10. Rei

Aku masih di sini, tepat di depan Dya. Polos sekali. ia benar benar bepikir bahwa aku sudah pergi dari rumahnya. Aku duduk di sofa seraya menunggu Dya bersiap-siap.
setelah Dya masuk ke dalam kamar, aku keluar dari rumahnya.
Berpura-pura seakan aku baru saja dari rumah. Aku harus membuat kesan laki-laki yang sopan dengan tidak selalu menguntitnya. Aku merasa bersalah melihat Dya marah karena tahu aku memperhatikan kebiasaan mengigaunya.


"BRAAAK"
Pintu terbuka, Dya kaget melihatku berdiri tepat di depannya. Wajahnya bersemu. Ia mengenakan kemeja putih lengan panjang dan celana jeans. Rambut indahnya tergerai.
Sangat cantik.


Langkah Dya terhenti tepat di depan pintu mobil. Matanya membelalak, terlihat terkejut.
Ah. Mobilku.
"Kelewat mencolok ya?" Tanyaku mengerti tatapan kagetnya.
Dya mengangguk, lalu membuka pintu penumpang dengan kikuk. Tentu saja pintu itu tidak akan terbuka.
"Buka" ucapku pelan, kemudian pintu mobil terbuka otomatis.
Dya melirikku sebentar sebelum masuk ke dalam mobil. Aku sudah menduga reaksi Dya. Ia pasti sangat terkejut dengan kecanggihan yang tidak pernah ia liat.
"Apakah mobil ini milikmu?" Tanya Dya penasaran. Aku tertawa.
"Ya. Apakah hanya itu yang membuatmu penasaran?"
Dya menatapku tidak percaya.
"Kau pasti punya banyak uang." Ujarnya tanpa melirikku. Aku menyalakan mesin, lalu melajukan mobil.
"Uang tidak begitu berharga di Farley."
"Ya, Lissa juga mengatakan hal yang sama."


Aku mencuri pandang kearah Dya. Ia seperti menghindar dariku. matanya fokus ke luar jendela mobil.


"Sepertinya mobil ini autopilot. Kau memandangku cukup lama, tanpa memperhatikan jalan." ucapnya memecah keheningan.


Dya.. pintar. aku tahu itu. tapi mengapa ia tidak peka dengan lingkungan sekitarnya? mengapa berhari-hari ia tidak menyadari bahwa ada orang lain yang mengikutinya. Kevin. walaupun akhir-akhir ini Kevin tidak pernah muncul, aku tetap saja khawatir dan waspada.


Dya akhirnya menoleh kearahku. Ia mengamati tanganku yang tidak lagi memegang setir kemudi.


"bisakah kau bercerita tentang Farley? apakah teknologi disana jauh melebihi negri ini? bagaimana bisa kaummu begitu menawan dan cantik?" tanyanya bertubi-tubi.


kaummu. aku merasa heran mendengar Dya mengatakan bahwa kaumku dan kaumnya berbeda. padahal Dya adalah bagian dari kaumku.


"tidak banyak yang bisa ku ceritakan mengenai Farley. hanya sebuah negeri yang penduduknya memiliki kemampuan sedikit spesial. kami menyebutnya bakat. Hmm teknologi di Farley 10x lipat lebih canggih."


Jawabanku sepertinya tidak membuat Dya puas. aku memang tidak memiliki pengalaman menceritakan dunia Farley. tentu saja Farley dirahasiakan dari penduduk planet ini. tapi Dya sudah mengetahui tentang ku, dan Farley.


"apakah kaummu bebas berpergian ke bumi? ke kota atau negeri ini?"


aku tertawa. ia menyebut kaummu lagi.


"tidak. Penduduk Farley dilarang untuk ke sini. hanya beberapa dari kami saja yang berwenang." jawabku terus terang. Dya tertawa pelan.


"apakah kau seorang Raja?atau pangeran? kau pasti orang berpangkat."


Aku baru akan menjawab, nama sang pangeran muncul di layar tipis nan transparan di depan setir.


"Kau dimana, Rei?" tanya Aldo tanpa berbasa-basi. Dya menatap layar, atau lebih tepatnya menatap wajah Aldo di layar. Aldo melirik Dya sekilas, kemudian tersenyum.


"Aku sudah dekat rumah sakit. tunggu aku lima menit lagi, Al."


