Chapter 6: Problem & Training (Masalah dan Latihan)

"Apa maksudnya ini? Kelas sudah dimulai sejak tadi dan kalian berdua malah berada di sini?"


Kirin-senpai terlihat sangat serius bertanya pada kami. Kami tidak tahu harus berkata apa dan bagaimana menjelaskannya.


"A-anu... Senpai... aku bisa menjelaskan ini..."


Aku terbata-bata menjawab pertanyaan Kirin-senpai sambil memikirkan sebuah alasan.


"Menjelaskan apa?"


"Anu... e-etto..."


Kedua bola mataku melirik-lirik sekitar sambil berpikir. Hingga akhirnya aku ingat sesuatu yang mungkin bisa menjadi alasan, yaitu tentang tasku yang ketinggalan.


"Oh ya, tasku! Aku tadi mencari tasku yang hilang, lalu aku nggak sengaja bertemu Koyomi dan memintanya untuk membantuku mencarikan tasku. Di mana tasku ini..."


"Tas?"


"Ya-ya! tasku... tiba-tiba menghilang saat akan masuk ke sekolah. Jadi aku mencarinya dengan meminta bantuan Koyomi bersama-sama.


Ucapku dengan nada seperti seseorang yang plin-plan.


"Bagaimana bisa... ?"


Kirin-senpai mulai memasang mata mencurigakan yang di arahkannya padaku. Seketika itu aku menjadi sedikit ketakutan dan melirikkan mataku ke arah lain, menghindari tatapan Kirin-senpai.


"Y-yah... aku juga... nggak tahu."


"Bukankah kau tetap bisa masuk ke kelas, mengikuti pelajaran tanpa membawa tas."


"Ya... tapi... semua bukuku..."


"Kau bisa bergabung dengan teman sebelah bangkumu."


"..."


Aku terdiam seketika itu. Koyomi kemudian menyela dan ikut masuk dalam pembicaraan kami.


"Kirin-senpai... anu... kami sebenarnya sudah mendengar bel sekolah berbunyi. Tapi bagaimanapun juga, Aoi tetap harus membutuhkan tas itu di kelas. Karena ada buku catatan tugas yang harus diberikan pada sensei. Maka dari itu—"


Kirin-senpai lalu memotong ucapan Koyomi yang belum selesai dengan cepat.


"Baiklah... aku menerima alasan kalian. Kau sedang mencari tasmu kan, Aoi?"


"Y-ya."


"Kalau begitu ikuti aku, ada sensei yang menemukan sebuah tas tadi pagi. Mungkin saja itu milikmu."


Ucap Kirin-senpai yang kemudian berbalik badan, berjalan masuk kembali ke gedung sekolah. Kami lalu mengikutinya masuk.


"Kita selamat Aoi!"


Bisik Koyomi padaku dengan suara kecil. Aku lalu mengacungkan Jempol padanya dengan wajah bersyukur. Tiba-tiba Kirin-senpai mengingatkanku untuk menutup pintu Rooftop.


"Jangan lupa untuk tutup kembali pintunya."


"Baik."


Setelah itu kami melanjutkan perjalanan dengan dibimbing Kirin-senpai menuju ke Ruang guru. Dalam perjalanan aku penasaran dan bertanya pada Senpai.


"Ngomong-ngomong, kenapa Senpai sendiri nggak ikut pelajaran di kelas?"


"Hari ini giliranku berpatroli mengelilingi sekolah untuk mencari siswa yang membolos. Akhir-akhir ini ada beberapa yang suka membolos."


(Salah satunya aku oi!)


Batinku dalam hati merasa lucu, karena salah satu dari beberapa siswa yang suka membolos adalah aku. Tetapi aku tidak pernah ketahuan jika sedang membolos.


"Kirin-senpai anggota komite kedisiplinan sih."


Ucap Koyomi yang ikut ke dalam pembicaraan kami. Aku lalu bertanya lagi.


"Jadi, pelajarannya?"


