Chapter 7: Manaka's Trouble (Masalahnya Manaka)

Sudah seminggu semenjak aku tidak berinteraksi dengan Manaka sesuai keinginan Yuri-chan. Dan seminggu itu juga, Manaka tidak lagi pergi ataupun datang ke klub. Hal itu membuat Kirin-senpai dan Koyomi cemas. Aku sempat bertanya pada Yuri-chan sebenarnya apa yang terjadi tapi Yuri-chan tidak menjawab dan menghindar, sepertinya dia menyembunyikan sesuatu dariku. Manaka tidak akan pernah menjadi seperti ini hanya karena aku bersikap cuek padanya. Biasanya dia akan tetap mendekatiku dan membuatku untuk tidak bersikap seperti itu lagi, tapi kali ini berbeda. Sebenarnya apa yang terjadi? Ada apa dengan Manaka? Kenapa dia menjadi seperti ini?


Pagi hari libur rutin sekolah, jam 9 tepat. Langit terlihat begitu cerah dan cocok untuk beraktifitas. Aku duduk di salah satu tempat di kafe dengan memesan sebuah Teh Matcha, menunggu Koyomi datang. Karena beberapa waktu yang lalu aku mengajak Koyomi untuk datang ke sini untuk membicarakan sesuatu tentang Manaka. Aku duduk di meja dekat tembok kaca kafe sambil menyeduh sedikit demi sedikit minuman yang kupesan ini.


(Koyomi, sedikit lama ya...)


Keluhku dalam hati karena merasa sedikit lelah menunggu Koyomi datang. Aku melihat ke arah luar dari tembok kaca di sebelah kananku. Beberapa saat kemudian aku melihat Koyomi datang dengan terengah-engah seperti habis berlarian. Dia berhenti sejenak di depan tembok kaca tepat di depanku, berusaha menenangkan diri dengan menarik nafas sambil menaruh tangan kanannya di dada.


Koyomi mengenakan Dress berwarna putih panjang yang menutupi seluruh badan, tangan, dan kaki sambil membawa tas kecil yang dislempangkan di kanan badannya. Aku yang melihat itu saat ini benar-benar merasa jantungku berdegup kencang melihatnya. Jujur, Koyomi benar-benar terlihat lebih cantik dari biasanya hingga membuatku tidak bisa mengalihkan pandanganku darinya. Tak lama kemudian, dia menghadap tembok kaca dan berkaca sambil menata rambutnya. Aku pun terkejut dan tanpa sadar pipiku memerah karenanya. Tapi sepertinya Koyomi tidak menyadari jika aku sedang menatapnya dari balik tembok kaca.


Pintu masuk kafe terbuka dan mengeluarkan suara lonceng yang memberi tanda bahwa ada pelanggan masuk yang tidak lain adalah Koyomi. Dia melihat sekeliling, mencariku berada. Aku lalu melambaikan tangan kananku ke atas, menarik perhatian Koyomi untuk mengisyaratkannya jika aku ada di sini. Koyomi menyadarinya dan langsung berjalan menghampiriku dengan penuh senyuman keceriaan. Aku pun juga ikut tersenyum setelah itu.


"Maaf, aku sedikit terlambat."


Ucapnya yang kemudian menyeret satu kursi di depanku untuk duduk. Kami pun duduk saling berhadapan satu sama lain.


"Nggak apa-apa, jangan terlalu dipikirkan."


"Lalu, apa yang ingin kamu bicarakan itu?"


Dia langsung memulai topik pembicaraan alasan aku mengajaknya ke sini. Tepat setelah itu, seorang pelayan datang memintakan pesanan pada Koyomi.


"Permisi! Apa boleh aku mencatat pesananmu?"


Ucap sang pelayan yang menggunakan seragam ala Maid sambil membawa buku catatan kecil untuk mencatat pesanan.


"Tolong satu Teh Matcha."


Dia langsung menentukan pilihan pesanannya yang sama denganku.


"Saya mengerti, satu Teh Matcha sama seperti pasangan anda ya. Segera kami siapkan."


"..."


Sang pelayan tersenyum lalu pergi untuk menyampaikan pesanan Koyomi.


"Dia bilang 'pasangan'."


"..."


Koyomi terdiam tidak menanggapi ucapanku yang sedikit tertawa kecil. Dia menundukkan wajahnya yang terlihat tersipu malu karena apa yang diucapkan sang pelayan tadi. Tapi aku masih bisa melihat sedikit wajahnya itu.


(Kawaii~)


Batinku dalam hati melihat Koyomi itu. Sebentar kemudian, aku kembali ke topik awalan tadi dengan serius.


