Tipuan dan Permen

Beberapa Goblin tampak sibuk di sana-sini. Bunyi denting besi beradu dengan palu, desis logam yang dilebur, derik api bertemu bongkahan arang, serta geram celoteh para Goblin yang penuh ludah, semua bercampur jadi satu dalam ruangan. Ada asap yang mengepul dari tungku, kereta yang didorong, bau asam, dan percikan bara api. Tak ada satu Goblin pun yang mengetahui keberadaan Rosie diantara mereka. Rosie mundur beberapa langkah sebelum kakinya tersandung sebongkah bara api. Ia jatuh terjengkang ke belakang dengan bunyi 'duk' keras.

Para Goblin berhenti secara mendadak. Kepala mereka terangkat dan menoleh kepada suara yang datang. Mata mereka besar dan kuning, bercahaya dalam kegelapan. Kulit mereka yang hijau kehitaman berbintil-bintil seperti kulit kodok. Deretan gigi besar-besar dan tajam memenuhi rongga mulut mereka yang berbau busuk dan penuh ludah, bersinar-sinar sementara lidah mereka keluar-masuk seperti lidah ular.

"Aha, kedatangan tamu kita," dengkung salah satu Goblin, mendekat untuk melihat Rosie lebih dekat.

"Kita-benar, kedatangan tamu," balas yang lain. Mereka mulai menjilat-jilat bibir. Rosie menyadari bahwa ia jauh lebih sial dari yang dia perkirakan. Dalam sekejap, ia sudah dikelilingi Para Goblin setinggi sembilan puluh sentimeter yang berdiri di atas kedua kaki yang berselaput. Mereka merangsek maju lebih dekat sampai Rosie harus merapat ke tembok.

"Oooh, bagus! Bagus! Cepat, bawa dia kemari!"

Satu per satu Goblin mulai menarik tangan Rosie, lalu memindahkannya kepada yang lain. Mereka mencakari kepala Rosie dengan penasaran, menggaruk lengan dan kaki, sementara ludah memercik ke mana-mana.

"Lihat, rambutnya kuning! Pasti dia dari jauh-negeri!"

"Eh, maaf?" kata Rosie, memberanikan diri bicara setelah sembuh dari keterkejutannya. "Apa katamu?"

"Rambut-kuning! Ya, kurasa cukup-dia baik!"

Mereka bicara dengan dialek yang kasar dan tata bahasa yang dibolak-balik. Rosie langsung memahaminya.

"Kenapa kau bisa ada di sini?" tanya Goblin yang paling besar. Tangannya yang berselaput menarik-narik gaun Rosie, lalu mengendus-endusnya. "Ini bau peppermint, huek!"

"A-aku terjatuh," jawab Rosie, menarik kembali roknya dengan gugup, "d-dari atas, kalian tahu."

Goblin besar itu mendengus dan meludah. "Sudah kuduga, Tuan buang tamunya lagi. Pasti itu benar."

"Ya, benar-dia!" kotek yang lain. "Sudah kali-kesekian kami menerima tulang belulang, tapi ini-kali berbeda! Dia datang dengan otot yang sempurna dan daging yang lezat!"

"Oh, ini tidak seperti yang kaubayangkan!" kata Rosie cepat-cepat. "Aku terlalu kurus untuk seorang anak perempuan. Kalian pasti tak mau memakanku."

"Siapa bilang kami mau makan kamu?" cetus Goblin yang gigi depannya patah, menjilat-jilat bibirnya dengan liar. Kedua tangannya membentuk cakar. "Kami mau permen dari tamu baru!"

Ucapannya diikuti gerung setuju dari Para Goblin lain. Mereka melompat-lompat dan menari-nari dengan bahagia.

"Yaaa, yaaa..." mereka bersorak. "Permen... permen... manissss!"

Rosie merasa kepalanya sedikit pusing, mungkin karena terantuk lantai. Tapi bisa saja hal itu karena dia dikelilingi makhluk-makhluk memuakkan itu, yang sekarang mengais-ngais lantai batu, meminta permen darinya.

"Ups, kabar buruk," kata Rosie, bicara dengan nada sepelan mungkin. "Aku tidak membawa permen."

Sorak-sorai dan gumaman bahagia para Goblin langsung berhenti. Ruangan menjadi sunyi. Bunyi derik api mampu terdengar begitu jelas diantara rapatnya udara. Hanya saja, bau asam yang menyengat masih memenuhi ruangan.

"Bilang-kau apa?" seekor Goblin bertanya ketus.

"A-aku tidak membawa permen, sungguh," kata Rosie sembari menelan ludah. Ada gumaman marah dan tidak percaya dari para Goblin. Beberapa menyalak seperti anjing, menggeram-geram seolah mereka anjing piaraan, sedangkan Rosie adalah majikan yang lupa memberi tulang makan siang.

"Semua tamu yang datang permen-punya!" geram Goblin bergigi patah. "Dan mereka selalu punya satu untuk kami!"

"Yaaa, permen-punya!" sahut yang lain.

"Satu untuk kami!" timpal si Goblin besar.

"A-aku tak tahu kalau kalian suka makanan yang manis-manis!" kata Rosie. "Dari cerita nenekku, Goblin adalah makhluk mengerikan yang memakan daging, bukannya permen!"

Tiba-tiba suasana kembali hening. Tapi kemudian para Goblin berguling-guling, memukul-mukul lantai, dan tertawa terbahak-bahak sampai terbatuk-batuk. Mereka saling meludah gila-gilaan dan berkaok-kaok seperti burung gagak sampai Rosie merasa benar-benar pusing karena kebingungan.

"Makanan manis!" seru mereka di sela-sela tawa yang riuh. "Bukan makanan manis! Bukan makanan manis! Bukan itu!"

"Lalu apa lagi permen itu kalau bukannya makanan?" Rosie bertanya.

"Jelaskan padanya, Zod, jelaskan!" geram para Goblin, dan salah satu diantara mereka maju ke depan. Dia yang tertawa paling keras diantara saudara-saudaranya, namanya Zod, Goblin gemuk dengan hidung merah dan gigi tonggos kekuningan. Ada kalung berbentuk kunci emas di lehernya, kalung serupa yang dikenakan Ravenholm.

"Kujelaskan padamu," geram Zod, matanya berair saking kerasnya tertawa. "Permen adalah istilah Goblin untuk kisah-kisah! Semua yang kemari-pernah memiliki kisahnya sendiri. Kami suka kisah-kisah mereka. Berakhir-ada yang bahagia, ada pula yang nelangsa. Kami suka permen mereka, seperti kami menghargai tuan rumah kami. Tapi ia lebih suka membuang tamunya, dan kisah mereka berakhir di situ."

"Jadi, kalian ingin aku mendongeng?" kata Rosie.

"TIDAK!" gerung Zod diikuti Para Goblin yang lain. "Dongeng untuk bayi! Kami mau kisah nyata dari kamu!"

"Well, sebenarnya hidupku sederhana. Aku tak punya kisah-kisah menarik untuk diceritakan."

"Omong kosong!" bentak Zod, menarik rambut Rosie dari samping kuat-kuat. "Tidak punya permen berarti tak punya hidup! Permen adalah bagian hidup!"