"Soal itu tenang saja. Meskipun aku tidak mengikuti pelajaran karena tugasku sebagai anggota komite kedisiplinan, aku tetap tidak ketinggalan pelajaran karena aku selalu rajin belajar. Dan juga masih ada teman-teman sekelasku yang peduli meminjamkan buku catatannya padaku untuk kusalin."


"Heh~"


Aku merasa kagum dengan Kirin-senpai, dia benar-benar orang yang bisa diandalakan dan dipercaya. Tidak lama kemudian kami sampai di ruang guru. Kirin-senpai lalu masuk dan mengambil tas di sana dengan izin guru. Setelah selesai, dia keluar dan memberikannya padaku.


"Ini kan?"


Aku lalu membuka tas tersebut dan melihat isinya. Di sana ada buku-buku pelajaran dan catatan dengan namaku, ini benar-benar tas milikku.


"Benar senpai! Ini milikku, terimakasih banyak!"


Ucapku dengan nada bersyukur, berterimakasih pada Kirin-senpai. Kami lalu pergi berjalan menuju ke kelas. Tapi, Kirin-senpai tetap ikut bersama kami dari belakang. Sesampainya di kelas yang sedang di tengah-tengah pelajaran, Koyomi mendahului membuka pintu kelas dan masuk. Sedangkan aku berhenti tepat di depan kelas.


"Permisi! sensei ..."


Terlihat sensei yang sebelumnya sedang menjelaskan kini berhenti dan melihat Koyomi.


"Fujisaki, dari mana saja kau? Kelas sudah dimulai sejak tadi, kenapa baru masuk sekarang?"


"Tadi ada sedikit masalah, jadi saya mohon maaf karena datang terlambat."


Ucap Koyomi yang kemudian sedikit membungkukkan badan meminta maaf.


"Yah... baiklah kalau begitu. Duduklah di bangkumu sekarang dan buka halaman 32 yang sedang kita bahas sekarang."


"Ya."


Koyomi lalu duduk di bangkunya setelah diizinkan untuk mengikuti pelajaran meskipun terlambat.


"Berarti tinggal Shirotsuki ya."


Aku lalu masuk ke kelas perlahan-lahan dengan sedikit tidak percaya diri. Kenapa? Karena sensei yang saat ini berada di kelas... adalah wali kelasku. Jadi, dia pasti tahu tentang daftar absensiku saat masuk atau membolos ketika pelajaran berlangsung. Setelah itu aku juga cepat-cepat langsung sedikit membungkukkan badan, meminta maaf.


"Sa-saya minta maaf karena datang terlambat juga, sensei. Tadi tas saya hilang dan saya mencarinya kemana-mana, tapi sekarang sudah saya temukan."


"Kau ini... selalu saja... kemarin juga, setelah istirahat makan siang kenapa tidak ada di dalam kelas? Dan beberapa hari yang lalu juga sama."


(Sudah kuduga... Bagaimana ini... ?)


Batinku dalam hati setelah mendengar ucapan sensei tadi. Kirin-senpai yang sedari tadi masih bersama kami hingga masuk ke kelas tiba-tiba ikut masuk ke dalam pembicaraan.


"Hmm... Jadi kau salah satu dari siswa yang sering membolos akhir-akhir ini ya... Shirotsuki?"


(Gawat, benar-benar gawat.)


Aku begitu merasa bersalah. Keringat mulai muncul dari dahiku, menandakan bahwa aku sedang merasakan situasi yang paling tidak diinginkan.


"Yah... sebenarnya aku sudah tahu sejak tadi sih. Tapi karena aku baik hati, aku tidak langsung memanggilmu dan mencoba mencari bukti dulu, ternyata benar."


Tambah Kirin-senpai yang ternyata sudah mengetahui jika aku seringkali membolos pelajaran. Seluruh kelas terdiam melihatiku, termasuk sensei dan Koyomi. Aku pun tersenyum sedikit dan menyerah.


"Ha-ha..."


"Shirotsuki...! Kau tahu konsekuensinya kan?"


Sensei mengingatkanku untuk bertanggung jawab atas kesalahan yang kulakukan.


"Ya... ya... saya siap menerima hukumannya."