"Ini tentang Manaka."


Seketika itu Koyomi mengangkat wajahnya kembali dan mulai memerhatikanku yang mulai berbicara dengan nada serius.


"Manaka-chan?"


Aku menjawab pertanyaan Koyomi dengan serius.


"Iya."


Koyomi langsung memalingkan sebentar wajahnya ke arah lain lalu kembali lagi.


"Jadi...?"


"Menurutmu, sebenarnya dia kenapa?"


"... Yah... akhir-akhir ini dia sudah tidak pernah masuk ke klub lagi dan aku juga jarang bertemu dengannya. Terakhir kali aku bertemu dengannya saat aku sedang izin ke kamar mandi beberapa hari yang lalu saat waktu pelajaran. Saat itu, aku melihat Manaka memasang wajah murung dan terlihat sedih sampai mengeluarkan air mata walaupun sedikit. Aku menghampirinya dan sempat bertanya padanya tapi dia langsung menghindariku tanpa merespon ucapanku sama sekali."


"Begitu ya."


Aku lalu menyatukan kedua tanganku ke meja dan melihatinya dengan wajah cemas. Sebentar kemudian setelah itu, pelayan sebelumnya datang kembali dengan membawa Teh Matcha yang dipesan Koyomi.


"Maaf telah menunggu! Satu Teh Matcha-nya, silakan dinikmati~"


"Terimakasih~"


Pelayan tersebut pergi kembali lagi dengan meninggalkan senyum setelah menghidangkan Teh Matcha pada Koyomi. Koyomi langsung mengangkat cangkir teh yang masih panas tersebut untuk ditiup agar panasnya mereda kemudian meminumnya sedikit.


"Hum~ enak sekali~"


Ucapnya dengan wajah lega setelah meminum Teh Matcha-nya.


"Tentu saja. Aku menyukai Teh Matcha ini karena hampir sama dengan buatan rumahku. Itulah kenapa aku sering mampir ke sini saat sedang pergi keluar."


"Heh~"


Koyomi terlihat sedikit kagum dengan yang kuucapkan. Aku benar-benar menyukai Teh Matcha sejak kecil, karena rasanya yang sangat lezat dan begitu terasa menenangkan bila diminum. Tapi aku yang sebelumnya bersemangat membahas Teh Matcha tadi, kembali menjadi cemas lagi.


"... Koyomi, apa aku ini... sudah membuat suatu kesalahan?"


Ucapku dengan nada seperti seseorang yang merasa telah melakukan kesalahan. Sementara itu, Koyomi tetap membawa cangkir tehnya dan meminumnya sedikit-sedikit. Tak lama kemudian, dia menaruh kembali cangkirnya ke meja dan mulai menanggapi ucapanku.


"Menurutmu sendiri bagaimana?"


"Aku nggak terlalu yakin. Tapi entah mengapa aku merasa telah menyakiti hatinya dan membuatnya menjadi seperti itu."


"Yah... mungkin memang begitu. Lagipula, kamu sudah mengatakan hal seperti itu dan bersikap cuek padanya."


"Itu... sebenarnya aku melakukan itu demi kebaikannya."


"Tapi hasilnya nggak sesuai dengan niatmu itu."


"..."


Aku diam tidak bisa menanggapi ucapannya, karena yang dia ucapkan memang benar. Koyomi kemudian kembali menyeduh tehnya.


"Aoi. Apa kamu tahu sebelumnya penyebab kenapa Manaka-chan dibilang sedang mengalami masalah sehingga Kamu dan Yuri-chan bekerjasama?"


Terlihat Koyomi bertanya padaku dengan nada tenang sambil memejamkan mata dan membawa cangkir tehnya. Setelah mendengar itu aku mencoba mengingat-ingat kembali tentang apa yang membuat Manaka dibilang sedang mengalami masalah.


"Aku nggak terlalu mengerti, tapi saat itu Yuri-chan berkata kalau itu terjadi karena diriku."


"... kalau begitu, Aoi. Kamu harus mencari kejelasan lanjut dari itu terlebih dahulu. Jangan langsung melakukan seperti yang Yuri-chan perintahkan, yaitu bersikap cuek padanya. Walaupun itu hanya sikapmu saja, tapi hatimu tidak. Seharusnya Kamu harus tetap mencarinya dan mengetahuinya sebelum mengambil keputusan itu."


Aku pun terdiam dan merenungi nasehat Koyomi.


