It's so hurt

Malam semakin larut, dan udara malam yang berhembus saat itu terasa semakin dingin dan menusuk kulit. Mungkin saat ini, banyak orang yang lebih memilih untuk berbaring di kasur dan menikmati malam mereka dengan tidur indah ditemani hangatnya balutan selimut tebal. Namun, tidak bagi seorang Kim Seokjin. Ia masih berkutat dengan berkas-berkas di hadapannya. Matanya sibuk menelusuri tiap data dari berkas tersebut. Ia begitu serius mengerjakan pekerjaannya sampai seseorang menepuk pundaknya pelan.


"Seokjin-ah. Ini sudah larut, sebaiknya kamu pulang." Ujar seorang wanita cantik berambut pendek, yang merupakan rekan kerja Jin.


"Ah! De, Ara-noona. Sebentar lagi aku akan pulang. Ara-noona duluan saja." Ujarnya sopan kepada wanita itu.


"Baiklah kalau begitu. Aku pulang duluan, ya." Jin hanya mengangguk menanggapi rekan kerja yang sudah ia anggap sebagai kakaknya sendiri itu.


Selepas perginya Ara, Jin kembali meneruskan pekerjaannya. Sampai ia rasa, matanya sudah terlalu lelah menatap cahaya dari layar monitor di hadapannya. Ia pun mengalihkan pandangan ke arloji yang melingkar di lengan kirinya.


Pukul 10.42. Mungkin ini sudah saatnya untuk ia pulang. Ia pun membereskan tumpukan berkas yang memenuhi meja kerjanya dan membawa pulang sebagian dari berkas-berkas tersebut. Ia berniat untuk melanjutkan pekerjaannya di rumah.


***


Jin memarkirkan mobilnya di tempat parkir Apartemen tempat ia tinggal. Kemudian, ia naik lift menuju kamar Apartemennya. Kini, waktu sudah menunjukkan pukul 11.30. Sudah sangat larut, dan ia yakin Jungkook sudah tertidur pulas. Ia pun membuka pintu Apartemennya dengan perlahan dan mendapati ruangan itu gelap. Ia melangkahkan kakinya menuju ruang tengah dan menyalakan lampu, mencoba memberikan sedikit penerangan pada ruangan tersebut.


Jin menolehkan kepalanya menuju arah meja makan, dan mendapati beberapa jenis makanan sudah terhidang di sana. Jujur, ia memang sangat lapar dan belum makan makanan yang layak sejak tadi siang. Makan siangnya hanya diisi dengan sepotong roti dan segelas kopi. Jadilah ia memutuskan untuk memakan makanan yang tersaji di hadapannya. Saat ia hendak mengambil piring, secarik kertas terjatuh. Ia pun memungut kertas tersebut dan membaca pesan di dalamnya.


Hyung, aku sudah membuatkan makan malam untuk Hyung. Jadi, Hyung harus makan dan habiskan semua makanan itu! Aku tahu, Hyung pasti belum makan 'kan? -Kookie


Jin hanya bisa tersenyum membaca pesan singkat dari Jungkook. Adiknya itu memang paling tahu akan dirinya. Jungkook selalu berusaha mengurus Jin dan mengingatkan Jin akan ini-itu saat Jin terlalu sibuk akan pekerjaannya. Ia sangat menyayangi Jin meskipun mereka tidak memiliki hubungan darah.


Ya, tanpa hubungan darah.


Saat Jin berumur 13 tahun, ia kehilangan ibunya. Ibunya meninggal dalam sebuah kecelakaan pesawat yang membawanya saat itu. Dua tahun kemudian, ayahnya memutuskan untuk menikah lagi, dengan seorang wanita yang baru saja kehilangan suaminya setengah tahun sebelumnya. Wanita itu memiliki anak laki-laki. Dan anak itu adalah Jungkook. Awalnya, Jin sangat marah pada ayahnya. Karena ia pikir, ayahnya sudah tidak mencintai mendiang ibunya lagi. Ia pikir, ayahnya sudah melupakan ibunya dan memilih untuk mencintai wanita lain. Namun ternyata, bukan itu alasan ayah Jin ingin menikah lagi.


