah yang tersembunyi di baliknya.


Kelima tersangka yang melihatnya pucat pasi, namun yang paling parah adalah Nyonya Sitra, pelaku pembunuhan sebenarnya.


"Ha! Jadi, kalian telah menemukan senjata pembunuhnya! Tetap saja, itu tidak berarti aku yang membunuh perempuan itu!"


"Cih. Ia masih saja menyangkal," ujar Asker di sampingku. "Leina. Serahkan sisanya padaku." Aku mengangguk.


"Nyonya Sitra. Kalau begitu, bisakah Anda menjelaskan kepada kami luka yang ada di lengan Anda dan bagaimana darah Anda bisa ada di pedang ini?" tantangku.


Refleks, tangan kanan wanita itu memegang lengan kanannya bagian atas. "Apa? Luka apa?"


Aku menghela napas panjang. "Lagi-lagi, Anda menyangkal, Nyonya Sitra. Kalau begitu, jangan salahkan aku kalau arwah Titra menuntut balas dendam kepada Anda."


"Apa... apa maksudmu?"


Katana berlumuran darah tiba-tiba melayang sendiri, kemudian terbang melesat ke arah Nyonya Sitra. Beruntung ia bisa menghindarinya. Tapi, katana tadi berhasil merobek baju lengan panjangnya dan memperlihatkan perban coklat yang melingkari lengan kanannya.


Nyonya Sitra, yang wajahnya seputih kertas, terduduk lemas sembari terus menatap katana yang sekarang tertancap di dinding seberang.


"Aku... mengaku. Akulah yang membunuh Tirta," katanya tergagap ketakutan.


Kedua polisi lalu memborgol dan menggiring wanita pucat itu, setengah menyeretnya keluar. Gilian, ayahnya, dan kedua pelayan juga mengikuti dengan berbagai ekspresi.


"Kerja bagus, Nak!" sahut Detektif Michael seraya mengedipkan sebelah mata. "Terutama trik 'katana terbang'-nya." Detektif itu tertawa terbahak-bahak dan keluar membawa katana di dalam kantong plastik transparan sebagai barang bukti.


Detektif Lyca, kakak perempuanku, mengacak-acak rambutku.


"Kau harus berterima kasih kepada asistenmu, Gadis Kecil." Ia menyalakan rokoknya. "Hantu itu... Siapa namanya?"


"Asker. Namanya Asker," jawabku ketus, segera merebut rokok dari mulutnya.


"Ah, ya, ya." Ia melongok ke kanan dan ke kiri mencari sosok Asker, lalu berseru, "Tolong jaga adikku yang manis ini ya, Asker."


Sekali lagi, rambutku diacak-acaknya sebelum berlalu dari ruangan dengan senyuman mengembang lebar di wajahnya.


"Tenang saja, Kakak! Aku akan selalu menjaganya!" balas Asker bersemangat, walau ia tahu dengan jelas bahwa Kak Lyca tidak dapat mendengarnya. "Itu karena kami ditakdirkan untuk bersama selamanya!"


"Hei, apa maksudnya itu!" Aku menarik kerah bajunya. "Aku tidak mau seumur hidup diikuti oleh hantu, tahu!"


"Woah! Beginikah sikapmu kepada penolongmu, Leina?"


Menyadari sikapku yang kasar, aku melepaskan cengkeramanku. "Maaf."


Asker menatapku dengan pandangan 'pasti ada lagi yang ingin kau sampaikan'.


"Terima kasih sudah membantuku," kataku dengan cepat, "Tapi, seharusnya kau menolongku lebih awal! Kau tidak tahu betapa menakutkannya wanita gila itu!"
Hantu di hadapanku itu malah tertawa. "Ya ampun! Kau lebih takut wanita itu daripada hantu?"


Gara-gara perkataannya, wajahku terasa panas karena mengingatkan diriku yang pingsan saat bertemu dengan Asker pertama kali. Walau aku bisa melihat, mendengar bahkan menyentuh makhluk halus seperti hantu sejak kecil, aku ini pada dasarnya sangat penakut.


Tiba-tiba ekspresi Asker berubah serius. Ia menggenggam kedua tanganku dan bertanya, "Jadi? Bagaimana? Menurutmu, apa kau bisa berteman denganku?"


Berteman dengan hantu? Diriku yang dulu mungkin akan menolak mentah-mentah pemikiran ini. Namun, setelah melewati banyak hal bersama Asker, kurasa bukan hal buruk bila manusia berteman dengan hantu. Karena itulah, aku bisa berkata, "Tentu saja!"


Asker tersenyum lebar mendengar jawabanku. Lalu, secara tidak sengaja aku melihat bayangan di belakangnya.


"Ya, kalau hantu itu adalah kau...," lanjutku dengan suara bergetar.


"Ada apa? Kenapa wajahmu pucat?"


"Yang pasti aku menolak berteman dengan hantu tanpa kepala dan hantu dengan isi perut terburai!" teriakku histeris saat dua sosok hantu yang kusebut terlihat mendekati kami.

Comment