13. DYA

Rei tidak benar-benar menyukaiku, Ia hanya tertarik dengan kekuatan bodoh yang sama sekali tidak kupercayai. menghindari Rei adalah langkah awal untuk melupakannya, walaupun aku percaya Ia tahu kemanapun aku pergi. Aku berasumsi Rei dan Kevin pasti memiliki alat canggih untuk melacak lokasi keberadaanku. buktinya saat ini Kevin duduk persis disampingku.


Aku tidak habis pikir Ia meminta bertukar kursi dengan seseorang yang seharusnya duduk di sampingku dengan memberikan uang 10 juta. 10 juta untuk sebuah kursi di kereta? tentu saja dengan senang hati orang itu menerimanya.


"Kau gila." ucapku. kevin terkekeh. aku bersyukur digerbongku sepi, jadi tidak mencuri perhatian banyak orang.
"Apakah di tubuhku ada pelacak atau semacamnya? menyebalkan sekali kau tahu dimanapun aku berada."
Kevin tersenyum jahil.
"Mengikutimu sangat menyenangkan." kata Kevin dengan mudahnya. Ia pasti sedang menggodaku.
"Jika aku menyuruhmu pergi, kau pasti tidak akan menurutinya kan? moodku sedang tidak baik."
"hmm.. sulit untuk tidak menuruti kemauanmu, Dy." jawab Kevin. aku terpaksa melirik kearahnya yang saat ini memandangiku.
"apa maksudmu?" tanyaku bingung. Kevin terlihat sedikit serius.
"kekuatanmu menyembuhkan seseorang, mungkin bukan hanya sebatas itu. kau seperti memaksa rasa sakit orang yang kau sentuh agar menghilang. Ini hanya hipotesisku, kau mungkin juga bisa memaksa siapapun atau bahkan apapun untuk melakukan apa yang kau perintahkan. Dengan sering berlatih, kekuatan itu semakin berkembang."
Aku mencoba mencerna perkataan Kevin.
"kau ingin aku mempercayaimu?" tanyaku tentu saja tidak percaya dengan apa yang disampaikan Kevin barusan. semalam Ia mengatakan bahwa aku bisa menyembuhkan tanpa alat atau obat, dan sekarang? aku bisa memerintahkan apapun?


"ya. tidak masuk akal kan?"


semua yang menimpaku akhir-akhir ini memang tidak ada yang masuk akal.


"apakah sesulit itu untuk mempercayainya, Dy?" tanya Kevin lebih seperti pernyataan.


"yang kau katakan terdengar tidak nyata." jawabku terus terang


"tapi aku nyata. Farley nyata. Mehra juga."


Mehra? Kevin menyebut nama itu dengan penuh kebencian.


"Siapa Mehra?" tanyaku penasaran. aku bisa merasakan hawa panas disekitarku. apakah jika sedang marah, si pematik ini dapat membuat uap panas?


"Ratu Farley." jawab Kevin tanpa menatapku.


"Kau begitu membencinya. apakah Ratumu sejahat itu?"


Kevin mengacak-acak rambutku dengan tangan kananya. "Cobalah mengingatku dulu Dy. Aku kesulitan untuk menjelaskannya jika kau belum mengingatku." ucap Kevin membuatku bingung.


"dari awal bertemu kau selalu bersikap sudah lama mengenalku, apakah kita pernah bertemu sebelumnya?"


Kevin tersenyum tipis. Ia mendekatkan wajahnya ke wajahku dan aku bisa melihat betapa sempurna wajah laki-laki ini. Alis tebal, mata indahnya, hidung mancung dan bibir merahnya. Tangan Kevin merengkuh wajahku.


"aku tahu kejadian 7 tahun lalu sangat menyakitkan" 7 tahun yang lalu? Ah kemarin Kevin sempat membahasnya. "Kau bisa mengingat kejadian pahit itu, lalu mengapa kau tidak bisa mengingatku?"


"Aku tidak mengerti apa maksudmu." Aku melepaskan kedua tangan Kevin dari wajahku.  Ia memejamkan matanya sambil menyandarkan kepala ke jendela kereta.