Ayahnya hanya tidak ingin Jin tumbuh tanpa kasih sayang seorang ibu terlalu lama. Saat itu, umur Jin merupakan umur yang rentan. Tanpa seorang ibu di sampingnya, ia bisa saja memasuki jalan yang salah. Ibu Jungkook selalu memberikannya kasih sayang yang tulus, dan tak pernah membedakannya dengan Jungkook. Ia menyayangi kedua anaknya dengan besar kasih sayang yang sama. Dan itu semua membuat hati Jin luluh pada akhirnya.


Dan hatinya juga luluh pada kepolosan seorang Jeon Jungkook. Setelah beberapa bulan tinggal bersama Jungkook dan ibunya, ia melihat Jungkook bagaikan seorang malaikat kecil yang bisa membuat siapapun tersenyum saat ia tersenyum, Ia seakan-akan menebarkan kebahagiaan kepada semua orang yang ada di sekelilingnya. Senyumannya bisa membuat hati siapapun menjadi damai dan tenteram.


Ia juga menyadari, bahwa Jungkook dapat membuat hati setiap orang terenyuh saat ia menangis.


[Flashback]


Pada hari itu, Jin melihat Jungkook kecil sedang terdiam membelakanginya, memandangi taman bunga yang ada di hadapannya. Jin berniat untuk mengejutkan adik kecilnya itu. Tiba-tiba, ia menyadari bahwa bahu Jungkook kecil bergetar. Dengan panik, ia menghampiri Jungkook dan melihat wajah manis itu dibanjiri air mata.


"Kookie-ah, kamu kenapa? Siapa yang membuatmu menangis? Cepat bilang pada Hyung. Biar Hyung beri pelajaran mereka!"


"B-bukan siapa-siapa... Hiks...kok Hyung."


"Jangan bohong, Kook-ah! Cepat bilang siapa orangnya!" Tangan Jin sudah mengepal.


"Aku tidak apa-apa, H... Hiks, Hyung. Sungguh." Melihat wajah Jungkook yang dipenuhi air mata, kepalan tangan Jin melemah. Dengan cepat, ia tangkup wajah Jungkook dan menghapus air mata dari wajah adik kecilnya itu.


"Kook-ah, dengarkan Hyung. Kamu tidak perlu menyembunyikan apa pun dari Hyung. Jika kamu sedang bersedih dan membutuhkan tempat bercerita, Hyung akan selalu siap mendengarkan. Dan saat ada orang yang menyakitimu, kamu tak perlu segan memberitahunya pada Hyung. Karena Hyung tidak mau melihat Jungkook terluka dan bersedih seperti ini. Arrasseo, Kook-ah?" Jungkook hanya menganggukkan kepalanya pelan.


[Flashback End]


Sejak saat itu, Jin bersumpah pada dirinya sendiri bahwa ia tak akan membiarkan setetes air mata pun jatuh lagi dari kedua mata Jungkook. Ia berjanji akan selalu membuat adiknya itu tersenyum dan tertawa bahagia. Karena, melihat Jungkook menangis membuatnya ingin menangis juga. Melihat air mata jatuh dari kedua mata Jungkook yang berbinar membuatnya sakit.


Namun ternyata, ia tidak bisa melaksanakan janjinya tersebut. Tepat di hari ulang tahun Jungkook yang ke-10, Jungkook kembali mengeluarkan air matanya. Tepat di hari yang seharusnya dipenuhi dengan kebahagiaan dan keceriaan itu, mereka kehilangan kedua orang tua mereka.


[Flashback]


(Jin's POV)


"Eomma, Kookie mau makan Jajangmyeon!" Ujar Jungkook dengan wajah yang berbinar.


"Tapi aku mau makan daging, Eomma. Da-ging!" Bantahku.


