In The Name of Curse

Aku bisa merasakan hembusan angin panas mengelilingi ruangan sesaat sebelum gadis di hadapanku berkata dengan suara dingin yang membuatku bergidik, "Tidak akan kumaafkan kau, Caz!"


Aku melihat tubuhnya memancarkan cahaya merah keunguan. Hanya butuh sedetik bagiku untuk menyadari sosok sesungguhnya gadis yang kucintai selama ini.


Aku tidak tahu bagaimana ekspresiku saat mengetahui kenyataan yang berusaha disimpan rapat olehnya. Melihat ekspresi di wajahku, sekilas Loraine tampak terluka. Tapi mungkin itu hanya perasaanku saja karena sekarang ia memandangku penuh kebencian.


Hembusan angin yang semakin menggila dan panas memaksaku mundur beberapa langkah. Kemudian suara rendah Loraine mengucapkan kalimat yang bahasanya tidak kukenal.


Tidak terjadi apa-apa namun entah mengapa perasaanku tidak enak.


Loraine kembali mengucapkan kalimat yang sama lebih lantang. Aku tidak bisa mengenyahkan firasat bahwa sesuatu yang sangat buruk akan terjadi.


"Loraine! Hentikan!" teriakku berusaha mengalahkan ributnya angin panas yang berputar-putar dalam ruang tamu kami. "Loraine!"


Aku tidak tahu apa ia mendengarku atau mengacuhkanku, Loraine memejamkan mata. Bayangan pisau besar yang diarahkan tepat di jantung terlintas di benakku.
Lalu, untuk ketiga kalinya, dengan sepenuh hati, gadis berambut merah itu mengucapkannya.


Kutukan.


Kesadaran ini menghantamku keras bagai disambar petir.


Cahaya merah keunguan yang tadinya mengelilingi Loraine, kini memancar ke seluruh penjuru. Cahayanya begitu menyilaukan, memaksaku menyipitkan mata dan menghalau dengan sebelah tangan. Tanpa kusadari, ada bayangan hitam yang ikut keluar dari ruangan.


Ledakan cahaya disertai angin kencang menghempasku hingga menabrak dinding dan gelombang ledakan merusak semua yang berada dalam jangkauannya. Dinding dan langit-langit retak. Jendela dan cermin pecah berkeping-keping, begitu pula vas bunga kesayangan Sienna.


Ketika aku membuka mata, sosok gadis yang terbakar amarah tadi hilang bagai ditelan bumi.


"Loraine ...," gumamku lirih.


Kelopak bunga Kilos mendarat pelan ke atas tanganku yang terulur. Bunga yang selalu mengingatkanku pada gadis yang kucintai setiap kali memandangnya, telah hancur tepat di mataku.


Aku memegang belakang kepalaku yang terasa seperti ditusuk ribuan jarum. Samar-samar, bisa kurasakan cairan hangat mengalir dari lubang hidung, menyusuri bibir dan daguku.


Sebelum gelombang kegelapan melanda, dua kata terlontar dari mulutku walau aku tahu sudah terlambat. "Maafkan aku."


***

Comment