"Betul, betul!" sorak yang lain.

"Aduh, tolong lepaskan aku!" teriak Rosie kesakitan. "Aku tak mau kehilangan rambut gara-gara permen!"

"Kalau begitu beri kami satu!" balas para Goblin serempak. "Kami lepas kamu kalau sudah beri permen pada kami!"

"Baiklah, baiklah!" tukas Rosie, dan sesegera mungkin Zod melepaskan cengkeramannya. "Aku punya satu permen untuk kalian. Sekarang dengarkan."

Rosie memulai kisahnya dari pagi hari saat ia menemukan kejanggalan di rumah keluarga Faye, lalu ia mendapatkan sebuah buku ajaib dari neneknya, dan perjalanannya ke Raventyr hanya untuk mencari rahasia keluarganya yang hilang. Ia banyak membumbui atau mengurangi, terutama bagian pertemuannya dengan Arcturus. Ia juga menceritakan kengeriannya di lubang laba-laba raksasa serta mayat-mayat yang menggantung. Kekejaman Ravenholm tidak ia kisahkan, karena ia takut para Goblin akan menyerangnya kalau ia menceritakan segala yang buruk tentang tuan mereka. Rosie banyak mendapatkan interupsi dari para Goblin, juga semburan ludah, tapi ia tetap mencoba sabar sampai ceritanya berakhir di saat ia terjatuh ke ruangan gelap dan bertemu Goblin.

"Menarik! Menarik! Biasa-luar sekali!" seru Zod si Goblin sambil menari-nari.

"Nah, sekarang giliran kalian memberiku permen!" kata Rosie sembari menyeringai.

"Apa?! Bukan-adil itu namanya!" teriak Goblin besar sambil bersungut-sungut.

"Hei, tentu saja adil!" kata Rosie tak peduli. "Kalian beruntung mendapatkan tamu yang juga suka permen seperti aku. Nah, bagaimana kalau sekarang si Zod ini yang memberi kita permen? Bagaimana?"

"Jangan! Tidak boleh mau!" gerung si Goblin bergigi patah. Para Goblin lainnya berkaok-kaok ribut di belakangnya, melarang Zod untuk bicara. Tapi si Goblin bergigi kuning tidak mengacuhkan larangan mereka, malah berdiri dan menghadap saudara-saudaranya dengan hidung merah terangkat.

"Diam! Semuanya diam!" bentaknya, dan keramaian itu pun mereda. "Beruntung kita punya tamu-suka-permen! Ini akan menjadi baru-sejarah bagi Goblin! Permen-dua dalam waktu-satu!"

Ada gumaman tidak setuju di belakang.

"Aku-biar sendiri-bicara padanya," kata Zod, lalu berbalik menatap Rosie. "Apa yang mau didengar kamu dari keluarga kami?"

Rosie menggigit-gigit bibir, berpikir keras, tapi kemudian tersenyum. "Ah, aku ingin mendengarkan permen tentang kalung di leher Zod!" ia menunjuk dengan yakin.

Para Goblin mulai ribut kembali, tapi Zod menenangkan mereka.

"Sudah, sudah, aku-biarlah yang bicara!" teriaknya. "Jika tamu mau dengar tentang kunci milik Zod, ia harus menukarkan barang yang berharga lebih dari kunci milik Zod!"

Geraman setuju terdengar dari para Goblin. Seringai mereka yang licik mulai terbentuk, seringai yang sama dengan yang terlukis di bibir Zod yang hitam dan berlendir. Ada lolongan penuh kemenangan, juga ludah yang tersembur lebih banyak dari sebelumnya. Desis tungku api bergema di kejauhan, dan api-api mulai dinyalakan lebih besar. Bara api berlompatan dari dalam tungku, mengiringi derik api yang menari-nari, dan mesin-mesin yang berkelontangan mencetak logam. Suasana yang berisik tersebut membuat Rosie pusing.

"Eh, bagaimana, ya?" katanya perlahan. Matanya menatap gerombolan makhluk menjijikkan itu mulai berjungkir-balik dan berguling-guling liar, menanti jawabannya. Tiba-tiba, terbesit sebuah ide gila di kepalanya.

"Diam! Diam semua!" teriaknya kemudian. Para Goblin berhenti dan menunggu.

"Baik, aku akan menukarnya dengan ini!" Rosie meraba lehernya, lalu menarik lepas kalungnya yang liontinnya terbuat dari batu putih berbentuk bintang. Kalung yang baru saja dibuatnya beberapa hari yang lalu.

"Dan... gerangan-apa yang bikin kamu berpikir benda itu lebih bagus dari kunci milik Zod?" tanya si Goblin gemuk, nadanya angkuh.

"Ehm... begini..." Rosie mencoba menstabilkan nada suaranya. "Kalung ini adalah satu-satunya warisan keluargaku yang membawaku kemari. Ya, dengan kalung inilah aku bisa bertahan sampai sekarang. Kalian sudah pernah dengar tentang penyihir, bukan? Nah, kalian beruntung bertemu aku, si anak penyihir."

Para Goblin bergumam heran, beberapa saling berpandangan dengan kebingungan. Zod membuka mulutnya tak percaya. "Bilang-kau apa tadi? Penyihir?"

"Goblin selalu patuh pada penyihir! Wahai Nona, tolong ampuni-berilah kami!" seru Goblin yang lain, lalu berlutut, diikuti teman-temannya. Dalam sekejap, seluruh Goblin dalam ruangan itu sudah berlutut di depan Rosie, terkecuali Zod, yang masih tak bergeming dari tempatnya berdiri.

"Nona Penyihir, benar-apakah engkau?"

"Sungguh benar-aku," jawab Rosie, mengikuti gaya bicara si Goblin. "Nah, sekarang kalian semua percaya, kan? Tentunya kalian tidak tahu, bahwa kalung bintang ini adalah pertanda bahwa aku sungguh-sungguh penyihir asli!"

"Lalu, kenapa kau tidak tadi-tadi melakukan sihir?" geram seekor Goblin kecil. Seperti biasa, yang lain ikut mengiyakan.

"Aku bisa melakukan sihir, memang, tapi tidak pada waktu-waktu tertentu," kata Rosie, mengangguk meyakinkan. "Ini sebuah bakat alami yang diturunkan dari nenekku. Soalnya ayahku penyihir asli, menikah dengan ibuku, seorang wanita biasa yang tidak bisa melakukan sihir. Aku pun masih dalam taraf belajar, tapi aku bisa saja memerintahkan kalung bintang ini untuk membakar kulit kalian sampai melepuh dengan api biru yang panas!"

"Oooh, ampun, Nona! Ampuuun! Kami tidak bermaksud coba-coba mencelakai!" para Goblin merengek-rengek. "Kami lakukan apa saja untukmu! Mau apa saja silakan!"

"Jadi, si pengecut ini mau memberiku permen atau tidak?" bentak Rosie sambil menoleh pada Zod. "Kau harus beri aku permen, atau keluargamu kuhanguskan sekarang!"

"Tolong, jangan sakiti keluargaku, Nona," kata Zod. "Akan aku beri kau permen, seperti yang kau-ingin dapatkan!"