Aldo mengangguk, panggilan terputus. Dya mencoba bersikap biasa. aku tahu banyak sekali hal yang ingin ia tanyakan. berhari-hari aku mengikutinya, dan aku tahu Dya adalah tipe gadis yang selalu ingin tahu. Terutama saat ia bekerja. Ia akan terus bertanya kepada dokter senior atau perawat di sekitarnya jika ia tidak mengerti suatu hal. aku pernah mencuri dengar seorang dokter yang sudah cukup tua mengeluh karena rasa ingin tahu Dya. rasanya aneh jika saat ini Dya hanya diam, dan pastinya ia menebak-nebak.


Dya terlihat berpikir keras.


"Apa yang kau pikirkan?" tanyaku. wajah polosnya terlihat bingung.


"Aku hanya berpikir apakah tidak masalah jika kau mengantarku ke rumah sakit?"


pertanyaannya terdengar ragu-ragu.


"Memang kenapa?"


"Well, asal kau tahu mobilmu kelewat mencolok. orang-orang akan berpikir kau habis merampok bank."


aku terkekeh. jadi ia memikirkan pendapat orang mengenai mobilku. bukan memikirkan siapa aku sebenarnya.


mobil tepat berhenti di depan lobby utama rumah sakit. Dya membisikan "buka", namun tentu saja tidak ada reaksi apa-apa.


"Mobil ini menjengkelkan." ucapnya terus terang.


"Kau tidak takut? aku bisa saja berbuat jahat. saat ini kau benar-benar dalam posisi terjepit, tahu." tanyaku penasaran. Dya tertawa.


"Kau tidak akan melakukannya."


pernyataan itu membuatku senang. sekaligus lega. aku merogoh kantung kemejaku, dan menyerahkan benda kecil itu kepada Dya. Dya menatapku bingung.


"Untuk apa kau memberikan ku kalung? Oh tidak. Kalung ini terbuat dari berlian?"


Dya memutar-mutar kalung itu, dan takjub. Ia menyentuh liontin kecil berbentuk bulan sabit.


"Untuk jaga-jaga. ku mohon jangan pernah melepasnya. kau bisa menggunakannya saat keadaan terdesak."


Dya memasang kalung itu dengan cepat dan mudah. Melihat tengkuknya membuatku menelan ludah. Aku menahan nafas, berusaha mengabaikan tengkuknya.


"Saat kau mengatakan 'almond', aku akan segera datang. ku anggap itu sebagai sinyal bahaya."


"Almond"


Seluruh layar di mobilku memunculkan warna merah, tanda bahaya. Gelang perakku berubah menjadi merah, dan menghasilkan hologram bertulisan 'bahaya' dengan suara bising.
Dya tertawa.
"Aku menyukai kalung ini." Ucapnya terlihat puas.
"Buka"


Dya keluar dari mobil, dan melarangku untuk keluar. Katanya ia tidak mau orang-orang kenalannya melihatku. Setelah Dya hilang dari pandanganku, aku melajukan mobil dengan kecepatan penuh.
Melihat peringatan ada kemacetan, aku memerintahkan mobilku untuk terbang. Tentu saja mobilku menjadi tidak terlihat.


Aldo langsung menghampiriku saat mobilku berhenti tepat di depan rumah.
"Marin mengatakan akan terjadi kegaduhan saat pesta pemilihan ratu. Apakah kejadian itu berhubungan dengan barisan Shade?"
Pesta pemilihan ratu. Ah satu minggu lagi.
"Kita harus mencari jejak mereka, Al. Bagaimana detail kegaduhannya?"
"Marin melihat beberapa bangunan istana roboh."
Roboh? Bangunan sekuat dan sebagus istana bisa roboh.
"Kita harus bergerak cepat."


***


Sudah beberapa hari aku berada diruangan ini. Ruang kerjaku yang penuh dengan layar komputer dan hologram. Maven menegurku karena gila bekerja. Aku tidak bekerja untuk dewan, melainkan untuk diriku sendiri. Informasi yang sudah ku cari selama hampir 7 tahun tidak berkembang. Mengapa informasi mengenai kasus pembantaian shade, kelompok pengkhianat Raja Farley terdahulu sangat sedikit? Walaupun sudah bekerja sebagai badan tertinggi Farley, yang dapat mengakses berbagai informasi dengan mudah, aku belum mengetahui latar belakang shade. Alasan mereka berkhianat, dan mengapa Klan Wallen menutupinya rapat-rapat? Apa yang mereka sembunyikan?
Belum lagi, mengapa selama 7 tahun aku tidak dapat menemukan Dya. Kecanggihan teknologi di Farley tidak dapat di ragukan. Seluruh informasi berada di genggamanku.
Tapi mengapa tidak ada sedikitpun informasi mengenai Dyandra Melish?