(Apa yang Koyomi ucapkan ada benarnya. Aku ini memang terburu-buru mengambil keputusan. Yang ada dipikiranku hanya agar masalahku cepat selesai. Tapi yang ada malah menambah masalah, bahkan sampai orang lain—adikku sendiri seperti terlibat walaupun Yuri-chan bilang jika dia sedang dalam masalah.)


"Jika seperti ini terus, bukannya Manaka-chan keluar dari masalahnya tapi malah hanya menambah masalahnya saja. Itulah kenapa tingkah lakunya dalam seminggu terakhir ini sangat berbeda dari biasanya."


"..."


Aku tetap terdiam tidak bisa menjawab apa-apa dan menundukkan kepala. Bahkan pemikiranku sama dengan yang Koyomi ucapkan. Aku benar-benar merasa telah mengambil sebuah keputusan yang salah.


"Tapi... aku yakin jika kamu berhenti bersikap seperti itu pada Manaka dan mulai kembali seperti biasanya. Aku yakin Manaka-chan juga akan kembali seperti Manaka-chan yang dulu dan kamu bisa menanyakannya kenapa sebelumnya dia. Jadi, cobalah bersikap biasa saja padanya seperti dirimu sebelumnya."


Ucap Koyomi dengan tersenyum tipis dan penuh kepedulian. Aku pun mengangkat kembali kepalaku setelah itu dan mulai menatap Koyomi kembali.


"Benarkah begitu?"


Tanyaku padanya dengan nada meminta kepastian.


"Yah... aku juga nggak terlalu tahu. Tapi aku yakin itu akan berhasil, lagipula... itu... kamu kan kakaknya. Juga, kita nggak akan tahu sebelum mencobanya, kan?"


Seketika setelah Koyomi mengucapkan itu, aku menjadi sedikit yakin dan ingin mencoba melakukannya. Apa yang diucapkan Koyomi menurutku ada benarnya, karena aku adalah kakaknya, itu pasti akan berhasil. Aku pun mengembalikan perasaanku yang cemas menjadi percaya diri dan yakin dengan semangat lalu berterimakasih pada Koyomi.


"Terimakasih, Koyomi, kamu sangat membantu. Seperti yang diharapkan... dari calon istriku di masa depan."


Seketika itu, wajah Koyomi memerah dan dia memperingatiku dengan nada kecil.


"A-aoi! jangan mengatakan hal seperti itu di sini. Bagaimana kalau ada yang dengar?!"


Aku lalu tertawa kecil setelah itu.


"Ahaha. Ya-ya, maaf."


Koyomi lalu kembali seperti sebelumnya dan dia sedikit kesal dengan yang kukatakan tadi. Terlihat dia mengarahkan wajahnya ke arah lain. Tapi tak lama kemudian dia tersenyum dan melihat ke arahku kembali yang barusaja tertawa.


"Tapi, baguslah. Sepertinya suasana hatimu sudah kembali seperti hari-hari sebelumnya."


Ucap Koyomi yang menunjukkan senyumnya padaku.


"Ya, ini berkatmu."


Balas ucapannya dengan senyum juga, merasa benar-benar berterimakasih pada Koyomi.


"Kalau begitu, karena kita sedang keluar dan memakai baju bagus masing-masing. Bagaimana kalau kita pergi mampir ke suatu tempat?"


Aku langsung mengajaknya untuk pergi karena masih ada banyak waktu dan mumpung kami masih berada di luar yang memungkinkan kami untuk berjalan-jalan.


"E-eh... nggak apa-apa nih?"


"Tentu saja, kita kan masih punya banyak waktu. Memangnya kenapa?"


Koyomi menggeleng-gelengkan kepalanya sedikit setelah mendengar pertanyaanku.


"Nggak kok, hanya saja..."


Dia menghentikan ucapannya sambil sedikit menundukkan kepalanya melihat ke meja hingga membuatku bertanya-tanya.


"Hanya saja...?"


Ucapku dengan wajah bertanya-tanya sambil menaikkan alis kiriku.


"Aku senang."


Terdengar Koyomi mengucapkan itu dengan wajah benar-benar bahagia. Dia lalu mengangkat kembali kepalanya dan menunjukkan wajah manis ceria dan bersemangat menyetujui ajakanku. Aku mengira dia bersedih sebelumnya, tapi sepertinya tidak dan justru sebaliknya, syukurlah.


"Syukurlah, kalau begitu, ayo!"


Ucapku dengan nada gembira dan penuh semangat yang kemudian beranjak dari kursi. Dilanjut Koyomi yang juga ikut beranjak dari kursi. Aku lalu meninggalkan bayaran untuk pesananku tadi di meja, begitu pula Koyomi. Setelah itu kami berjalan keluar dari kafe melalui pintu keluar.