"Aku dengarkan," kata Rosie sambil tersenyum. "Mulailah dengan kalungmu."

"Kalung ini adalah bukti percaya Tuan pada Goblin," kata Zod memulai. "Tuan percaya kami dapat menjaga kalung baik-baik selama setia-kami padanya. Dan ia mampu-merasa dapat-kami pula menjaga peti rahasia Tuan."

"Jadi, maksudmu, dia punya benda rahasia yang harus dijaga oleh kalian?" tanya Rosie tajam. Ia langsung teringat kotak rahasia penyimpan jimat yang dimaksud oleh Puddlepot. Ia memutuskan untuk tetap bersikap sabar dan tenang, sampai ia betul-betul mendapatkan kebenaran dari para Goblin. "Apa sih isi kotak itu?"

"Tidak, tidak, tidak boleh tahu!" pekik Zod dengan suara melengking. "Nona tak boleh, katanya! Tuan tak boleh-mau beri orang lain pengetahuan tentangnya!"

"Lalu, kenapa kalian boleh diberitahu?" Rosie terus memancing, pura-pura mengeluh.

"Kami jaga rahasia! Kami jaga rahasia Tuan!" kata Zod dengan tegas.

"Oh, jadi begitu," kata Rosie, lalu melirik pada kalung di tangannya. "Yaaa, sayang sekali Nona Penyihir tak bisa berbaik hati. Akan kuhanguskan kalian dengan sihir kalung ini, karena aku tak punya pilihan lain."

"JANGAN! KUMOHON JANGAN!" jerit para Goblin kelabakan. Mereka melonjak-lonjak dengan panik, beberapa memohon-mohon di kaki Rosie. "Tolong, kasihanilah... minta-kami dikasihani... kau-jangan buat kami menderita lagi... cukup sudah disiksa-kami olehnya di ruang tanah-bawah yang penguk ini... mohon ampun, Nona..." mereka merengek-rengek.

"Baik, baik, aku ampuni kalian! Menyingkirlah dariku!" kata Rosie segalak mungkin sembari menyentakkan kakinya yang dipegangi seekor Goblin dengan jijik. "Katakan padaku apa yang ada di dalam kotak rahasia tuan kalian, sebelum aku berubah pikiran lagi!"

"Itu... itu benda rahasia, Nona," cicit Zod, sekarang merangsek maju dengan mata berair. Dia tampak begitu terpukul dan kecewa pada dirinya sendiri, tapi tak bisa menahan diri untuk mencegah ancaman Rosie terlaksana pada keluarganya. "Itu benda kesayangan Tuan, dan Merrow menjaganya."

"Merrow? Siapa itu?"

"Seekor Troll tua yang lamban. Ya, lamban-memang dia, tapi kuatnya-cukup menghempaskan satu pasukan. Hanya makannya-diberi jika Loath yang menjijikkan itu datang ke ruang tanah-bawah membawa daging segar. Ugh, bau sekali... amit-amit!" para Goblin yang lain menimpali dengan semangat. Mereka begitu ingin lolos dari ancaman Rosie.

"Ruang tanah-bawah? Berarti letak ruangan rahasia itu tak jauh dari dapur kalian ini?" tanya Rosie untuk terakhir kalinya, sementara matanya menangkap sebuah pintu kayu yang mengarah keluar, ada di belakang rombongan Goblin, tepat di samping tungku yang mengepulkan asap.

"Betul, betul-engkau, Nona Penyihir."

Rosie menarik bibirnya ke atas, seringainya semakin lebar. "Baik. Itu permen yang Nona Penyihir inginkan. Sekarang, sesuai kesepakatan kita, Zod," Rosie mengulurkan tangan kosongnya ke depan, "berikan aku kuncinya dan kita tukar dengan kalung ajaibku dan satu keajaiban."

"Horeee! Apa-macam keajaibannya?" seru para Goblin, sekali lagi melonjak-lonjak gembira, tidak terkecuali Zod si pemegang kunci.

"Kemarikan dulu kuncinya, kita lakukan barter," ujar Rosie dengan kalem. Para Goblin bergumam-gumam setuju. Setelah akhirnya pertukaran dilakukan, Rosie menggenggam kunci emas itu dengan erat, lalu diam-diam menjauh dari kerumuman. Para Goblin begitu kagumnya dengan kalung bintang itu sampai-sampai berebut ingin memegangnya, sehingga tidak menyadari bahwa Rosie telah menyelinap melewati tubuh mereka. Tapi beberapa saat kemudian, seekor Goblin berseru, "Hei, tunggu! Keajaibannya mana?"

"Simpan saja keajaiban kalian, otak capung!" ujar Rosie sambil terbahak-bahak. Ia telah mencapai pintu, membukanya, lalu melesat pergi. Para Goblin hanya melongo, sebelum mereka sadar bahwa Rosie telah menipu mereka. Geraman dan gerungan marah terdengar diantara mereka. Kaki mereka yang berselaput mengais-ngais lantai.

"KURANG AJAR! TANGKAP MALING ITU!" raung Zod si Goblin, diikuti kaok teman-temannya yang murka. "JANGAN BIARKAN DIA LOLOS! TANGKAP DIA!"

Rosie berlari secepat mungkin di sepanjang lorong. Dia sadar bahwa kejadian yang sama pasti akan berulang. Sungguh di luar dugaan, dia berhasil menipu para Goblin dengan begitu mudah. Kunci peti rahasia Ravenholm sudah berada di tangannya. Sekarang waktunya ia menemukan ruangan itu. Rosie bisa mendengar suara kaki-kaki berderap di belakang punggungnya. Pasti itu rombongan Goblin, sebab kedengarannya seperti geraman mereka. Rosie bisa mendengar suara parau seekor Goblin, mungkin Zod, meraung-raung dalam keremangan lorong.

"MALIIIING! BUNUH DIA! BUNUH! CABIK! BANTAI!"

Ada tangga kayu di ujung lorong yang membelok ke kiri, menuju ke bawah, diterangi cahaya temaram obor. Di lorong sebelah kanan, gonggongan dan lolongan para Goblin memantul di sepanjang permukaan dinding. Rosie menatap sebuah permadani dinding yang sudah koyak di sebelah kanan, lalu ia menyambar obor, melemparnya ke lantai, membuat apinya menjalar ke dinding dan memblokir jalan. Para Goblin tak bisa melewati garis api tersebut. Mereka hanya bisa melolong-lolong dalam bayangan dan asap, tapi Rosie tak mau berlama-lama lagi. Ia membelok ke tangga dan menuruninya dengan cepat. Ia harus menemukan pintu ruang rahasia atau semuanya akan terlambat. Ravenholm boleh membangun pavillion dengan ratusan lantai, tapi ia pasti sudah bisa mencium ketidakberesan mulai dari ruang laba-laba sampai ruang bawah tanahnya yang paling bawah. Rosie terus menuruni tangga sementara napasnya menguap seperti kabut. Semakin turun, temperatur udara semakin turun. Tekanannya semakin tinggi. Rosie lalu melihat dalam cahaya obor, sebuah pintu dengan jeruji besi yang terbuka. Udara semakin dingin melewati pintu itu, dan cahaya sama sekali terbatas. Obor berakhir di tiga buah anak tangga terakhir, jadi Rosie mengambilnya dari dinding untuk menerangi jalan. Dia tahu ini bukan ide yang baik, tapi dia tak boleh mundur sekarang.