"Apakah kita saling mengenal?" tanyaku pada Kevin. Kevin tidak membuka matanya. tidak ada jawaban, aku memutuskan untuk tidak melanjutkannya.


apa saja yang kulupakan? siapa yang harus kupercaya? Tidak banyak kenangan yang ingat. Aku pindah sekolah tepat setelah kejadian bus itu. lalu saat kuliah, aku bertemu kembali dengan Rama yang ternyata teman satu kelasku di sekolah lama. aku memang tidak punya banyak teman, tapi aku senang memiliki sahabat seperti Rama.


***


sepanjang perjalanan Kevin tidur pulas, sepertinya Ia kelelahan. Kereta sudah berhenti sejak tadi, aku sibuk mencari Rama yang memaksa menjemputku. Aku melihat perempuan memakai blues pink dan kacamata hitam menghampiriku, ah Rama kelewat mencolok.
"Titip salam untuk Irama ya." Ucap Kevin dengan gaya santainya, aku menoleh kebelakang, Ia tersenyum sambil melambaikan tangan. Kevin mengenal Rama? tidak sempat bertanya, Kevin berjalan meninggalkanku.
"Bukankah itu Kevin?" tanya Rama sambil melihat kearah Kevin yang semakin jauh dari pandangan.
"Kau mengenalnya?" Tanyaku terkejut. Rama melihatku bingung.
"Tentu saja. Kevin Wallen. Kita pernah satu kelas denganya, kau tidak ingat?"
Aku menggelengkan kepala. Rama mengajakku masuk ke mobil. Setelah di mobil Rama melirik kearahku dengan waswas.
"Kau tidak apa-apa? apakah Kevin melakukan sesuatu padamu?" tanya Rama sambil menyetir.


"Kau yakin mengenal Kevin?" tanyaku serius. Rama mengerutkan alisnya.
"Kevin? Kau memanggilnya Kevin?  dulu kau memanggilnya dengan panggilan lain. Apa ya? Aku lupa. Alke? Atau Al.."
"Alke? Aku serius Ram."
"Aku juga serius Dy. Kau dulu sangat dekat dengannya, sampai-sampai mempunyai nama panggilan. Jadi ku pikir kalian pasti memiliki hubungan khusus." kata Rama. Aku tercengang. Dekat dengan Kevin?


"Mengapa aku sama sekali tidak ingat?"


"Kenangan sebelum kejadian itu..." Omongan Rama terputus. Ia terlihat ragu ragu untuk melanjutkannya.


"Ah, kejadian bus..." aku mengerti Rama tidak senang membuatku ingat akan kejadian pahit itu.


"Ya, kenangan sebelum kejadian itu, kau benar benar lupa ya?"
Aku tertegun. Selama ini aku sadar banyak kenangan yang hilang. Siapa teman-temanku, guru-guru disekolah lamaku. Sejak kecil aku di rawat oleh May, seorang wanita paruh baya yang mengaku teman dekat kedua orang tuaku. Saat aku bertanya dimana orang tua, dan apa yang mereka lakukan, May menjawab bahwa orang tua ku bekerja di bank dan meninggal karena kecelakaan mobil. Tidak semua ingatan tentang orang tua hilang, aku masih mengingat beberapa kenangan bersama ayahku. Namun tentang Ibuku, aku sama sekali tidak ingat. May pernah berkata bahwa biaya yang Ia keluarkan untuk merawatku, semata-mata harta kedua orang tuaku yang mereka tinggalkan. Aku menyayangi May. Ia benar-benar seperti seorang Ibu. Hatinya lembut dan sikapnya anggun. Cantik dan menawan, mungkin dua kata itu dapat mewakilinya.


Oh tidak! Kecantikannya. Keanggunan dan kepintarannya tidak seperti orang pada umumnya. Apakah May salah satu dari mereka?


"Ram, antar aku kerumah lamaku." Desakku.
"Kau mau bertemu Tante May?" Tanya Rama.
"Ya. Aku harus bertemu dengannya."
Rama mengambil jalan memutar, dan mengencangkan laju mobil. tiga puluh menit berlalu, Rama memarkirkan mobilnya di depan pagar rumah lamaku.


