6. USTADZ GIBRAN

Assalamualaikum warahmatullahi wabarokatu, selamat membaca chapter enam. Jangan lupa vote dan komen!

-

-

-

"Pantesan aja si Fara langsung ngeluarin dalil, ternyata anak pesantren."

"Gue merasa beruntung sih, jadinya, kan Reino masih jomblo. Gue bisa deketin dia."

"Sakit hati nggak sih ditolak di depan banyak orang?"

"Lagian dari penampilannya aja, si Fara kan keliatannya bukan cewek yang suka berkomunikasi sama cowok. Malu salah sendiri, sakit hati salah sendiri."

"Heh, lo berani julidin Reino awas loh besok babak belur!"

Tanpa mempedulikan ucapan dari para teman satu kelasnya, Fara membawa tas besar miliknya keluar dari bus. Awalnya mengira akan dikumpulkan kembali di sekolah, nyatanya diantarkan hingga pintu rumah.

Lewat jendela, Fara bisa melihat bahwa Fatih sudah menunggunya. Bus dan pagar utama pesantren berjarak sekitar empat meter, Fara meminta tak terlalu dekat dengan pagar karena pasti nantinya ada beberapa santri jahil yang mengintip di celah-celah pagar.

"Dara, kamu nggak mau mampir dulu?" tanya Fara sebelum berpamitan.

"Eh, nggak ah. Malu diliatin santri-santri nanti, takutnya mereka kepicut sama aku," sahut Dara bergurau.

"Yaudah deh, aku duluan, ya."

Fara mulai berjalan meninggalkan Dara dan bus study tour sembari melambaikan tangan. Satu koper penuh, dan tas besar yang Fara bawa layaknya orang yang hendak melakukan perjalanan ke luar negeri.

"Selamat kembali ke habitat!"

Fara menolehkan kepalanya, ia tertawa melihat Dara yang menyembulkan kepalanya di jendela bus. Tak lama bus itu mulai bergerak meninggalkan pekarangan pesantren.

"Selamat sore, masaa ul khoir abang!" seru Fara beranjak memeluk Fatih, aroma khas parfum yang sering digunakan Kakak laki-lakinya melekat kuat dan memenuhi indra penciuman Fara.

"Masaa ul nur, Fara. Selamat datang kembali di rumah, ayo masuk. Maaf abi sama umi lagi kedatangan tamu, jadi nggak bisa sambut kamu," balas Fatih diangguki Fara.

Sebagai kakak laki-laki yang baik, ia membawakan koper dan tas milik Fara. Lalu membawa masuk adiknya yang sudah terlihat beraut wajah lelah. Melakukan perjalanan begitu panjang dari Yogyakarta ke Bandung.

"Tamunya siapa?"

"Ustadz yang gantiin Ustadzah Iklima," jawab Fatih.

Melewati banyaknya santri yang sedang berada di luar asrama dengan memegang Al Qur'an, Fara menundukkan pandangannya sembari berjalan di belakang Fatih.

Melewati wilayah santri, Fara mendengar banyak lantunan lembut ayat suci Al-Quran yang sedang dihafalkan, yang dikatakan Dara memang benar. Kembali ke habitat.

"Abang."

"Hm?"

"Ada yang mau Fara omongin sama abang, sama umi dan abi juga," ucap Fara.

"Soal apa?"

"Soal hukuman kalo ngelanggar syarat yang dikasih," jawab Fara.

Mendengar hal itu sontak membuat Fatih menghentikan langkahnya, ia melirik Fara yang menunduk di belakangnya. Tatapan tajam yang mengintimidasi membuat nyali Fara ciut, ia takut jika abangnya tegas, nada bicara lembutnya berubah.

Awalnya Fara tidak ingin membicarakan kejadian yang terjadi di Candi Prambanan karena kecerobohannya, tapi jika dipikirkan kembali. Bagaimana jika itu termasuk melanggar syarat, yang diberikan oleh abi dan abangnya?

Jika Fara tidak angkat bicara, itu sama saja dengan berbohong, dan Allah membenci hamba yang suka berbohong, terutama pada orang tua.

Dari Abu Wail dari Abdullah ia berkata, “Rasulullah Saw bersabda: “Jauhilah kebohongan, sebab kebohongan menggiring kepada keburukan, dan keburukan akan menggiring kepada neraka. Dan sungguh, jika seseorang berbohong dan terbiasa dalam kebohongan hingga di sisi Allah ia akan ditulis sebagai seorang pembohong. Dan hendaklah kalian jujur, sebab jujur menggiring kepada kebaikan, dan kebaikan akan menggiring kepada surga. Dan sungguh, jika seseorang berlaku jujur dan terbiasa dalam kejujuran hingga di sisi Allah ia akan ditulis sebagai orang yang jujur.”