Jawabku dengan lesu dan merasa bersalah. Akhirnya aku tidak diizinkan untuk mengikuti pelajaran di kelas dan dihukum membawa dua ember air penuh sampai pelajaran sensei selesai. Setelah itu, aku dipanggil menuju ruang guru untuk "diceramahi" mengenai apa yang telah kulakukan.


***


Setelah sekolah usai, seperti biasa, aku dan Koyomi berangkat ke klub bersama. Di tengah perjalanan kami berbincang-bincang mengenai latihan berpedang yang dibicarakan Koyomi tadi.


"Bagaimana kalau kita mulai besok minggu? Ah... tapi jika kondisi tubuhmu masih belum prima, kita bisa lakukan di lain hari kok."


"Nggak, aku sudah nggak apa-apa. Mungkin bisa, tubuhku tidak separah itu. Hanya dengan istirahat yang cukup, aku pasti sudah akan kembali ke dalam kondisi prima."


Ucapku dengan penuh percaya diri, berusaha agar tidak membuat Koyomi khawatir.


"Tapi... tadi kamu barusaja mendapat hukuman berat. Benar kamu baik-baik saja?."


"Tenang saja kok. Hal seperti itu nggak akan membuatku tumbang."


Aku lalu tersenyum dengan penuh perasaan bangga. Tidak lama kemudian kami sampai di depan ruang klub dan masuk ke dalamnya.


"Kami datang!"


Sama seperti beberapa hari sebelumnya saat aku masuk ke ruang klub, Manaka tiba-tiba langsung memelukku dengan cepat.


"Onii-sama~ Aku kangen~!"


"..."


Aku diam tidak menanggapi ucapan Manaka setelah satu hari tidak bertemu satu sama lain. Dan juga aku masih mengingat kesepakatan yang kubuat dengan Yuri-chan.


"Onii-sama pasti kangen juga kan?"


"..."


Manaka kemudian melepaskan sedikit pelukannya untuk melihat wajahku. Aku yang sedari tadi diam tidak menjawab dan menanggapi ucapan Manaka sudah bersiap-siap memasang wajah tidak peduli.


"Onii... sama?"


"Sudah cukup...! Manaka."


Ucapku padanya sambil mendorong sedikit Manaka untuk melepaskan pelukannya. Seketika itu Manaka langsung terheran-heran dan mulai merasa sedih.


"Kenapa...?"


Dia bertanya padaku dengan raut wajah sedih. Aku berpura-pura tidak mendengar perkataannya dan pergi mengalihkan diri pada Yuri-chan yang saat ini tengah duduk meminum teh.


"... Yuri-chan, itu sepertinya enak. Tolong buatkan satu untukku ya."


Yuri-chan lalu menjawab dengan santai.


"Baiklah, aku akan membuatkannya. Fujisaki-senpai juga?"


Dia lalu melirik ke arah Koyomi, menanyakan apakah dia juga mau dibuatkan atau tidak. Koyomi menerima dengan sedikit merasa bingung. Mungkin karena sikapku dan Yuri-chan yang seperti sedang mengabaikan Manaka.


"Ah... ya-ya, terimakasih."


Aku lalu berjalan perlahan ke kursi melewati Manaka seperti tanpa merasa telah menyakit seseorang, padahal sesungguhnya aku merasa sebaliknya. Kemudian aku menaruh tasku dan duduk menunggu Yuri-chan yang sedang membuatkan teh. Koyomi juga menyusulku, duduk di kursi sebelahku. Sementara Manaka masih berdiri di dekat pintu terdiam, merasa terheran-heran dan mulai merasa sedih. Juga, Kirin-senpai sedari tadi tidak memperhatikan dan mengetahui situasi saat ini karena dia telah hanyut ke dalam buku Astronomi yang sedang dibacanya.


"..."


Aku melirik sedikit ke Manaka dan melihat dia terdiam menundukkan kepalanya. Tidak lama kemudian dia berlari mengambil tasnya di dekatku dan langsung pergi meninggalkan ruang klub. Tepat setelah itu, Yuri-chan telah selesai membuatkan teh dan menaruhnya di nampan yang kemudian kembali untuk diberikan pada kami.


