KASUS #1: TEMUKAN SI KUCING


"Ruby! Awas!"
Aku mencoba menghentikan serangan itu, tetapi terlambat. Darah mulai membanjiri lantai, menggenang di lubang yang telah dibuat oleh si brengsek itu. Aku... Aku...
"Aaaaaargh!!!"


- Tiga bulan sebelumnya -


Pagi ini semua berjalan seperti biasa. Langit pagi ditutupi awan keabuan seakan malu untuk menampakkan cuaca biru yang indah, sementara angin sepoi-sepoi meniup lembut setiap sudut kota ini tanpa bisa ditahan bahkan oleh bangunan pencakar langit.


"Dua belas dikali sembilan dibagi del..."


"DUAR!"


"Eh banci, lu banci, eh banci gua banci, eh lu banci gua banci, eh!"


Aku tertawa terbahak-bahak mendengar respon sahabatku yang berlebihan ini. Sementara aku sibuk tertawa, dia sibuk memasang kuda-kuda, bersiap menendangku.
"Anjir lo, brengsek!" Makinya sembari melancarkan tendangan ke arah wajahku.


Aku dengan cepat menghindari serangannya sambil tetap memasang wajah mengejek tanpa ampun. Dia mengejarku dengan cepat, tapi aku tidak kalah cepat.


"Ye, salah sendiri lo latah lucu beud, Ruby. Jangan salahin gua kalau gua seneng ngegodain elo. Wekkk!!" Ejekku sembari menjulurkan lidah. Melihat wajahnya yang merah padam, aku tahu sebentar lagi dia akan menghajarku habis-habisan jika saja dia menangkapku.


"Dasar coeg lu, Val!" Teriaknya menahan marah.


Aku berlari menuju gang sempit diikuti Ruby yang sudah siap menyerangku. Aku berlari tanpa memandang ke depan dan sesuatu menjegal kakiku.


"Eh banci gua banci sumpah banci!" Teriakku jantungan saat tubuhku terjerembab ke tanah sekaligus kaget. Aku tersungkur ke depan dan mendapati diriku sudah basah kuyup. Sial. Karma is really a bitch.


"Heh. Rasain lo! Huahahaha!" Ruby tertawa dengan mulut terbuka lebar hingga aku yakin nyamuk bisa terhisap ke dalamnya.


"Anjir. Kok gua sial ya pas ngerjain..."


"Val, liat itu...," ucap Ruby dengan ekspresi ngeri sambil menunjuk seragamku. Noda merah ini tidak asing bagiku...
Darah!?


Jenazah!
Ternyata yang menjegal kakiku sampai jatuh konyol seperti tadi adalah jenazah!
Oh sial...


"By, ayo kita periksa!" Ucapku agak kasar. Ruby yang mengetahui sifatku hanya mengangguk dan segera bergabung denganku untuk memeriksa jenazah itu.


"Lo periksa bagian atas, gua bagian bawah," pinta Ruby. Aku hanya mengangguk mengerti. Kami mulai memeriksa tubuh si jenazah. Asal kalian tahu, kami sangat suka dengan hal detektif-detektifan seperti ini. Bukannya kami psikopat atau apa, tapi bukankah otak encer yang dianugrahi pada kami sebaiknya digunakan secara optimal , kan?


Aku mulai memeriksa dari bagian kepala. Astaga! Ekspresi ketakutan tertampak jelas di wajah orang yang sudah meninggal itu. Aku menutup mata dan mulutnya yang masih terbuka dengan kedua jariku. Malang sekali nasib orang ini.
Aku kembali memeriksa badan dan menemukan luka parah yang menganga berbentuk seperti luka cakaran.


Astaga! Orang ini mati karena kehabisan darah! Darahnya keluar melalui bekas luka cakaran besar itu. Dan itu yang membuatku basah kuyup seperti sekarang.


Aku tidak habis pikir...
"Ada yang tega melakukan hal ini," lanjut Ruby lemas seakan mengetahui isi pikiranku.


"Lo ingin kita menyelidiki ini?"


"Hell yeah!" Jawabku dengan semangat.