"Ini 'kan hari ulang tahun Kookie. Jadi seharusnya Kookie yang memilih mau makan di mana, Hyung." Jawab Jungkook kali ini.


"Tapi..."


"Sudahlah, Jin-ah. Hari ini, kita penuhi dulu keinginan sang birthday boy, oke? Besok-besok baru kita makan daging." Ujar Appa. Mendengar hal itu, aku mau tak mau mengalah. Membuat Jungkook memeletkan lidahnya padaku, meledekiku yang tengah mendengus kesal.


Melihat hal itu, aku langsung mengunci kepala Jungkook dan menjitak pelan. Appa dan Eomma hanya tertawa melihat tingkah kami berdua.


"Ah! Eomma, Appa, Jin-hyung jahat!"


"Sudah-sudah, jangan bertengkar." Ujar Eomma, sambil terus tertawa pelan.


"Hahaha, dasar kalian ini." Appa membalikkan badannya dan mengusap pelan kepala Jungkook.


"Y-YEOBO!" Mendengar teriakan Eomma, aku langsung mengalihkan pandanganku ke arah depan. Kulihat sebuat truk besar sedang menuju ke arah kami dan jaraknya sudah begitu dekat. Appa langsung mencoba membanting stir mobil. Tetapi apa daya, kecelakaan itu tetap tak terhindari. Mobil yang kami tumpangi menabrak truk besar tersebut. Mobil kami terpental menabrak sebuah pohon besar. Saat itu, kurasakan sakit yang amat sangat di kepalaku. Aku juga mencium bau asap dan kusadari bahwa mobil kami terbakar.


"A-appa... Eo-Eomma..." Tak ada yang membalas panggilanku. Mencoba menahan rasa sakit di kepalaku, aku menolehkan kepalaku ke arah Jungkook yang sudah tak sadarkan diri. Kuraih tangan Jungkook dan mencoba membangunkannya. Namun semakin lama, rasa sakit di kepalaku semakin tak tertahankan. Sampai akhirnya, pandanganku mengabur dan semuanya menjadi gelap.


Saat aku terbangun, yang kulihat adalah langit-langit berwarna putih. Dan dari baunya, aku tahu bahwa aku berada di rumah sakit. Dengan cepat aku mencoba bangkit dari tidurku, tapi lagi-lagi sakit di kepalaku menyerang. Kurasakan sebuah sentuhan lembut mendorongku agar kembali terbaring.


"Jangan terlalu memaksakan diri. Luka di kepalamu cukup parah." Ujar seorang dokter kepadaku.


"Eugh... Orangtuaku... Adikku... Bagaimana dengan mereka?" Tanyaku dengan panik. Tatapan mata dokter itu... aku membencinya. Itu tatapan iba. Dan aku tahu, bahwa kabar buruk akan meluncur dari bibirnya.


"Adikmu bisa kami selamatkan. Dia sedang berbaring di sana." Aku langsung menoleh ke arah yang ditunjuk dokter itu dan melihat Jungkook tengah tertidur pulas. Aku pun menghela napas lega, karena Jungkook selamat.


"Tapi orangtuamu..." Aku benci ini. Aku yakin aku akan membenci kata-kata yang akan kudengar setelah ini, "Kami sudah berusaha sebisa kami. Tapi, maaf... Kami tidak bisa menyelamatkan mereka." Seketika, aku ingin menangis dan berteriak kencang. Meskipun aku sudah bisa menebak hal ini akan terjadi setelah melihat tatapan mata dokter itu, tapi mendengarkannya membuatku semakin sakit. Aku ingin berlari dan memeluk kedua orangtuaku. Aku ingin memanggil mereka dan melihat mereka tersenyum kepadaku. Karena aku belum siap. Aku belum siap mereka tinggalkan. Aku belum siap harus sendiri....