Rosie teringat kata-kata Puddlepot tentang monster yang menjaga peti itu, seekor Troll. Dan si Goblin Zod mengatakan bahwa Troll tidak sepintar manusia, tapi lebih kuat. Tentu saja itu bukan berita baik, tapi mau bagaimana lagi?

Rosie menarik napas dalam-dalam. Ia melangkah sepelan mungkin menuruni lima anak tangga terakhir melewati jeruji besi tersebut. Bau daging mentah yang busuk memenuhi hidungnya. Ini adalah terakhir kalinya, batin Rosie. Terakhir kalinya aku berhadapan dengan bau yang memuakkan. Rosie mencapai lantai dingin di bawah tangga dengan mulus. Sejauh ini tidak ada tantangan apa-apa, pikirnya. Tapi ia tetap waspada, harus tetap menjaga diri. Dia tak punya senjata atau kekuatan ajaib. Mungkin Nona Penyihir merupakan sebutan yang bagus, Rosie kembali membatin. Tapi tentu saja, tidak untuk saat-saat seperti ini. Mungkin lain kali. Kalau aku sudah berada di tempat yang hangat dan terbuka, bukannya penjara gelap dan dingin seperti ini.

Ada bunyi geraman rendah di belakangnya. Tulang punggung Rosie seakan ditiup angin bersalju yang mendadak bertiup. Selagi bergidik, ia memutar badan menghadap dinding di belakangnya. Obornya terangkat tinggi-tinggi, dan secara mendadak sebuah bunyi menyentakkan apinya. Tangan Rosie bergetar hebat. Dia sudah hampir menangis, tapi dia tahu menangis bukanlah cara yang baik untuk menyapa penghuni ruang bawah tanah. Kunci emas dipegangnya erat-erat, namun jemarinya yang berkeringat terlalu licin untuk menjaganya agar tidak terlepas.

Tiba-tiba, sebuah gerungan keras membuat Rosie memekik mundur. Ia memegang obornya di depan wajah, dan seketika saat itu, deretan gigi besar dan berlumut sebesar kepala manusia muncul dari balik kegelapan, disusul sepasang mata putih berpupil hijau sebesar piring makan malam. Ada dengus napas yang lembab dan busuk, suara yang menderum seperti mesin, dan bunyi merangsek di sampingnya. Rosie mendapati Troll itu duduk di hadapannya. Kulitnya yang kelabu dan keriput tampak kendor di tubuhnya yang gemuk, nyaris memenuhi seluruh ruangan. Tapi kakinya, bukannya jari-jemari, adalah sepuluh tentakel lengket yang terus menerus berdecit dan berlendir. Monster itu menggerakkan kepalanya yang botak dan licin ke depan. Telunjuknya yang besar menyodok punggung Rosie keras-keras. Gadis itu terjengkal ke belakang.

"Kau bukan tuanku," geram si Troll, mendengus kuat-kuat.

"Maaf, aku tak bermaksud tidak sopan," kata Rosie, tak mampu menyembunyikan ketakutan hebat dalam suaranya. "Para Goblin menggila, aku tidak..."

"Mana makananku?" si Troll bertanya dengan nada lambat. "Apa kau membawa daging?"

"T-tidak," jawab Rosie, mundur sedikit. Tangannya yang memegang obor masih teracung ke depan.

"Hmmm, Tuan selalu lupa memberiku makan tambahan, tahu," kata si Troll, mengorek hidung dengan ibu jari kirinya. "Tapi dia mengirimmu, tanpa makanan. Aaaah, itu berarti, dia makin sayang padaku!"

"A-apa yang kau bicarakan?" seru Rosie seraya berjengit.

Si Troll tua menjilat bibirnya dengan bersemangat. Matanya yang besar berbinar-binar. "Aku boleh memakanmu kalau begitu? Nyam, nyam, sudah lama tak kurasakan daging yang masih segar, masih hidup, dan darahnya masih mengalir deras. Hmmm, lezat sekali, bukan?"

Rosie merangsek mundur, berusaha agar tidak terjatuh. Tentakel-tentakel si Troll mulai bergerak-gerak mengejar kakinya, tapi Rosie tak mau menyerah sama sekali. Ia menggenggam kunci emas dengan begitu erat. Dan pada saat itulah ia memikirkan ide yang lain.

"T-tuan Troll yang baik hati," katanya dengan suara gemetar, menghindari sabetan tentakel si Troll yang penuh lendir dan licin. "K-kau lihat kunci emas ini? Ya, kunci ini! L-lihat, kan? Aku bukan makanan yang dikirimkah tuanmu, Ravenholm. Aku datang sebagai pemeriksa ruang bawah tanah. Ya, benar, aku adalah keponakan Loath!"

"Aku tak percaya!" sembur si Troll. "Banyak orang yang sudah mengaku hal yang sama. Dan tujuan mereka hanya satu—mencari harta terpendam milik Tuan!"

"Aku baru saja datang dari Negeri Seberang. Tapi, oh, kau pasti sudah tahu lebih banyak, Pak Tua," kata Rosie dengan hati-hati. Ia teringat perkataan Puddlepot. "Rupanya sudah banyak orang yang kemari, ya? Seperti—ehm—seekor kelinci, misalnya?"

"Kelinci keparat!" gerung si Troll. "Dia sudah membuatku kehilangan makan siang!"

"Tapi dia lolos, bukan?" kata Rosie, tiba-tiba sadar bahwa ia melakukan kesalahan besar.

Si Troll menolehkan kepala jeleknya dengan cepat. "Jadi, kau tahu tentang kelinci itu? Di mana dia sekarang? Katakan! Aku akan melumatnya sampai habis kalau sampai menemukannya!"

"Oh, itu... Anda salah paham, Pak Tua," kata Rosie, masih berusaha bersikap sopan. "Kelinci apa? Di mana? Aku hanya menerka-nerka saja barusan."

Troll itu merangsek maju. Kini, ujung hidungnya sudah lebih dekat beberapa senti dari wajah pucat Rosie. "Kalau memang begitu," geramnya, "berarti kau adalah teman."

Si Troll terkekeh-kekeh. "Lalu, apa yang terjadi pada Loath tua itu? Dia sakit? Kenapa tidak kemari menemuiku?"

"Oh, itu benar, dia sakit," jawab Rosie. "Dan akulah yang menggantikan tugasnya. Sayang sekali, aku masih belum berpengalaman sehingga para Goblin tidak terima. Mereka mengejarku sampai kemari. Untunglah kau ada di sini, jadi aku bisa bertemu dengan orang yang bisa diajak beramah-tamah. Oiya, namaku Rosie, tapi itu tidak penting."

"Tentu nama itu penting!" tukas si Troll. Seringai terbentuk di bibirnya. "Nama itu menunjukkan siapa dirimu. Dan namamu terlalu lembek untuk anak seberani dirimu."

"Benarkah?" kata Rosie, obornya sedikit turun.