°°°°°


Sudah lima hari berlalu, dan korban dengan bekas luka yang sama seperti yang kemarin kami temukan bertambah banyak. Kami sudah mencari ke sana ke mari, tapi belum menemukan petunjuk apa-apa. Yang ditinggal oleh si pelaku hanyalah kalimat puitis acak yang tumbennya orang pintar seperti aku dan Ruby tidak bisa pecahkan.
Aku menyalakan televisi untuk melihat berita terbaru sebelum berangkat sekolah.


"Kembali ditemukan jenazah dengan bekas luka cakaran di Jl. Celcius 22. Diduga korban diterkam binatang buas yang lepas dari kebun binatang. Polisi masih menyelidiki hal ini..."
Aku tidak menonton berita itu sampai selesai dan langsung menelepon sohibku.
"Lo nonton berita, kan?" Tanyaku tanpa basa-basi.


"Yo'a. Lo mau bolos?"


"Kita alasan aja kalau lo lagi PMS parah dan harus dibawa ke Rumah Sakit Jiwa untuk perawatan lebih lanjut."


"Gila, lo. Enak di elu, nama gua tercoreng. Gini aja, kita bikin alasan kalo lo tiba-tiba jatuh cinta. Tapi karena cowok itu udah punya istri, lo langsung patah hati dan nggak mau sekolah dulu untuk hari ini," balasnya tanpa ampun. Dasar si Ruby brengsek.


"Nggak, terima kasih. Gini aja, kita alasan kalo bokap gua sakit dan kita harus temenin beliau ke rumah sakit. Kita kan sohiban udah lama, jadi guru piket nggak akan curiga."


"Ya udah. Kita ketemu di jalan tempat korban baru itu, oke."


"Oke," jawabku lalu memutuskan hubungan telepon.


°°°°°


Kami berjalan menyusuri Jl. Celcius 22 dengan hati-hati dan agar tidak terlihat mencurigakan. Kami melihat beberapa polisi masih menjaga area pembunuhan itu dengan ketat.


"Seperti sebelum-sebelumnya, pelaku pasti akan meninggalkan sesuatu. Kita hanya akan mengalihkan perhatian polisi-polisi itu dan dengan cepat menemukan petunjuk itu lalu menghilang dari area ini. Ngerti?" Komando Ruby berwibawa tanpa kehilangan keanggunannya.


Aku hanya manggut-manggut mengerti dengan rencana ini. "Lalu, siapa yang akan mengalihkan perhatian polisi-polisi itu?" Tanyaku. Sedetik kemudian aku merasakan sesuatu yang tidak enak melintas dipikiranku.


"Elo"


"Gimana caranya, By?"


"Lo bakal berpura-pura jatuh atau apalah, tapi buat suara lo secempreng mungkin, biar mereka semua mendatangi elo. Gua langsung nyari petunjuk itu."


Nggak. Gua nggak mau. "Gimana kalo kita gebokin aja mereka lalu mencari petunjuk itu dengan tenang?"


"Gile lo. Nggak. Pokoknya ikutin kata gue. Cepet, pergi sono!" Usirnya sembari mengayunkan tangannya seakan mengusir kucing. Sialan.


Aku langsung melancarkan rencana nista ini. Aku berlari-lari kecil ke arah polisi itu dan berpura-pura jatuh dengan anggun. Apalah daya ada kulit pisang di situ dan membuatku jatuh terduduk.


"Anjir! Pantat seksi gua!" Teriakku tanpa bisa kukontrol. Sakit, cuy!
Tidak ada respon dari mereka. Sialan, aku kesakitan seperti ini malah dicuekin.


"Halo, gua jatuh nih!"
Tetap tidak ada respon. Langkah terakhir adalah...


"Ah, yes. Oh my Gosh, oh no. Keep it up...," teriakku manja dengan desahan-desahan yang akan kusesali seumur hidupku. Seketika para polisi biadab itu mendatangiku. Sialan...


"Ada apa, miss?" Tanya salah satu dari mereka. Dasar otak mesum kalian pada, makiku dalam hati.
Aku mulai melihat Ruby dengan cepat namun tanpa suara melangkah menuju jenazah. Aku harus mengulur waktu seperlunya.


"Anu... Aku tadi terjatuh. Dan kurasa celana dalamku basah... Apakah kalian bisa..."
Aku menggantung kalimatku untuk melihat wajah mereka. Anjay, wajah mereka merah padam menahan nafsu. Najis!