"Terimakasih, datang kembali ya."


Terdengar pelayan tadi mengucapkan terimakasih dan mengharapkan kami kembali ke sini lagi saat membuka pintu dan keluar. Kami pun berjalan sambil berbincang-bincang.


"Koyomi, apa ada tempat yang ingin kamu kunjungi?"


Tanyaku pada Koyomi sambil berjalan berdampingan.


"Kalau begitu..."


***


Kami pergi berjalan-jalan ke berbagai tempat. Kami pergi ke tempat seperti toko baju, toko buku, toko kue, dan lain sebagainya. Hingga tidak terasa telah masuk matahari akan tenggelam dan telah masuk waktu sore. Kebetulan saat ini kami sedang mengunjungi taman bermain dan sekarang sedang duduk beristirahat sambil memakan es krim.


"Enak~"


Terdengar Koyomi begitu senang dan bahagia saat memakan es krim.


"Benar... es krimnya enak sekali."


"Ya kan. Tekstur es krimnya yang sangat lembut. Rasa Matcha dari es krimnya yang diracik pas. Benar-benar bisa membuat ketagihan."


Kami menikmati es krim kami masing-masing, hingga kemudian.


"Aoi, mau mencoba es krimku?"


Koyomi menawarkan es krimnya padaku untuk dicicipi.


"Boleh saja."


Aku menerima tawaran Koyomi dengan senang hati. Kemudian aku mencicipi es krim rasa Vanilla yang ditawarkannya padaku.


"... Vanilla juga nggak buruk ternyata, enak."


"Baguslah kalau kamu suka."


Kemudian aku juga ikut menawarkan es krimku yang rasanya Matcha padanya.


"Koyomi juga, mau mencoba es krimku?"


Koyomi mengangguk kecil, menerima tawaranku. Aku mendekatkan es krimku padanya dan Koyomi mendekatkan kepalanya pada es krimku untuk mencicipinya. Saat Koyomi mencicipi es krimku, jarak kepalanya denganku hanya beberapa senti darinya. Hingga aku bisa mencium bau harum dari rambutnya.


(Shampo yang dipakai Koyomi masih tetap wangi meskipun hari sudah menjelang sore ya.)


Batinku dalam hati seketika itu. Kemudian, aku tanpa sadar dan berpikir panjang langsung mendekatkan wajahku pada rambut Koyomi yang berwarna ungu kemudaan itu, hingga kemudian.


"Matcha juga en—"


Aku mencium rambut Koyomi dan merasakan wangi rambutnya yang begitu harum. Wanginya benar-benar membuatku lupa akan semua hal yang sedang terjadi sebelumnya. Apa ini karena aku yang mencintainya? Atau apa ini karena aku memiliki Fetish rambut? Tapi sejak kapan aku memiliki Fetish rambut? Setelah itu, aku kemudian sadar dengan apa yang barusaja kulakukan dan merasa malu sendiri.


"Waaa...! Ma-maaf Koyomi. Aku nggak sengaja...!"


Ucapku sambil menjauhkan wajahku dari kepalanya.


"..."


Koyomi terdiam tidak menjawab apa-apa. Terlihat sedikit wajahnya yang memerah dari tempatku berada.


"Ya... itu... soalnya, rambutmu... begitu wangi. Walaupun sudah menjelang sore, tapi tetap saja harum. Shampo apa yang kamu pakai—eh! Ngomong apa aku ini...?!"


Aku kemudian berdiri dari tempat duduk dan langsung menghabiskan es krimku dengan cepat. Tapi kemudian, aku merasakan ada tetesan air jatuh mengenai kepalaku.


"...?"


Tetesan itu perlahan-lahan mulai terus berjatuhan dan aku pun melihat ke atas. Ternyata langit berwarna abu-abu tertutup awan yang telah mendung dan tetesan air tadi berasal darinya. Dengan kata lain, hujan. Aku langsung mengajak Koyomi untuk mencari tempat berteduh agar tidak kehujanan.


"Hujan. Koyomi, ayo cepat kita mencari tempat berteduh!"


"Eh?"


Kugandeng tangannya dan mengajaknya berlari ke tempat berteduh yang terdapat tempat duduknya. Baju kami sedikit basah karena terkena tetesan air hujan tadi saat berlari ke sini. Tapi beruntung, saat kami sudah berteduh, hujannya baru menjadi sedikit deras.


"Hujan ya..."