"Lupakan, aku tak suka berpikir terlalu ribet," kata si Troll lesu. "Aku sudah tua. Tidak ada lagi yang butuh Troll seperti Merrow. Banyak yang bisa kulakukan selain memangsa para penyusup dan menyantap daging mentah. Oh, ya, sungguh menyenangkan rasanya bila aku bisa keluar."

Rosie tertunduk menatap kakinya. "Kau ingin keluar? Bagaimana caranya?"

"Entahlah, kau manusia, kan? Jadi, kau lebih ahli dalam menggunakan otakmu," kata si Troll keras-keras. "Apakah itu benar? Manusia punya otak setara dengan seribu tikus?"

"Tidak tahu, ya," jawab Rosie. "Aku tak suka berpikir terlalu ribet."

Si Troll menggerakkan tentakelnya yang lembek dengan gelisah. "Aku ingin makan. Aku lapar. Keponakan atau bukan, aku ingin sekali bisa merasakan daging manusia. Jadi, bolehkah aku memakanmu sekarang?" ia kembali menjilati bibirnya.

"Eh, sabar, sabar," kata Rosie, "sekarang, kalau kau beri aku waktu sebentar, aku akan kembali ke atas dan mencari Loath. Aku akan tanya dia di mana dagingnya disimpan, lalu aku akan kembali menemuimu, bagaimana? Tapi, ada satu syaratnya."

"Apa itu?" tanya si Troll, ludahnya menetes-netes.

"Kau harus menutup mata, boleh? Aku akan memberimu kejutan, soalnya," kata Rosie menjanjikan.

"Oh, kejutan?" seru si Troll. "Ahaaa, Merrow tua suka sekali kejutan! Boleh! Boleh! Sampai kapan aku akan menutup mata?"

"Sampai aku kembali," jawab Rosie. "Hitung saja sampai lima puluh, oke?"

"Baiklaaah," ujar si Troll, lalu ia melipat kesepuluh tentakelnya, menutupi kedua matanya yang besar. Kedua tangannya dilipat di dada. "Aku siap. Mulai sekarang, ya? Satu..."

"Aku takkan lama, kok," kata Rosie. Sekarang, yang perlu ia lakukan hanya mencari letak peti ajaib itu. Api obornya semakin mengecil, dan waktunya tak banyak.

"Lima... enam..." si Troll terus menghitung.

Rosie terus mencari, berputar-putar dengan langkah sepelan mungkin untuk menemukan peti rahasia itu. Ia berjengit saat nyaris terjatuh saat terpeleset lendir dari tentakel si Troll, tapi untungnya berhasil menjaga keseimbangan. Rosie bergerak ke belakang punggung si Troll, tapi peti itu tak juga ditemukan.

"Lima belas... enam belas... tujuh belas..." hitungan si Troll semakin cepat. Rosie berusaha tetap tenang dan fokus, sekali cahaya obornya meredup. Ia mencari-cari, penuh harapan dan doa, kemudian ia merasakan sesuatu di bawah kakinya. Sepertinya ada tegel yang lebih tinggi daripada tegel yang lain. Rosie lalu menerangi lantai itu dengan obornya yang tersisa. Ada semacam pelat besi yang tertanam di sana. Pelat besi itu memiliki lubang mirip dengan...

"Lubang kunci!" Rosie membatin dengan gembira. Ia lalu meraih kunci emasnya, lalu memasukkan ujungnya ke dalam lubang kunci tersebut. Perlahan, diputarnya kunci, lalu pelat besi itu pun terbuka. Di dalamnya, terdapat semacam taring macan yang dibalut kain. Rosie bersorak dalam hati. Akhirnya, dia menemukan jimat rahasia itu. Diambilnya jimat itu, lalu diam-diam, ia menutup peti dan menguncinya kembali.

"Dua puluh!" seru si Troll. "Dua-satu... dua-dua... dua-tiga..."

Obor Rosie nyaris tertiup mati. Gadis itu dalam kepanikan mencari-cari jalan menuju pintu jeruji besi. Rosie akhirnya menemukan pintu tersebut, segera mengenalinya dari cahaya obor di tiga anak tangga terakhir. Rosie cepat-cepat naik ke atas tangga, tanpa peduli bahwa ia membuat bunyi derakan di tiap langkahnya. Toh si Troll pasti mengira bahwa suara itu adalah pertanda dirinya 'kembali membawa daging,' padahal tidak.

"Dua-tujuh... dua-delapan... dua-sembilan... tiga-puluh..." Troll itu masih menghitung.

Napas Rosie memburu. Ia sudah hampir mencapai anak tangga terakhir, ketika sesuatu menyerimpet kakinya dan membuatnya jatuh tersungkur. 'Sesuatu' itu rupanya kaki panjang dan kurus Loath, yang kini berdiri di hadapannya dengan seringai lebar.

"Rupanya tamu kita sejauh ini saja bisa kabur," kata Loath perlahan. "Hebat, bukan, Tuanku?" ia menambahkan, saat sosok Ravenholm yang berjubah mendekat di sebelahnya.

"Berikan saja benda di tanganmu itu," kata si penyihir lembut, ujung jari telunjuknya teracung ke tangan Rosie yang memegang jimat. "Lalu kita berdamai, dan kita anggap persoalan kita selesai, oke, anak baik?"

"Tidak!" kata Rosie tegas. "Tidak, sebelum kau mengatakan yang sejujurnya kepadaku!"

"Katakan tentang apa?" Ravenholm mencibir. "Bukannya aku sudah sebaik ini padamu? Aku sudah begitu sabar, membiarkan si laba-laba melumat dagingmu perlahan-lahan sehingga kau bisa mati secara bertahap. Tapi rupanya kau lebih suka mati dengan cara yang ringkas, begitu? Untung saja Troll itu cukup tolol untuk mendengarkan cerita bohongmu!"

"Kau sungguh biadab!" desis Rosie, bangkit dari jatuhnya.

"Biadab? Hah!" kata Ravenholm, seringai jahatnya tidak lebih mengerikan daripada Loath, yang kini sibuk mengulur-ulur seutas tambang. "Jadi menurutmu sejauh apa yang kulakukan itu disebut biadab? Baiklah, kuizinkan kau merasakan kebiadaban Ravenholm yang paling biadab—mungkin untuk terakhir kalinya!"

Dari tangannya muncul kilatan api. Rosie sekali lagi mengelak, lalu ia berguling ke samping, berkutat dari sergapan Loath, menendang pria kecil itu keras-keras di selangkangannya, lalu lari di sepanjang lorong. Didengarnya Loath melolong kesakitan, lalu Rosie tersentak ketika kilatan api melesat melewati belakang telinganya. Sekali lagi ia berhasil lolos, namun api itu membakar lukisan yang menggantung di dinding. Rosie terus berlari di sepanjang lorong. Tiba-tiba saja, ia mendengar geraman dan gonggongan dari ujung lorong di depan matanya. Gerombolan Goblin. Mereka pasti sudah mencium jejaknya sejak tadi. Rosie menunduk ketika bola api sebesar kelapa melintas cepat mengincar punggungnya. Ia berkelit lagi saat bola api kedua melesat, dan bukannya menabrak dinding seperti sebelumnya, kedua bola itu menebas kelompok Goblin yang berlari bergerombol di ujung lorong, membakar habis mereka dari ujung rambut hingga ke ujung kaki. Rosie menelan ludah dengan ngeri, sementara ia berbalik menghadap Ravenholm yang berjalan dengan santai ke arahnya.