Ruby sialan. Aku tidak akan mengulangi hal ini seumur hidupku. Kulihat Ruby memberiku kode bahwa dia sudah menemukan petunjuk itu. Aku dengan cepat langsung mengalihkan perhatian mereka seraya menunggu Ruby menghilang di balik kegelapan.


"Oh, ternyata hanya perasaanku saja. Ternyata celana dalamku basah karena darah mens-ku tembus. Hehehe."


Seketika para polisi itu langsung muntah-muntah. Memangnya aku sekotor itu apa?
Ingin sekali kutendang wajah mereka satu persatu, tapi hasrat itu kutahan demi kelangsungan rencana nista ini.
Dengan cepat aku berbalik melangkah berlawanan arah dengan polisi-polisi keparat itu menuju ujung gang untuk menunggu Ruby di sana.


"Gimana?" Tanyaku saat melihat Ruby sudah mendekat.


"Akting lo tadi bagus. Akuh syuka," ucapnya centil seraya memainkan rambut ikalnya manja.


"Kampret, lo! Udah, gimana petunjuknya?" Tanyaku gusar dan menahan malu sekaligus. Ingin sekali kujambak rambut ikal sempurna sohibku ini.


"Ini," katanya pelan seraya menunjukkan sebuah kertas lusuh dengan tulisan berwarna merah yang kuduga adalah noda bekas darah korban.


Enam lilin telah ditiup dengan kasar
Tujuh menjadi puncaknya
Peniupan lilin ketujuh akan jadi yang terakhir
Jalanan cahaya menuju surga
Pada saat bulan mencapai klimaks


"Lo ngerti?"


"Sepertinya. Wait, kayaknya gua udah mulai mengerti arti dari kata-kata sok puitis nan najis ini deh," gumamku pelan seraya tetap berkonsentrasi pada kertas lusuh itu. "Lo ingat udah berapa korban yang berjatuhan di kasus ini?"


"Korban yang tadi kita lihat adalah keenam...," gumam Ruby seakan telah mengerti ke arah mana petunjuk ini. Seketika otak encer kami bekerja dengan cepat dan mulai mengerti petunjuk ini.


"Itu artinya korban ketujuh adalah yang terakhir."


"Bener."


"Kita harus mencegah pembunuhan korban terakhir ini."


"Tapi kita nggak bakal bisa nemuin korban terakhir kalo kita sendiri nggak tau apa motif dari pembunuhan ini," kata Ruby dengan pelan. Ya, benar juga. Untuk mengetahui identitas korban terakhir, kami terlebih dahulu harus mengetahui motif si pelaku.


"Kesampingkan dulu motif si pelaku. Jalanan cahaya menuju surga? Lo ngerti kagak?" Tanyaku kepada Ruby berharap dia mengerti arti kalimat ini.


"Jalanan... Merujuk dari nilai Bahasa Indonesia gua yang bagus, arti kata ini menunjukkan kemungkinan lokasi pembunuhan selanjutnya. Cahaya menuju surga... Aha! Jl. Paradise! Gang itu hanya tiga blok dari rumah kita!" Ucapnya senang. Sohibku ini memang bisa diandalkan.


"Kalo kalimat terakhir mah gua tau. Kalimat cupu begitu. Udah pasti saat bulan purnama lah," ucapku sombong sambil melipat tangan.


"Itu artinya malam jum'at ini," lirih Ruby menatapku dengan tatapan horor.


Oh Shit...


°°°°°


Walaupun aku adalah orang dengan tampang sengak dan belagu banget, tapi aku lebih memilih untuk melawan sesuatu yang bisa kupukul dan kutendang, bukan setan yang tidak jelas bentuknya.


"Gua takut, njir," ucap Ruby seraya berpegang erat di bagian belakang jaketku. Lha, gua juga setan!


"Sabar. Kita pasti bisa melewati semua ini dengan selamat," responku sok berani padahal dalam hati aku sudah meneriakkan nama Tuhan berkali-kali.


Saat ini, kami sedang menyusuri Jl. Paradise di malam jum'at. Gang ini berdekatan dengan kantor-kantor besar yang ada di sekitar wilayah ini. Menurutku tidak seharusnya pembunuhan bakal terjadi di tempat dengan resiko yang lumayan tinggi. Tapi kenapa rasanya sepi sekali?


"Tolong!"