Gumam Koyomi sambil menatap ribuan—jutaan tetesan air yang berjatuhan dengan cepat silih berganti.


"Padahal tadi ramalan cuacanya cerah, kenapa ya?"


Ini adalah hujan yang pertama kali di tahun ini. Wajar, kami sudah memasuki pertengahan akhir bulan Juni. Tapi paling awal seharusnya saat bulan Mei kemarin kenapa baru sekarang ya? Mungkin Dewa berkehendak lain.


"Aoi."


Terdengar Koyomi yang berada di sebelahku memanggil namaku.


"Apa?"


"Ada yang mengatakan, jika ada hujan terjadi tiba-tiba seperti ini. Itu menandakan ada seseoraang yang dilanda kesedihan yang besar, kamu tahu?"


"Enggak."


Jawabku sambil menggelengkan sedikit kepalaku setelah mendengar ucapan Koyomi. Sementara hujan bertambah deras sedikit demi sedikit.


"Dan katanya, seseorang yang sedang dilanda kesedihan besar itu berasal dari orang yang dekat dengan kita."


"Eh?!"


Aku bukan terkejut karena ucapan Koyomi tadi, tapi karena sesuatu yang lain.


"Yah... tapi yang kudengar itu hanya kata-kata dari seseorang saja, jangan terlalu dianggap serius kok."


"Bukan itu Koyomi... liat di sana!"


Aku menunjuk pada seorang perempuan yang berdiri di tengah-tengah hujan, menundukkan kepala. Perempuan tersebut berambut biru panjang, memakai baju yang terlihat manis jika tidak terkena guyuran air hujan. Dan seketika setelah itu, penampilannya mengingatkanku pada Manaka. Dia benar-benar mirip dengannya.


"... Sepertinya aku kenal dengan sosok itu."


Terdengar Koyomi juga menyadari sesuatu setelah melihat perempuan yang kutunjuk. Kemudian terpikirkan dalam diriku perkataan Koyomi sebelumnya tentang Mitos hujan yang berkaitan dengan kesedihan besar yang dilanda orang terdekat.


"Manaka..."


Ucapku dengan nada dan suara kecil, menduga jika itu adalah Manaka.


"Eh...?"


Aku pun langsung berlari menerobos hujan ke arah perempuan tersebut. Sosoknya benar-benar sama seperti Manaka. Aku bisa tahu dari tingginya, warna rambutnya, dan baju yang dipakainya, aku pernah melihatnya sebelumnya. Itu adalah baju yang sebelumnya kubelikan sebagai hadiah atas ulang tahunnya yang ke-12.


"Manaka!!!"


Aku berteriak dengan keras ke arahnya dengan penuh keyakinan bahwa dia adalah Manaka. Di tengah-tengah hujan yang perlahan-lahan mulai deras. Aku berlari hingga semua pakaianku basah kuyup. Tak lama kemudian aku sampai di tempat Manaka berada. Tapi kemudian aku terhenti.


"Mana— !?!"


"... napa"


Dia mengatakan sesuatu saat aku berhenti. Aku tidak terlalu mendengar apa yang dikatakannya karena kalah dengan suara rintikan hujan.


"Manaka?"


"Kenapa...?"


Dia menghadapkan wajahnya padaku. Walaupun seluruh badan dan pakaiannya basah kuyup, tapi entah kenapa aku bisa mengetahui jika dia sedang menangis.


"Manaka, aku... ma—"


Aku ingin mengatakan maaf padanya, tapi sebelum aku menyelesaikan kata-kataku, Manaka pergi berlari meninggalkanku dengan cepat. Dia berlari tanpa arah sambil menundukkan wajah. Aku yang melihat itu kemudian langsung mengejarnya.


"Manaka! Tunggu!"


"AKU NGGAK PEDULI!!! JANGAN IKUTI AKU!!!"


Teriaknya sambil berlari menyuruhku untuk berhenti mengikutinya. Tapi, aku tidak bisa melakukannya karena saat ini aku benar-benar merasa khawatir dan ingin meminta maaf padanya.


"Dengarkan aku dulu! MANAKA!!!"


Aku terus mengejar Manaka yang berlari hingga pergi dari taman bermain. Sementara Manaka tetap berlari tanpa arah.


Di tengah-tengah hujan yang perlahan-lahan menjadi deras, aku, Shirotsuki Aoi sedang berlari berusaha mengejar adik perempuanku sendiri. Tanpa memedulikan pakaian yang sudah basah kuyup dan tubuh yang kedinginan karena terkena guyuran derasnya air hujan. Aku hanya terus berlari mengejarnya.

Comment