"Jadi, kau mau seperti mereka?" katanya dingin.

"Tidak, terima kasih," kata Rosie. Sulit dipercaya bagaimana kata-kata itu bisa keluar begitu saja dari mulutnya.

"Kau memang sama angkuhnya, sama congkaknya dengan Cygnus," kata Ravenholm. "Dia tentu bangga punya keturunan seperti dirimu. Orang yang berlagak menjadi pahlawan demi keluarganya! Sekarang, kau akan kuampuni jika kau menyerahkan buku ajaib itu padaku."

"Aku tak memilikinya, dan itu sudah jelas!" Rosie berteriak. "Selama aku berada di istanamu, aku sama sekali tidak memegang atau membawa buku itu bersamaku, tahu? Aku juga tak punya perkiraan di mana buku itu berada!"

Ravenholm berhenti bernapas, namun Rosie tahu bahwa ia menyimpan napasnya untuk menembakkan bola api yang lebih besar lagi.

"Aku tahu perasaanmu," kata Rosie. "Tapi terkadang, takdir seseorang itu bisa berubah-ubah, tidak tentu seperti yang sudah digariskan. Aku tahu kau melakukan semua ini demi Stormir, yang telah mempercayakan wewenang kerajaannya padamu. Tapi dia tentu tidak ingin kau haus kekuasaan dan memperlakukan rakyatmu semena-mena, bukan? Kau sungguh melukai perasaannya, melakukan hal seperti ini."

Rosie merasakan sesuatu bergolak dalam dirinya, saat ia memberanikan diri maju mendekati si penyihir. "Kau adalah penyihir hebat, tapi bukan itu yang kau inginkan," katanya lagi. "Ravenholm, kau adalah pemuda yang bercita-cita menjadi dokter, tapi pada akhirnya kau beralih menjadi penyihir hitam karena hal yang tidak terduga. Sekarang kau sudah jauh dari impianmu, bahkan melebihinya. Yang perlu kaulakukan sekarang adalah melihat ke belakang, melihat ke dalam mimpimu. Apakah ini yang kauinginkan?"

Mata Ravenholm berkilat-kilat karena marah, tapi ia tidak mampu berkata-kata. "Diam, bocah, atau..."

Tapi Rosie sama sekali tidak takut, bahkan langkahnya menjadi semakin mantap. Ia berputar-putar mengelilingi si penyihir, tanpa rasa grogi sedikit pun.

"Sybilla tahu bahwa kau tidak akan melepaskan Cygnus begitu saja kalaupun buku itu diserahkannya padamu. Dia tahu kau sudah diracuni oleh kekuasaan dan Sihir Hitam. Itu sebabnya ia lebih baik tidak memberikan buku itu padamu. Dia sudah menduganya, tepat sebelum kau melontarkan kutukan pada tanah ini. Katakan padaku, mengapa kau begitu membenci keluargaku? Mengapa kau begitu membenci Cygnus dan Sybilla? Mengapa kau begitu menginginkan buku itu? Apa yang telah mereka perbuat tidaklah separah apa yang kau perbuat, Ravenholm. Kau meracuni tanah ini. Kau meracuni nama Stormir. Kau hancurkan mimpimu yang sebenarnya!"

"DIAAAAM!" jeritan Ravenholm bergema. Pada saat itu juga, ia berkelit ke samping, lalu melemparkan serangan bola apinya ke sisi tubuh Rosie. Gadis itu terpelanting jatuh. Jimatnya terlepas dari tangannya dan menggelinding ke bawah kaki Ravenholm. Penyihir itu tertawa terkekeh-kekeh seperti orang gila. Bola matanya berputar tidak tentu arah.

"Kau mau tahu kenapa aku membenci keluargamu? Kenapa?" ia meraung. "Semuanya jelas! Almanak itu! Buku itu! Kekuatan itu! Aku butuh semuanya untuk menjadi lebih baik! Ya, benar, aku sudah di atas mimpi! Aku sudah di atas angin! Tapi, aku belum bisa menjadi Ravenholm yang hebat kalau aku tidak menguasai kekuatan yang sesungguhnya! Aku ingin menguasai Kegelapan! Aku ingin menjadi lebih kuat setelah menaklukkan Kegelapan! Ya, tentu saja dengan Cahaya, dan hanya dengan Cahaya. Tapi, Cahaya adalah milik keluargamu—Pepperwhite—dan aku terlarang menggunakannya, terlarang sampai aku bisa menemukan kata kuncinya. Aku harus bisa menemukan kata kuncinya, dan hanya Cygnus-lah orang yang bisa kupercayai. Tahu apa yang bisa kulakukan dengan Cahaya, bocah? Tahu?! Kematian dapat kuputarbalikkan, dan kehidupan di bumi dapat dijungkirbalikkan. Semua adalah kekuatan Cahaya. Tapi Cygnus adalah orang yang berpegang teguh pada amanatnya, dan ia takkan membiarkanku lolos. Dia boleh menggunakan sepenuhnya kekuatan Cahaya untuk memblokir jalanku, tapi aku lebih lihai darinya! Aku telah membuat keluarganya cacat permanen, tapi itu belum cukup. Dan itulah mengapa hanya keluarga Pepperwhite yang tidak kuijinkan lewat!"

Ravenholm memain-mainkan jemarinya. Seringai di bibirnya semakin lebar. Salah satu kakinya menginjak jimatnya agar tidak menggelinding ke mana-mana.

"Jadi," katanya lembut, "selamat tinggal, bocah Pepperwhite. Kau pantas mendapatkan Cahaya, di balik semua Kegelapan."

Rosie beringsut ke belakang. Tangannya terasa kaku. Matanya terpejam. Ia terus berharap sesuatu yang sama terjadi pada Ravenholm, sesuatu yang sama persis terjadi pada laba-laba itu. Hawa panas bola api semakin mendekat, namun tiba-tiba jeritan Ravenholm memecah keheningan.

Saat Rosie membuka mata, ia melihat sekelebat tentakel berwarna kelabu pucat dan berlendir menggeliat-geliat tak jauh darinya. Si penyihir Ravenholm berteriak-teriak panik saat si Troll raksasa menangkapnya dengan satu tangan, lalu mengayun-ayunkan tubuhnya di udara seperti boneka kecil yang tak berdaya.

"Hmmm, rupanya Tuan ada di sini," kata Troll itu dengan suara mendengung. "Aku lapar, Tuan. Merrow tua sudah menunggu seharian penuh untuk makanan!"

"Pergi dariku, makhluk jelek yang bodoh!" bentak Ravenholm, tangannya teracung-acung di depan hidung si Troll. "Bukankah tadi pagi Loath sudah memberimu daging rusa yang lebih besar? Turunkan aku, atau kau akan merasakan panasnya bola api Ravenholm!"