Mendengar teriakan itu, adrenalinku langsung naik seribu dua ratus persen. Tanpa perlu dikomando, kami berlari menuju asal suara itu.
Saat kami sampai, kami melihat seorang pak tua dengan setelan jas rapih terduduk dengan ekspresi ketakutan. Di depannya terlihat wanita tinggi cantik dan dja memegang... Cakar raksasa?


"Diamlah, Pak Tua. Kematianmu sudah dekat," kata wanita itu dengan senyuman sinis menghiasi wajahnya.


Saat dia akan menebas orang tua itu, aku langsung berlari ke arahnya dan menendang cakar raksasa itu dengan harapan benda itu jatuh. Tidak jatuh!?


"Sorry to say, cakar ini sudah menyatu dengan tubuhku."


"Apa mau lo? Seenak jidat ngebunuh-bunuhin orang di sekitar sini. Lo kagak tau area ini punya siapa!?" Teriakku cablak.


"Punya kamu?"


"Ya punya pemerintah lah! Dasar goblok!"


Kudengar Ruby hanya tertawa pelan di sampingku. Aku pun nyaris menyemburkan tawa mendengar perkataanku sendiri, tapi melihat wanita itu tenang saja membuatku memaku ekspresi dinginku.


"Kalian tidak ada urusannya dengan semua ini, anak kecil," jawab wanita itu tetap dengan nada sinis dan dingin. Sial, cakar raksasa itu membuatku sedikit ciut. Aku yakin Ruby merasakan hal yang sama.


"Oh jelas itu urusan kami, mbak. Kami itu Warrior Penumpas Kejahatan," balas Ruby dengan tenang. Aku memuji karakter Ruby yang walaupun dia sedikit takut, dia tidak menunjukkan ekspresi apapun.


"Baiklah. Lebih baik kalian mati, ya~"


Setelah berkata begitu, dia langsung berlari ke arah kami tanpa terlihat. Sial, dia cepat. Sebelum dia menebas kami berdua, kami dengan cepat menghindar ke arah yang berlawanan.


"Bapak kalau tidak mau ditebas seenak jidat mending minggat dari sini sekarang juga!" Teriakku mengingatkan orang tua itu. Tanpa diminta dua kali orang tua itu langsung lari terbirit-birit. Entah dia takut ditebas atau karena wajah hororku akan menghantuinya selama dia masih hidup.


"Jangan ikut campur," protes si wanita itu seraya mengayunkan cakar raksasa itu ke arah kami. Kami bisa menghindar, tapi tidak bisa untuk selamanya. Aku mencoba menendang wajahnya, tapi dia berhasil menangkap kakiku.


"Ya suka-suka kami dong kalo mau ikut campur apa kagak. Ya kan yang bikin masalah duluan itu elo, dasar Kucing!"


Aku melakukan manuver melompat ke udara dengan satu kaki sebagai tumpuan, dan melakukan tendangan dengan kaki tumpuan tadi ke wajah wanita itu. Kena!
Ruby mengayunkan kakinya ke belakang lutut si Kucing, membuatnya berlutut di depan kami.


"Nah, mbak. Sekarang nyerah aja ya."


Kucing itu hanya tersenyum menatap kami dengan penuh minat.


"Val, awas!"


Sial. Setelah mendengar teriakan Ruby dan melihat tangan si kucing itu mengambil sesuatu di belakang bajunya, aku langsung melakukan kayang dan melihat peluru itu di depan mataku ditembak seperti adegan slow motion. Hampir saja kena.
Kami langsung berlari menuju bagian belakang benda yang bisa dijadikan tameng.


"Gila! Hampir aja pala gua lubang kayak Suzanna, man!"


"Suzanna lubangnya di punggung keleus, bukan di kepala!"


"Oh ya, bener juga!"


Kami tetap bersembunyi saat mendengar suara tembakan demi tembakan dilontarkan kepada kami sembari mencari alat apa yang bisa dijadikan senjata untuk menyerang balik. Aku melihat Ruby sudah menemukan penutup tempat sampah berbentuk bulat dan aku sudah menemukan rantai panjang. Sip!


"Kalian tidak akan mengerti perasaanku. Ditinggalkan oleh orang-orang yang kusayangi karena para keparat berhidung belang yang bisanya menggunakan uang mereka untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan."


Apa? Jadi dia melakukan semua ini hanya karena ingin balas dendam?