Kemudian, aku teringat Jungkook. Aku kembali menolehkan kepalaku ke arah Jungkook. Apa yang harus kukatakan padanya nanti? Bagaimana reaksinya saat mendengar bahwa orangtua kami... telah tiada?


Aku melihat tubuh Jungkook sedikit bergerak. Aku langsung menghampiri tempatnya berbaring dan meraih tangannya. Kuabaikan rasa sakit di kepalaku dan kududukkan diriku di sebelahnya. Perlahan, matanya terbuka. Mata yang berbinar penuh dengan sinar harapan. Matanya yang teduh dan polos.


"H-hyung..."


"Bagaimana kondisimu, Kook-ah?"


"Sakit... S-semuanya terasa sakit, H-hyung..." Ia sedikit meringis, "Hyung, Appa dan Eomma di mana?" Inilah yang kutakutkan. Aku masih belum bisa menjawab pertanyaan ini. Aku tak tahu bagaimana caraku menyampaikan kenyataan pahit ini tanpa melukai dirinya. Walaupun aku tahu, itu tidak mungkin.


"Hyung..." Panggilnya lagi.


"Y-ya?"


"Appa dan Eomma di mana? Mereka baik- baik saja, 'kan?" Tanyanya lagi dengan perlahan. Aku langsung membawa tangannya yang berada dalam genggamanku ke wajahku. Dan seketika air mata mengalir dari kedua mataku. Saat itu juga, cahaya di mata Jungkook meredup. Mata yang selalu berbinar itu kini kehilangan sinarnya. Dia menyadari arti tangisanku, dan ikut menangis bersamaku. Kueratkan genggaman tanganku padanya, mencoba menyalurkan sedikit kekuatan yang kupunya. Meskipun aku tahu, itu tak seberapa.


Ia menggunakan tangannya yang bebas dan membawanya ke wajahnya. Ia menutup mata dengan menggunakan lengannya. Isakan kecil pun meluncur dari bibir mungilnya. Tubuhnya kini bergetar hebat, tanda bahwa ia berusaha mencoba untuk menahan tangisnya.


"Jungkook-ah..." Panggilku pelan. Tak ada jawaban. Ia masih mencoba menahan air matanya. Kali ini dengan menggigit bibir bagian bawahnya sampai berdarah.


"Jangan, Jungkook-ah! Jangan sakiti dirimu seperti itu!" Ujarku cukup keras kali ini, sambil menyingkirkan lengannya dari wajahnya. Saat aku berhasil, hatiku terasa sangat sakit. Aku merasa tertohok melihat pemandangan di hadapanku. Bagian di sekitar mata Jungkook begitu basah akan air mata. Matanya kini memerah karena tangis, dan sudah kehilangan seluruh cahayanya. Di hadapanku bukan lagi Jungkook yang penuh keceriaan. Hanya ada Jungkook yang terlihat sangat rapuh, bahkan hancur.


Aku langsung membawa Jungkook ke dalam pelukanku. Aku memeluknya dengan begitu erat dan kurasakan bajuku basah akan air mata. Air mata Jungkook. Kini, ia menggenggam bagian depanku dan mengeluarkan semua tangisnya. Dan aku hanya bisa terus memeluknya dengan erat. Mengatakan bahwa aku akan selalu berada di sampingnya dan menjaganya. Bahwa ia tak sendiri, bahwa ia masih memiliki aku.


[Flashback End]


Mengingat kejadian itu, membuatku kembali merasakan kesedihan yang amat dalam. Mengingat tatapan Jungkook yang begitu hancur saat itu membuat hatiku sakit. Aku tak ingin lagi melihat Jungkook seperti itu. Aku tak ingin melihat Jungkook kehilangan cahayanya lagi. Aku tidak ingin melihat Jungkook terluka.
'Jungkook-ah, Hyung berjanji akan menjagamu dan tidak akan lagi membiarkanmu terluka.' Itulah yang selalu ada dalam pikiranku sejak kejadian itu. Dan aku bertekad akan memenuhi janjiku itu sampai aku mati.

Comment