Selain karena Allah tidak menyukai hamba yang suka berbohong, azab yang didapat 'pun amat pedih.

فِىۡ قُلُوۡبِهِمۡ مَّرَضٌۙ فَزَادَهُمُ اللّٰهُ مَرَضًا ‌ۚ وَّلَهُمۡ عَذَابٌ اَلِيۡمٌۙۢ بِمَا كَانُوۡا يَكۡذِبُوۡنَ

“Dalam hati mereka ada penyakit, lalu Allah menambah penyakitnya itu; dan mereka mendapat azab yang pedih, karena mereka berdusta.” (Q.S. Al-Baqarah : 10)

"Kita bicarakan ini di rumah setelah umi dan abi selesai dengan Ustadz Gibran," ucap Fatih cepat. Kemudian langkahnya kembali berjalan menuju rumah.

Kali ini hening menyelimuti, tak ada canda tawa yang Fara dan Fatih lakukan, yang sekarang perlu dikhawatirkan adalah, apakah kejadian yang amat memalukan di Candi Prambanan itu termasuk melanggar syarat. Jika iya, Fara akan siap menerima hukuman yang dirinya sendiri buat dan mungkin inilah pertama kalinya Fara melanggar.

Sesampainya di depan rumah, tanpa berbicara pada Fara. Fatih menyimpan koper dan tas milik adiknya di teras. Ia memasuki rumah dengan mengucapkan salam.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Fara menatap rumahnya yang terasa ramai hanya karena ada satu tamu, ia kemudian kembali menunduk. Menghampiri Fatimah dan Nando.

"Kesayangan umi sudah pulang? Ayo, sekarang ikut duduk dulu di sini sebentar. Berkenalan dulu dengan Ustadz Gibran." Suara lembut Umi Fatimah menyapa pendengaran Fara, membuat gadis dengan gamis coklat tua itu mengangkat kepalanya.

"Alhamdulilah, udah umi." Fara tersenyum dan menyalami kedua orang tuanya, kecuali tamu yang hanya Fara salami dengan menyatukan telapak tangan tanpa melakukan kontak fisik.

"Ayo duduk dulu sini," ajak Umi Fatimah menepuk sofa kosong di sampingnya.

"Ada baiknya kalo Fara beristirahat di kamar saja, Ustadzah. Dia kelihatan lelah, baru saja pulang dari Yogyakarta." Hendak duduk, pergerakan Fara terhenti.

"Ah, tidak apa-apa Ustadz, saya sudah makan tadi semasa di bus. Jadi saya tidak terlalu lelah," sahut Fara mendudukkan dirinya di kursi.

Canggung, itulah yang dirasakan Fara. Ustadz dengan nama Gibran yang sempat disebut Fatih ternyata memiliki wajah yang sedikit mirip dengan Ustadzah Iklima. Mungkinkah keduanya bersaudara?

"Kamu yakin tidak ingin ke kamar Fara?"

"Nggak usah, Abi. Fara merasa nggak enak kalo pergi ke kamar tapi di sini ada tamu," jawab Fara.

"Kalo tidak salah bukannya waktu itu juga kamu pergi ke kamar?" Suara Ustadz Gibran membuat Fara membeku.

Waktu itu? Apakah tamu minggu kemarin adalah Ustadz Gibran?

"Fara, kenalkan ini Ustadz Gibran yang akan menggantikan Ustadzah Iklima untuk sementara," ucap Nando.

"Saya Gibran."

"Fara."

"Jangan heran dengan tingkah anak bungsu saya ya, Gibran. Dia memang terkadang seperti itu." Nando tersenyum menatap putrinya yang menunduk.

"Tidak apa-apa Ustadz, remaja sebaya Fara memang seperti itu. Saya juga dulu begitu," sahut Ustadz Gibran.

Fara yang dibicarakan hanya bisa diam, ia malu karena kejadian minggu lalu. Berteriak saat ada tamu, dan tamu itu adalah Ustadz Gibran, memalukan.

"Nah Fara, Ustadz Gibran ini adiknya Ustadzah Iklima. Abi tau kamu pasti pernah melihatnya, karena wajahnya sedikit mirip dengan Ustadzah Iklima," jelas Nando.

"Iya abi, wajahnya Ustadz ada mirip sama wajah Ustadzah Iklima," sahut Fara, tebakannya benar.

"Kalo begitu, mari saya ajak kamu berkeliling pesantren. Nanti Maghrib saya akan perkenalkan kamu di madrasah," ucap Nando. "Fara, kalo mau ke kamar, istirahat saja, ya."

"Iya, abi."

-

-

-

See you again 💗

Comment