"Kau ingin ditemani?" tanya Rama. Aku menggelengkan kepala.


"Ada banyak hal yang ingin ku tanyakan pada May. sepertinya akan lama.."


"Oke. jika sudah selesai hubungi aku kapanpun, Dy." Rama tersenyum dan mengedipkan mata kepadaku. setelah mobil Rama tidak terlihat, aku masuk ke dalam rumah. Sudah hampir 1 tahun aku tidak mengunjungi May. Aku melihat sekitar rumah, dan tidak ada yang berubah. Pekarangan bunga, warna cat, letak perabot rumah, semua sama seperti terakhir kali aku kesini.


"Tante May.. May?"


tidak ada yang menyahut. apakah May sedang pergi? aku masuk kedalam kamarnya. Tidak ada siapapun. Aku mengambil handphone dari saku celana, May tidak menjawab telponku. Beberapa menit berlalu, aku tidur-tiduran di sofa. Daripada kamarku, aku lebih menyukai kamar May. Kamar May seperti memiliki magnet tersendiri. Dulu aku sering tidur bersama May, dan Ia tidak pernah menolak. Sekarang pukul 12.45, aku mencari makanan didapur maupun kulkas. Kulkas benar-benar kosong, tidak ada makanan atau minuman satu pun. May tidak seperti biasanya mengosongkan kulkas. Aku melihat sekitar rumah sekali lagi.
Mataku tertuju pada sebuah kalender yang terpajang dekat meja makan.
2015?


Aku berlari keluar rumah menanyakan pada beberapa tetangga dekat rumahku, jawaban mereka sama. Mereka tidak melihat May selama satu tahun lebih. telfon ku juga tidak dijawab. Aku meninggalkan rumah dengan berat hati. kemana aku mencari May? May tidak pernah menceritakan tentang keluarga atau saudaranya, jadi aku tidak tahu harus bertanya pada siapa.


****


"Apakah ada tambahan lain, nona?" tanya pelayan cafe.
"tidak, terima kasih." sahutku. aku pesan pizza dan lemonade untuk mengisi perutku. sore hari di ibukota, aku sudah lama tidak merasakannya. barusan aku menghubungi Rama, mengatakan bahwa aku akan tidur di rumah lamaku. mungkin malam hari May akan pulang.


Mataku tertuju pada sosok yang kukenal. Hoddie merah dan topi hitam terlihat cocok di tubuhnya. padahal penampilan Kevin sangat sederhana, tapi mengapa ia terlihat sangat keren? aku dapat mendengar bisikan di cafe ini, kebanyakan perempuan memuji paras Kevin. Kevin tersenyum seraya duduk di kursi depanku.


"Kau kenapa?" tanya Kevin bingung melihatku menolehkan kepala ke kanan dan kiri. tentu saja aku merasa risih dengan tatapan orang-orang disekitarku.


"Kau kelewat mencolok. Maksudku, kau dan kaummu pasti selalu menjadi pusat perhatian. Ini bukan Farley, tahu. Orang biasa tidak serupawan kalian."