"Tapi lo udah ngebunuh enam orang. Lo nggak akan bisa lolos dari hukum, man!"


"Memang. Untuk itu, aku harus membunuh kalian semua."


"Ruby! Sekarang!"


Ruby melemparkan senjatanya itu dan berhasil mengenai pistol si Kucing. Pistol itu terjatuh tepat di dekat kaki kami. Aku tidak mau kalah. Aku langsung melemparkan rantai besi ini dan berhasil mengenai cakar raksasanya. Aku melilitnya kemudian menariknya membuat si Kucing itu jatuh terjerembab.
Ruby melesat dan melancarkan tendangan ke wajahnya. Aku yang lengah tidak menyadari cakar raksasanya menebas kaki Ruby. Sial!


Untunglah Ruby dengan cepat menghindari serangan itu dan hanya mendapat sedikit luka.


"Sorry, By!"


Ruby hanya mengangguk dan mengambil kerikil lalu melemparkannya ke arah lengan si Kucing yang terdapat cakar raksasa. Ruby memang ahli dalam jarak jauh. Dengan cepat kerikil itu mengenai nadinya, membuat cakar raksasanya lumpuh sementara.
Aku mengambil kayu dengan ujung tajam dan melancarkan tendangan ke area bawah tubuhnya, membuatnya jatuh terjengkang.


"Sorry, man," ucapku seraya menancapkan kayu itu ke lengannya. Dia berteriak histeris menahan sakit dengan lengan yang sudah berdarah-darah dan mati rasa. Aku langsung melompat menjauhi tubuhnya yang kini sudah tidak berdaya tanpa cakar raksasanya. Kami melihat dia mulai mengeluarkan air mata.
"Kalian! Aku kehilangan semua keluargaku karena mereka! Dan kalian meloloskan orang terakhir itu dengan seenaknya!"


"Tolong jelaskan apa yang terjadi, mbak," pinta Ruby pelan. Si Kucing itu mulai menceritakan bahwa ketujuh orang itu sebelumnya ingin membeli tanah keluarga wanita itu dengan tujuan membangun perumahan elit. Sudah beberapa kali mereka membujuk, selalu ditolak dengan alasan tanah itu diwariskan dari leluhur. Tidak terima dengan penolakan itu, tujuh orang itu merekayasa pembunuhan massal sedemikian rupa agar keluarga wanita itu terlihat seperti dibunuh oleh maling. Alasan wanita itu selamat adalah karena pada saat itu dia masih berada di rumah temannya.


Kami yang mendengarnya hanya merasa iba. "Kami akan menjebloskan orang tua brengsek itu ke dalam penjara, dengan syarat lo juga harus masuk penjara untuk bertanggung jawab atas pembunuhan yang lo lakukan," ucapku akhirnya.


"Benarkah? Terima kasih banyak. Aku tidak masalah masuk ke dalam penjara, yang penting orang terakhir itu mendapat balasannya," jawab wanita itu sesenggukan. Aku merasakan hal yang sama yang dia rasakan...


"Val, gua telepon polisi dulu ya."


°°°°°


Si Kucing dan orang tua itu berakhir di dalam penjara. Kucing itu menceritakan kepada polisi semuanya serta memberikan bukti-bukti yang akan memberatkan orang tua itu. Aku tidak tahu dia mendapat bukti-bukti itu dari mana, namun yang kudengar adalah bahkan uang pun tidak akan bisa menolong orang tua itu saat persidangan nanti.


"Val, lu kok kayak bengong gitu? Mikirin apa?" Tanya Ruby yang berjalan di sampingku dengan tatapan kayaknya-temen-gua-kesurupan.


"Gua cuman mikir kalau si Kucing itu nasibnya hampir sama sama gua. Bedanya adalah..."
"Lo tetap di jalan yang benar dan tetap jadi sohib gua."


Aku memeluk sahabatku itu dengan erat dan mulai tertawa tidak jelas.


°°°°°


"Apakah kau sudah melihat siapa yang menangkap pembunuh dengan cakar raksasa kemarin?"


"Sudah. Mereka adalah dua gadis dengan kemampuan bela diri dan pikiran yang luar biasa."


"Apakah kau yakin kau bisa mengatasinya?"


"Tenang saja. Aku akan menghabisi mereka berdua."


"Jawaban yang bagus, Irfan."


- BERSAMBUNG -











Comment