Alih-alih mendengarkan, si Troll justru tertawa. Ia memalingkan wajah, menghadap Rosie yang membeku ketakutan.

"Ohoho, keponakan Loath telah menepati janjinya pada Merrow yang sudah tua ini," ujar si Troll sembari menjilat bibirnya. "Dia membawakan makanan yang lebih lezat daripada daging rusa terenak di dunia!"

Ravenholm tidak dapat menyembunyikan kengeriannya. Dia meronta-ronta seperti belut dalam genggaman si Troll, menangis-nangis seperti anak kecil. Dan secara tidak sadar, ia menembakkan sebuah bola api dari tangannya, mengenai kedua mata Merrow. Troll itu meraung kesakitan. Tentakel-tentakel licinnya bergeliat-geliat ke segala arah dengan liar. Lalu dengan marah, ia memukul keras dinding batu menggunakan tangannya yang bebas. Terdengar bunyi 'gruduk' keras. Rosie punya perasaan bahwa lorong itu akan segera runtuh saat itu juga. Rosie berpaling kepada jimat sakti Ravenholm yang tergeletak tidak jauh darinya. Ia lalu bergerak cepat, meraih jimat itu, lalu menginjaknya kuat-kuat. Ada bunyi berdesing yang kuat saat jimat itu patah dengan bunyi 'krak' di bawah kakinya.

"TIDAAAAAK!" jeritan Ravenholm bergema diiringi bunyi bebatuan yang berderak jatuh. Rosie melompat menghindari sabetan tentakel si Troll, yang dengan cepat meremukkan tulang-tulang Ravenholm, lalu melemparkan tubuh penyihir malang itu ke dalam mulut raksasanya. Ia menggigit, mengunyah, dan menelan dengan bunyi paling memuakkan yang membuat Rosie nyaris muntah. Tapi ia tak punya banyak waktu lagi, karena bebatuan besar mulai berjatuhan seperti hujan di sekelilingnya. Rosie mendengar raungan si Troll di kejauhan selagi ia berlari di sepanjang lorong, menjauh darinya. Ia mencari-cari tangga, dan menemukannya di sebuah persimpangan. Rosie tak bisa menoleh ke belakang. Ia naik dan terus naik, sementara bongkahan besar dari langit-langit menghujam lantai batu dengan suara berdebum. Lolongan para Goblin, gerung napas si Troll yang tertimbun reruntuhan, dan degup jantungnya yang terus berpacu tidak mampu mengalahkan semangat Rosie untuk mencari jalan keluar dari pavillion tersebut. Naik lagi, naik lagi, dia hampir sampai di lantai teratas. Segera dilihatnya segaris cahaya perak di kejauhan. Rosie menyeruak diantara pilar-pilar yang roboh, membelok menghindari lubang-lubang di lantai, lalu melompat meraih pintu yang menuju ke dunia luar.

Ya, dia hampir sampai di sana.

Rosie melompat sekali lagi, matanya terpejam karena silau, dan bunyi berderak pavillion yang runtuh bergema di belakang telinganya. Kemudian, ia terjatuh dan terguling di atas rerumputan. Ya, itu sungguh rerumputan. Baunya yang segar menusuk hidungnya. Rosie membuka mata perlahan-lahan, kemudian seekor kelinci melesat dari balik kabut tebal menuju ke arahnya, lalu menampar-nampar pipinya dengan kaki yang besar.

"Bodoh sekali! Bodoh kau! Anak perempuan macam apa yang bisa-bisanya menuju ke dalam bahaya?!" omel kelinci itu.

"Puddlepot?" panggil Rosie, kemudian menangkap ekspresi tidak suka sekaligus khawatir pada sobat kecilnya itu. Puddlepot berkacak pinggang sembari mendongak menatap wajahnya.

"Kau ini sungguh anak yang nekat!" serunya, kemudian bergerak memeluk mata kaki Rosie. "Aku sudah menunggumu semalaman penuh! Diberkatilah kau, Nak!"

"Hei, sudah, sudah," kata Rosie, memintanya mundur. "Yang terpenting adalah aku kembali dengan selamat, bukan? Sekarang Ravenholm sudah bisa beristirahat dengan tenang di bawah sana!"

Rosie berbalik menghadap sebuah lubang besar, yang kedalamannya sungguh tiada terkira. Lubang itu penuh berisi bebatuan kelabu yang tergeletak di sana-sisi tidak beraturan. Namun sudah jelas bahwa dua batu di pinggirannya merupakan bekas-bekas pintu masuk sebuah pavillion, yang bahkan tak ada seorangpun ingin berkunjung ke dalamnya.

"Ya ampun, ini sungguh di luar perkiraanku!" kata si kelinci dengan takjub. Ia mengetuk-ngetuk dua batu tersebut dengan tidak percaya. "Kau bisa lolos dari penyihir sejahat dia! Dan Troll itu, peliharaannya? Kau juga membunuhnya?"

"Jangan bicara soal membunuh," Rosie terbatuk, lalu jatuh terduduk. "Katamu aku sudah pergi semalaman? Yang benar saja, sekarang sudah hampir siang! Oh, aku benar-benar lelah, Puddlepot. Oiya, ada yang lebih buruk lagi. Aku kehilangan tas dan pisau belatiku, padahal almanak itu ada di dalam tas."

"Almanak?" tanya Puddlepot, berpaling dengan alis terangkat sebelah. "Maksudmu barang rongsokan itu?"

"Tentu saja," jawab Rosie tidak sabar. "Mengerikan, bukan? Almanak itu satu-satunya petunjukku demi mengungkap rahasia tentang keluargaku!"

"Permisi, Nona, apakah yang kaumaksud itu tas ini?" sesosok manusia tinggi mendadak muncul dari balik kabut di belakang Rosie. Anak perempuan itu tersentak kaget. Pria itu mengenakan jubah bertudung gelap yang menutupi mukanya. Salah satu tangannya berada di gagang pedangnya, sementara satu lagi mengacung-acungkan ransel kulit yang sangat dikenali Rosie.

"Ya ampun, Puddlepot!" seru Rosie, heran karena kelinci itu tidak kaget sama sekali. "Siapa orang ini?"

"Well, dia kemari beberapa saat yang lalu," jawab Puddlepot santai. "Pengembara asing, kurasa."

"Tas ini tersangkut di batu sebelah sana," tunjuk orang asing itu. "Sepertinya ada tarikan keras yang membuatmu terjatuh ke dalam lubang itu, tapi tasmu masih tersangkut. Lihat, talinya putus."

"Oh, begitu," kata Rosie. Kemudian, ia menerima kembali ranselnya. Buku panduan sihir itu masih ada di tempatnya, aman. Tapi saat ia menanyakan tentang belatinya kepada si pengembara asing, pria itu mengaku tidak menemukan apa-apa kecuali ransel malang tersebut. Rosie benar-benar merasa sedih, bukan karena belati itu terlalu bagus untuk hilang, melainkan karena merasa tidak bertanggungjawab dan teledor. Belati itu milik Joseph, dan satu-satunya pengingatnya tentang rumah, selain kalung bintangnya—yang mungkin hangus oleh api Ravenholm—yang telah dia tukarkan dengan kunci emas yang dijaga Goblin. Tapi pengembara ini, entah mengapa Rosie serasa pernah melihatnya di suatu tempat.