"Terimakasih, Yuri-chan."


Ucapku saat dia memberikan tehnya padaku. Aku lalu menyeduh teh tersebut dengan santai, sementara Koyomi nampak bingung sambil memasang wajah bertanya-tanya.


"Ada apa... ini?"


"Ah... abaikan saja."


Jawabku dengan nada biasa yang sebenarnya terkandung rasa bersalah setelah menyeduh sedikit tehnya.


"Hm?"


Koyomi memasang wajah bertanya-tanya. Kemudian, aku beranjak dari tempat duduk, mengambil Buku yang ada di rak buku ruang klub untuk dibaca agar tidak memikirkan apa yang telah kulakukan pada Manaka tadi. Aku mengambil acak buku di sana dan mendapatkan buku yang berjudul "Kumpulan Rasi Bintang". Aku membuka buku tersebut dan membacanya. Saat membacanya aku melihat ada daftar 12 rasi bintang, yang disebut "Zodiak".


"Zodiak?"


Di situ tertulis, rasi-rasi bintang yang namanya mirip dengan nama Vertex yang pernah kuhadapi dan saat ini tersegel dalam diriku. "Sagittarius", "Cancer", "Libra", "Virgo", semua nama itu tertulis di sertai penjelasannya secara Ilmu Astronomi dan Mitologinya.


(Kenapa mirip sekali dengan nama Vertex? Terlebih lagi, ada mitologinya juga.)


Pikirku dalam hati sambil tetap membaca buku itu. Aku lalu memanggil Koyomi kemari untuk ikut melihat buku yang kubaca ini dan bertanya padanya.


"Kenapa mirip sekali dengan nama Vertex?"


Tanyaku padanya dengan suara kecil.


"Apa kamu belum tahu? Vertex kan ada 12. Dan ke-12 nama Vertex itu berasal dari Zodiak Bintang yang berjumlah 12 juga."


Koyomi menjelaskannya padaku dengan suara kecil agar tidak didengar oleh Kirin-senpai.


"12 Zodiak, yaitu: Aries, Taurus, Gemini, Cancer, Leo, Virgo, Libra, Scorpio, Sagittarius, Capricorn, Aquairus, dan Pisces. Itulah nama-namanya secara urut."


Mendengar penjelasan lanjutan Koyomi itu, aku berpikir lagi.


"Hmm..., nama adalah sebutan untuk menandai sesuatu yang diberi nama itu sendiri. Nama yang diberikan pasti bersangkutan dengan hal yang diberi nama. Kalau begitu, ke-12 Vertex itu memiliki pasti memiliki kesamaan dengan rasi bintang Zodiak ini. Koyomi, ini berguna sekali! Aku akan mempelajarinya."


"Kalau dipikir-pikir benar juga ya."


"Aku ini memang Jenius, hehe."


Aku berkacak pinggang dan mendongakkan kepala ke atas, bertingkah sombong karena bangga pada diriku sendiri.


"Tapi, mungkin ada beberapa yang tidak mempunyai kemiripan lho..."


"Maksudnya?"


Aku memasang wajah bertanya-tanya pada karena mendengar perkataan Koyomi.


"Coba ingat Cancer Vertex, dalam Mitologinya, dia digambarkan sebagai kepiting raksasa."


Setelah mendengar itu, aku lalu membalik-balik kertas di buku tadi dan mencari-cari halaman yang menjelaskan tentang rasi Bintang Cancer. Tidak lama kemudian, aku menemukan halaman tersebut lalu membaca penjelasan tentang mitologinya. Dan benar yang dikatakan Koyomi, Cancer digambarkan sebagai kepiting raksasa yang dulunya dalam Mitologi Yunani adalah utusan Dewi Hera untuk membantu Lernaean Hydra yang sedang berhadapan dengan Heracles. Kepiting raksasa tersebut mencapit kaki Heracles hingga merasakan rasa sakit yang luar biasa. Setelah itu, Heracles yang merasa kesakitan marah besar dan menghancurkan kepiting tersebut. Dewi Hera yang merasa bangga dengan utusan kepitingnya itu lalu menempatkan dia di kalangan bintang sebagai rasi bintang Cancer.