Kevin tertawa kecil. "Kau sama sekali tidak berubah, selalu saja menganggap dirimu berbeda dari kami. Kau tidak menyadari ekspresi laki-laki saat memandangmu?"
Apakah Kevin sedang memujiku?
"Well, aku tidak pernah menghiraukannya." Jawabku asal. Tentu saja banyak laki-laki yang mendekatiku karena parasku, tapi aku tidak mau mengakuinya. Rasanya memalukan sekali.
Pelayan datang membawakan makanan dan minuman, aku langsung melahapnya.
Kevin bangkit dari kursi menuju seorang pelayan yang sibuk melayani orang lain, Ia terlihat meminta sesuatu. pandanganku jatuh pada bahu lebar Kevin.
Wah bahunya kekar dan lebar, tanda bahwa Kevin pasti sering melatih fisiknya. Kevin kembali ke meja dengan membawa sebuah sedotan. Ia memasukan sedotan itu kedalam gelasku.
"Kau tidak memesan sesuatu?" Tanyaku.
"Aku tidak lapar." Jawabnya singkat.
Aku menghabiskan makananku dengan cepat. Kevin tidak bersuara sejak tadi. Aku melihat sesekali mata Kevin melirik ke berbagai arah, tanpa menolehkan kepalanya. Kevin terlihat santai, namun seperti mengawasi sekitar.
"Dengarkan baik-baik Dy. Jika ada seseorang yang menanyai apa kekuatanmu, jawablah kau adalah petarung. Sama seperti ayahmu." Bisikan Kevin benar-benar pelan, dan hanya aku yang bisa mendengarnya.
"Ayahku?" Belum sempat menyelesaikan pertanyaan, Kevin mengangkat meja makan didepanku dengan cepat, lalu melemparkannya ke belakangku. Aku spontan menunduk, dan detik berikutnya suara tembakan terdengar nyaring. Kevin mengeluarkan sebuah pistol dan menembakkannya ke berbagai arah. Kegaduhan dan teriakan pengunjung terdengar diseluruh ruangan. Aku melihat beberapa pria tinggi berjubah hitam mengepung kami. Mereka memegang pistol dan mengarahkannya kearah kami. Kevin menangkis semua peluru itu dengan apinya. Lalu Kevin berteriak, memerintahkan semua orang di cafe untuk keluar. Pria berjubah hitam itu tidak menghiraukan pengunjung, dan masih mengarahkan pistolnya kearahku dan Kevin. Kevin memberikan senyum sinis pada mereka.
Badanku gemetar, jantungku berdebar kencang. Kevin menarikku hingga tubuh besarnya berhasil menutupiku.
Enam. Jumlah mereka enam orang. Aku melihat tatapan dingin mereka, seolah ingin membunuh.
Suara tembakan bertubi-tubi kembali terdengar, mengarah kearahku. Kevin mengeluarkan api skala besar dari tangannya dan melemparnya kearah mereka. Mereka berlari kencang, hingga jarakku dengan salah satu dari mereka hanya satu langkah. Pria itu mengarahkan pistol tepat ke kepalaku, aku segara berlari dan meraih tangan kanannya. Detik itu juga aku memutar lengan tangan pria itu dan mendorongnya dengan keras hingga jatuh. Sedangkan pistolnya saat ini berada ditanganku. Aku pernah mengikuti kelas bela diri saat kuliah, dan reflekku cukup baik. Masih bisa bangun, pria itu kembali mengahampriku.
Kevin mengeluarkan listrik dari tangan kirinya, lalu menembakkannya kearah pria itu. Seketika pria itu tidak sadarkan diri, atau mungkin mati.
Kevin kembali mengambil pistol dari saku celananya dan menembakan kearah 5 pria didepan kami. 2 diantara mereka terkena tembakan itu, lalu 3 pria berhasil menghindar. Kevin berlari kearah mereka, memberikan pukulan penuh listrik secara bergantian. Dalam sekejap 3 pria itu tersungkur dilantai.
Kevin segera menarik tanganku untuk keluar dari cafe. Aku melihat kerumunan orang memandangi kami dengan khawatir. Susah payah aku mengikuti langkah cepat Kevin, sampai akhirnya Kevin menyuruhku masuk kedalam sebuah mobil. Tanpa pikir panjang aku mengikutinya.
Kevin sama sekali tidak terlihat kelelahan. Saat pertarung berlangsung, tidak ada rasa takut sedikitpun dimatanya.
"Identitasmu, beberapa orang di cafe tadi mungkin melihatmu mengeluarkan listrik. Apakah tidak apa-apa membiarkannya?" Tanyaku memecah keheningan. Tiba-tiba pandangan Kevin berubah, Ia terlihat kesal.
"Kau hampir terbunuh, dan yang kau pikirkan hanya itu?"
Aku belum pernah melihatnya marah seperti ini. Mobil terhenti, Kevin terdiam tanpa menatapku.
"Mereka ingin membunuhku? Kenapa? Siapa mereka?" Tanyaku sama sekali tidak mengerti situasi yang sesungguhnya.
"Whitless. Mereka prajurit kerajaan. Kenapa ingin membunuhmu? Tentu saja karena perintah Mehra. Ratu Farley, sekaligus wanita yang sudah membunuh kedua orang tuamu."

Comment