"Apakah kau berpikir shade memiliki banyak pengikut?"
Tanya dennis ditengah pencarianku.
"Sangat banyak ku rasa. Bisa saja rencana mereka adalah menggulingkan Mehra." Jawabku.
"Jika kau ingin mencari informasi mengenai shade, bukankah seharusnya kita menangkap Kevin?" Dennis menatapku serius. Aku menggeram. Kevin! Aku jelas membencinya.
"Posisi kita. Posisi kevin. Bagaimanapun juga kevin seorang pangeran, dan kita tidak punya kewenangan menangkapnya. Belum. Sampai kita menemukan bukti."
Dennis menghela nafas.
"Terlalu lama, Rei. Kita bisa mengajaknya berdiskusi." Ucap Dennis. berdiskusi dengan pangeran angkuh itu? yang benar saja.
"Kevin bukan tipe yang dapat di ajak berdiskusi." Kataku dengan intonasi 'tidak ingin membahas' Kevin lagi.


"Kau membenci Kevin karena ia mengincar Dyandra. sehingga mengesampingkan hal terdesak. Sekarang ini sulit sekali menemukan anggota shade di sekitar kita, Rei. Satu-satunya orang yang jelas, dan mengaku barisan shade adalah Kevin. setidaknya kita mencoba dulu."


Aku terdiam. Dennis tentu saja sangat mengenalku. sebelum ini aku tidak pernah begitu membenci seseorang hingga seperti ini.


yang paling membuatku membencinya adalah ia mengenal Dyandra.


dan karena Kevin adalah pematik.


***


"Aku tahu suatu hari kau akan mencariku, Reinald."


aku memandangi sosok pria paruh baya di depanku. ia masih sama seperti 7 tahun yang lalu. hanya saja ada beberapa kerutan di wajah dan tubuhnya.


"Hai, Ben. Kau terlihat.. hm baik-baik saja."


pria berusia sekitar 40 an itu terkekeh. ia pasti tahu maksud kedatanganku.


"Lihatlah dirimu. sekarang kau sudah menjadi panglima. aku merasa terhormat sekali."


ucap Ben. aku tahu ia berdusta. setelah menyelamatkanku, mengungkapkan jati diriku,  dan mengajariku di akademik, aku mengenal Ben. Ia tidak merasa terhormat karena aku menjadi kaki tangan anggota kerajaan. Ben membenci Klan Wallen. aku sangat tahu itu.


"Aku tahu kau bagian dari shade." ucapku tanpa berbasa-basi. sesaat rahang Ben mengeras, pandangannya yang santai menjadi tertahan. kemudian ia tertawa kecil.


"Apakah maksud kedatanganmu adalah menuduhku? lalu menangkapku?"


kata-katanya terdengar seperti pernyataan. tidak ada sedikitpun rasa takut di matanya.


"Tidak. aku tidak mungkin menangkap seseorang yang sudah menyelamatkan hidupku. aku hanya ingin bertanya." ucapku perlahan. senyum Ben semakin lebar.


"Anak perempuan yang selamat 7 tahun lalu... apakah-"


"Dyandra?"


Ben memotong. ia masih mengingatnya. mengingat Dya. Aku menelan ludah.


"Kau masih memikirkannya? gadis itu."


Mata Ben menyipit. tentu saja. setiap hari dan setiap saat aku memikirkannya.


"Mengapa kau menyembunyikannya?"


tanyaku dengan suara bergetar, menahan agar tetap tenang.


"haha.. kau tahu betul aku hanya seorang instruktur di akademik. mana mungkin aku mempunyai kekuasaan seperti itu." jawab Ben santai.


"Lalu siapa?"


"bukankah seharusnya pertanyaanmu mengapa Dyandra disembunyikan? apakah dengan mengetahui dalang di balik ini, kau dapat menghabisinya?"


aku terdiam. tentu saja aku ingin tahu mengenai itu. tapi yang lebih penting, siapakah yang harus ku percayai untuk membantuku melindungi Dya?


aku berbalik, membuka pintu kamar Ben untuk keluar.


"Rei, ku perhatikan kau dekat dengan pangeran Dolf."


ucap Ben sebelum aku menghilang dari kamarnya. aku tahu ia memperhatikan gerak-gerikku. Ben membenci Wallen, dan Aldo salah satu dari mereka. ucapan Ben terdengar seperti peringatan. Aku tidak menghiraukannya. Aldo sahabatku, dan aku akan mempercayainya. Dia tidak akan mengkhianatiku


semoga saja.

Comment