"Beneran! Dan bentuk dari Cancer Vertex..."


Aku berpikir mengingat-ingat wujud dari Cancer Vertex yang tadi pagi baru saja kusegel.


"Yah... walaupun dia mempunyai dua capit seperti kepiting, tapi apa-apaan benda melayang proyektil yang mengelilinginya itu?"


"Sudah kubilang kan."


"Jadi, apa ini masih tetap berguna?"


Tanyaku sambil melihat buku yang kupegang ini. Koyomi menaikkan kedua pundaknya sebentar.


"Mungkin... tapi terserah padamu."


Aku lalu menutup buku yang kupegang dan mengembalikannya pada tempatnya. Aku berpikir bahwa itu tidak terlalu membantu menurutku, jadi kukembalikan saja.


"Sudahlah..."


***


"Sampai jumpa, Koyomi."


Aku malambaikan tangan biasa ke arah Koyomi. Setelah selesai kegiatan tadi di klub, kami pulang bersama seperti biasa.


"Iya, sampai jumpa. Besok minggu, aku akan menunggu di sekitaran kuil jam 9 pagi."


"Ok!"


Pada akhirnya, aku memutuskan untuk memulai latihannya besok. Berhubungan besok adalah hari libur efektif dan aku tidak mempunyai kegiatan lain selain menulis dan bermalas-malasan.


(Besok minggu kah..., latihannya...)


Aku berjalan menuju gerbang besar yang tidak lain adalah jalur masuk utama kediaman keluarga Shirotsuki. Gerbangnya awalnya tertutup dan saat aku datang, ada penjaga yang membukakannya. Aku langsung disambut oleh penjaga tersebut.


"Selamat datang, Aoi-sama!"


"Ya, aku pulang, terimakasih karena selalu membukakan gerbangnya untukku ya."


"Saya merasa bahagia atas ucapan terimakasih Aoi-sama."


Kemudian, aku terus melanjutkan berjalan menuju ke pintu rumah. Dan saat masuk ke dalam, aku disambut lagi oleh kepala pelayan keluarga Shirotsuki.


"Selamat datang, Aoi-sama!"


"Ya, aku pulang. Ngomong-ngomong, Manaka di mana?"


Aku langsung menanyakan Manaka, memastikan apakah dia ada di rumah atau tidak.


"Manaka-sama, sudah pulang sedari tadi lebih awal daripada Aoi-sama."


"Begitu ya."


"Apa perlu saya panggilkan?"


Dia menawarkan untuk memanggil Manaka padaku.


"Tidak, tidak usah. Setelah ini aku akan langsung masuk ke kamar. Panggil saja dia seperti biasa jika sudah waktunya makan malam."


Tapi aku menolak tawarannya, karena merasa nanti akan mengganggunya. Sebagai gantinya, aku menyuruh dia untuk memanggilnya seperti biasa saat akan makan malam, karena itu adalah salah satu tugas pekerjaannya di kediaman keluarga Shirotsuki ini.


"Dimengerti."


Aku lalu berjalan ke kamar melewatinya yang sedikit membungkuk memberi hormat padaku. Dalam perjalanan ke kamar, aku melewati kamar Manaka. Pintu kamarnya tertutup seperti biasanya. Kemudian seketika itu, pintu kamarnya terbuka dan Manaka keluar dari kamarnya. Dia terkejut saat bertemu denganku yang berada di dekat kamarnya. Tapi dia langsung pergi menghindariku, seolah-olah dia sedang tidak ingin berbicara padaku.


(Sepertinya, dia benar-benar merasa sedih. Apa benar ini akan membantu menyelesaikan masalahya?)


Pikirku dalam hati sambil melihat ke arah Manaka yang pergi dengan menundukkan kepala.


***


Woosh!


Ayunan Shinai yang membelah angin menimbulkan suara yang terdengar menggema di seluruh ruangan. Saat ini aku berada di Dojo dekat rumah Koyomi, berlatih seni berpedang sesuai yang telah direncanakan.


