Sepasang yang tidak berpasangan I Bag 2

   Tahun ajaran baru tiba. Taman Kanak-kanak didekat rumah-pun membuka pendaftaran murid baru. Aku dan Mirai yang sudah memasuki usia 5 tahun-pun didaftarkan. Berkata mama Nunung, "Ni, jangan pisahkan Tsaki dan Mirai ya. Aku ingin dia menjaga Mirai selama mungkin."


"Memang itu sudah tugas anakku, Nung. Kau tenang saja, dia bisa menjaganya."


   Pernah disatu ketika, Mirai diganggu oleh anak laki-laki lain yang mengganggunya. Mendapati hal itu, aku tak tinggal diam saja. Suatu waktu, dia yang sering mengganggu Mirai sedang berada di area bermain tepat di depan ayunan. Secepat mungkin aku lari kebawah, mengayunkan diri diatas ayunan sekencang-kencangnya. Lalu menendang anak lelaki tersebut hingga mendaratkan wajahnya ke tembok dan berdarah.


   Siang itu, ibuku datang kesekolah. Setelahnya aku tak diperbolehkan keluar rumah hingga seminggu. Kuharap Mirai merasa cukup untuk hal ini. Biarpun harus dihukum, aku lebih baik tak menemuinya seminggu ini daripada harus melihatnya menjadi wanita cengeng yang tiap hari selepas pulang sekolah selalu menangis karna diganggu oleh anak laki-laki tersebut.


   Esok harinya, aku ingat kejadian ini tepat berada didepan rak sepatu dan tas. Mirai menghampiriku, berterimakasih lalu mendaratkan sebuah ciuman dipipi. Aku hanya terdiam selama dirinya melangkah pergi. Meninggalkan tangan kiri tepat dipipi bekas ia menciumku. Untuk kali pertama, aku kehabisan kata dihadapannya.


***


   Selepas kejadian itu, aku dan Mirai yang sudah memasuki tahun ke 6 bersiap memasuki jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Mendapati Sekolah Dasar didekat rumah juga sudah membuka pendaftaran murid baru, ibuku dan mama Nunung sepakat untuk menyekolahkan aku dan Mirai ditempat yang tak berjarak jauh. Aku di SDN 05, sementara Mirai berada diseberang yakni SDN 06. Sekalipun tak satu sekolah, berangkat-pulang selalu aku yang bersamanya. Sudah kubilang, tak ada yang memisahkan kami.


   Hingga disatu ketika, aku yang memang terbilang anak yang nakal harus menghadapi sebuah keputusan besar. Ibuku lagi-lagi dipanggil kesekolah, karna aku sering berkelahi dikelas, juga menghindari beberapa mata pelajaran dengan pergi dari sekolah sebelum bel jam pulang berbunyi, mau tak mau diberikan sebuah pilihan. Pindah sekolah ke tempat yang cukup jauh dari sini atau mengulang satu tahun masa pembelajaran di sekolah. Dengan berat hati, ibu memilih untuk memindahkan aku dari sekolah tempat dimana Mirai berada dekat disana.


   Untuk pertama kalinya, terpisah jauh dari Mirai meski hanya sebatas diwaktu bersekolah membuatku tak merasa baik-baik saja. Untuk memberi efek jera, dihari yang sama aku seharian dikunci dikamar mandi oleh ibuku. Tak diberi makan, minum ataupun kesempatan untuk menemui Mirai.


"Permisi, Mama Uni. Tsaki nya mana? Aku dengar dia membuat ulah lagi ya?"


"Dia tak boleh keluar untuk sementara waktu, Nak." Mendapati penolakan, Mirai-pun memberitahukan kepada ibunya.


"Ni, jangan terlalu keras pada anakmu. Biar bagaimanapun, dia masih terlalu dini untuk mendapat perlakuan yang keras." Memohon agar anak lelaki yang sudah ia anggap sebagai anaknya sendiri itu tak diberi hukuman yang berlebihan.


"Kau tenang saja, Nung. Aku ini ibunya, aku paham dengan apa yang aku lakukan."


   Sepanjang waktu, yang tersisa bagi ku hanya penyesalan. "Ini salahku, akan kubayar semuanya dengan kembali sedekat mungkin denganmu Mirai di jenjang yang lebih tinggi nanti." Tekadku membubung tinggi dalam hati.

Comment