Pengembara itu mendekat. "Ceritakan padaku apa yang terjadi," katanya.

Tak lama kemudian, ia mendengarkan cerita Rosie mengenai penyihir jahat bernama Ravenholm yang tewas dimakan Troll tersebut dengan penuh perhatian. Tapi tudungnya tersebut sedikit mengganggu kenyamanan Rosie, meskipun suaranya terdengar lembut dan ramah. Rosie memutuskan tetap menjaga jarak dengan pengembara asing itu.

"Kalian beruntung bisa lolos dari dia, termasuk kau," katanya mengakui. "Raventyr tidak butuh orang yang semena-mena seperti Ravenholm."

"Dan sekarang, kutukan yang menyelimuti tanah ini sekarang sudah lenyap," kata Puddlepot. "Terakhir aku kemari, tak ada kehidupan apa-apa kecuali—ah! Burung-burung gagak itu! Lihat ke angkasa!"

Sekawanan burung gagak melesat berduyun-duyun dari lubang besar itu. Mereka tampak berputar-putar di langit, membentuk tanda spiral, sebelum akhirnya terbang terpisah-pisah menuju delapan arah mata angin. Rosie tertawa puas.

"Well, tampaknya mereka sudah lepas dari kekangan tuan mereka."

"Tentu saja!" kata Puddlepot penuh kemenangan. "Dan lihat orang-orang itu! Mereka sudah keluar dari persembunyian, seperti tikus keluar dari liangnya!"

Rosie membalikkan badan. Sekelompok manusia dari segala arah mulai bermunculan di balik kabut yang mulai menipis. Beberapa diantara mereka membawa anak-anak. Rambut mereka kumal dan baju mereka kotor. Pupil mata mereka pucat karena lama tak bertemu cahaya. Satu per satu mereka merangkak, mencium-cium rumput yang berembun, lalu melompat-lompat bahagia. Beberapa dari mereka bahkan berteriak-teriak liar serta berpelukan satu sama lain. Sikap seperti itu biasa terjadi pada seorang pelaut yang lama tidak bertemu daratan.

"Bebas!" seru mereka. "Kita bebas!"

Salah satu dari mereka melihat Rosie, Puddlepot, dan si pengembara asing yang berdiri dengan takjub, kemudian berseru.

"Hei, kawan-kawan! Lihat! Itu pahlawan kita!"

"Hidup pahlawan! Hormat!"

Orang-orang itu berdesak-desakan ingin menjabat tangan Rosie, mereka juga mencium-cium ujung kakinya. Tangis dan tawa mereka bercampur jadi satu.

"Katakan siapa dirimu, Nak," kata mereka penuh syukur. "Takdir telah mengirimkan engkau kemari sebagai penyelamat kami."

"Namaku Rosie—ehm—Rosie Pepperwhite," jawab anak perempuan itu. Terdengar gumaman-gumaman tak jelas dari orang-orang itu. Seorang wanita memekik keras, dan anak-anak kecil mulai bersorak dan bertepuk tangan. Rosie cepat-cepat menambahkan, "Eeeeh, kalian tak perlu repot-repot memberikan sambutan padaku. Aku bahagia bisa kembali ke Raventyr dan bergabung bersama kalian."

"Sungguh hari yang luar biasa!" seru seorang wanita berambut putih diantara orang-orang yang bahagia itu. "Keturunan Cygnus yang berhati mulia ada bersama kita! Sudah diramalkan bahwa kau akan datang dan membebaskan kami dari penyihir jahat itu."

"Yah, tapi bukan berarti aku bisa dianggap suci," kata Rosie, berusaha sebisa mungkin menjaga nada suaranya agar terdengar rendah hati. "Aku hanya manusia biasa yang dilahirkan dari keturunan penyihir. Itu saja. Sesungguhnya, aku kemari bukan untuk mengalahkan si penyihir, tapi untuk mencari tahu rahasia keluargaku. Keluarga Pepperwhite."

Gumaman lain mulai terdengar. Sepertinya beberapa orang mulai berebut ingin memberi makanan dan tempat tidur yang nyaman untuk Rosie. Puddlepot langsung angkat bicara.

"Tuan-tuan dan Nyonya-nyonya, aku adalah kelinci tua yang pernah menjadi tawanan penyihir jahat itu, sama seperti kalian. Aku di sini berperan sebagai pemandu Nona Pepperwhite kemari. Dan kalau bukan karena aku, Nona Pepperwhite tidak akan mengetahui soal Troll pemakan manusia dan sejenisnya."

"Akan tetapi, kau tidak tahu apa-apa soal laba-laba pemakan manusia, iya kan?" tukas Rosie setengah mencibir. "Puddlepot, bisakah kau mengatakan sesuatu yang lebih penting daripada ngeles meminta makanan?"

"Hei, kau tidak tahu, ya? Air minum kita habis tandas! Semuanya sudah kuberikan pada pengembara asing itu!" Puddlepot menuding laki-laki berjubah itu dengan nada menyalahkan.

"Maafkan aku, Tuan Kelinci. Aku kemari bukan berarti ingin meminta belas kasihanmu, tetapi aku kemari berdasakan sumber berita yang mengatakan bahwa tempat ini dihuni penyihir berbahaya. Penyihir yang mempermainkan Kegelapan," kata si pengembara asing dengan sopan. Kerumunan itu sepertinya baru menyadari bahwa ia berada di tengah-tengah mereka. Kemudian, wanita berambut putih itu berkata lantang.

"Hei, pemuda asing! Mengapa kau hanya di situ dari tadi? Mengapa tidak kaukatakan saja siapa dirimu kepada kami, lantas membuka tudung wajahmu itu, supaya kami bisa lebih mengenalmu sebagai orang baik-baik?"

Tiba-tiba, dari kejauhan, suara ringkikan kuda memecah keheningan. Hewan gagah itu datang—tunggangan para raja dan bangsawan—berderap dengan lembut mendekati si pengembara asing. Pria itu mengelus hidung si kuda dengan lembut, seperti berbicara padanya. Orang-orang berdecak kagum ketika kuda itu menggoyangkan surai putihnya dengan anggun. Pengembara asing itu tertawa. Tawa yang sungguh bijaksana, dan betul-betul menyenangkan. Ia lalu menyibakkan tudungnya ke belakang. Kini orang-orang dalam kerumunan itu, termasuk Rosie dan Puddlepot, bisa menangkap sosok laki-laki yang masih sangat muda. Belum ada kerut-merut, dan mukanya yang kecoklatan masih licin dan berminyak. Pandangannya tajam dan tegas, tapi juga agak canggung, menyadari bahwa kerumunan itu memperhatikannya cukup lama. Pemuda itu mengangkat dagunya dan berkata dengan suara yang dalam dan jernih.

"Namaku William Halistair Acrech, putra Eorland Yang Adil. Putra mahkota Wye Dungeon, penerus kekuasaan Moontrose, dan ksatria Ordo Silver Shoes yang berdiri di bawah panji-panji Morgornstarn. Itu saja perkenalan dariku."

(***)

Comment