"Bagus, Aoi! Kamu melakukannya dengan baik."


"Terimakasih... atas... pujiannya."


Aku menanggapi ucapan Koyomi dengan tetap mengayunkan Shinai. Tidak lama kemudian, setelah beberapa ayunan lagi, Koyomi menyuruhku berhenti.


"Baiklah, berhenti."


"Eh... ?"


"Sudah cukup berkeringat?"


"Hah... hah... begitulah..."


Ucapku dengan nafas yang sedikit tersenggal-senggal karena merasa kelelahan.


"Kalau begitu, mari kita lanjut ke tahap selanjutnya. Masih kuat?"


"Ya...! Nggak masalah... mohon bantuannya."


Koyomi lalu mengambil Shinai yang berada di dekatnya dan berdiri di hadapanku. Dia lalu mulai menjelaskan tentang tahapan selanjutnya yang akan dipraktekkan.


"Selanjutnya ini adalah Kendo. Setelah dirasa cukup mengayunkan Shinai tadi yang bermanfaat untuk melatih lengan dan ketepatan lurus dalam menebas ke depan. Kendo adalah tahap lanjutan dan penyempurnaan dari mengayunkan Shinai tadi."


Dia memasang wajah serius dalam menjelaskannya. Matanya terlihat begitu membara dan bersemangat, seolah dia benar-benar ingin melakukan hal ini, menjadi orang yang mengajari sesuatu.


"Kendo berpusat pada bagaimana kita bisa membuat sikap yang tepat, jarak dan pemotongan yang tepat. Kendo juga mencakup pada serangan atau dorongan yang kuat pada bagian-bagian tubuh lawan. Seperti pergelangan tangan, kepala, leher, perut, dan lain sebagainya."


"Woah..."


Koyomi lalu menghunuskan Shinainya lurus ke arahku.


"Jika kamu telah menguasai tahap ini. Maka untuk tahap-tahap selanjutnya pasti akan lebih mudah. Kalau begitu langsung saja, apa kamu sudah siap?"


"Iya."


Ucapku dengan semangat. Dia lalu mengangkat Shinainya melewati atas kepala dan berposisi sedang bersiap untuk melakukan serangan.


"Gerakan yang pertama adalah menyerang tepat pada kepala. Cukup fokuskan kekuatan pada kedua tanganmu untuk menimbulkan dorongan kuat yang dapat melumpuhkan lawan. Jika jarak antara dirimu dan lawan jauh, maka berikan juga kekuatan pada kedua kakimu untuk bisa maju menggapai musuh hingga jaraknya sangat memungkinkan untuk melakukan serangan. Ini disebut Men, serangan yang ditujukan kepada kepala lawan."


Jelasnya yang kemudian mengayunkan Shinainya ke atas kepalaku tapi tidak sampai mengenainya.


"Berarti, kita butuh memfokuskan kekuatan pada dua bagian, dua tangan dan kaki ya?"


"Benar."


"Begitu... ternyata cukup simpel dan mudah ya."


"Baguslah jika kamu cepat paham. Tapi, jangan terlalu dianggap mudah atau sebagainya lho... kamu harus tetap fokus dan serius."


Aku mulai ikut merasa bersemangat dalam hal ini yang kemudian membuatku memasang wajah serius dan percaya diri.


"Gerakan selanjutnya ...."


Dan begitulah, aku diajari oleh Koyomi tentang seni berpedang. Aku berlatih bersamanya mulai dari pagi hingga siang. Berdasarkan dari yang Koyomi ajarkan padaku, ada beberapa gerakan seperti, Men yang ditujukan menyerang pada kepala, Kote yang ditujukan menyerang pada tangan atau lebih tepatnya pada pergelangan tangan, Do yang ditujukan untuk menyerang dada atau perut dan masih banyak lagi. Aku berlatih dengan Koyomi hanya saat hari libur sekolah saja sampai satu minggu kemudian berlalu, yang berarti hanya dua pertemuan saja, dan itu Koyomi telah mengajariku banyak hal tentang seni berpedang. Walaupun aku belum terlalu menguasai semuanya secara penuh sih.

Comment