Sebuah Keputusan


***


Acara Sangeet Pia dan Ibrahim semalam berlalu seperti kedipan mata. Pasangan calon pengantin begitu menikmati perayaan dengan wajah yang sangat bahagia bersama orang-orang terdekat. Setelah mengembalikan topeng yang Ammar pinjam di lorong pameran barang antik, seperti yang laki-laki itu katakan, Meera dan Ammar tak pernah bersama lagi.


Lebih tepatnya, Ammar yang menghindar dan Meera yang menemukan keberadaan Rehan.


Rehan yang terus menemaninya dan berbicara banyak hal, tak banyak berkomentar akan penampilan menari Meera bersama Ammar. Dia hanya mengatakan, tak menyangka Meera bisa selincah itu dan meminta mengajarinya menari suatu hari nanti. Meera cuma tertawa tanpa memberikan jawaban pasti. Lagipula gerakan tubuhnya tak sebagus itu, diapun tak terlalu ingin membahas hal tersebut. Saking tak inginnya teringat kembali perasaan yang tiba-tiba muncul saat ia bersama Ammar di atas stage, ataupun sebelum... bahkan sesudahnya.

Meera dan Rehan memutuskan pulang sebelum tengah malam, tanpa tahu Ammar sudah pulang atau belum.


Dan kini... berdirilah Meera di depan sebuah cermin bersama sang calon pengantin wanita, merapikan dupatta merah dengan sulaman emas bertabur kristal swarovski yang Pia sematkan di kepalanya, senada lehenga emas bergradasi merah yang menjadi gaun pengantin gadis itu. Gaun mewah sekaligus memancarkan kecantikan Pia Kapoor. Maang tika berhias ruby yang terpasang di belahan tengah rambut pengantin membuat riasannya begitu sempurna. Merasa Pia telah siap menghadapi prosesi sakralnya, Meera merangkul lengan sang sahabat dan menaruh dagu di bahu gadis itu sambil terus tersenyum. Memandang pantulan diri mereka di cermin, sambil merasakan kebahagiaan yang sama.

"Apa kau tidak iri padaku, Meera?" tanya Pia tiba-tiba.


Meera mengerutkan dahi. "Tidak sedikitpun..." jawabnya. "Kenapa bertanya seperti itu?"


"Koi baat nahi*..." Pia menggeleng kecil. "Aku hanya masih tak ingin meninggalkanmu sendirian.." ia memeluk balik lengan Meera.

( *Tidak kenapa-napa )


Meera melepas rangkulan mereka dan memandang Pia penuh. "Kata siapa aku sendiri? Masih ada Sayeedah dan Papa. Kau juga jangan takut, aku akan sering mengunjungi rumahmu dan Ibrahim, atau galeri-"


"Sampai kapan, Meera?" potong Pia langsung. "Kau mengerti maksudku, kan?" Ia menangkup pipi sang sahabat di satu tangannya. "Walaupun Annand selamanya punya tempat tersendiri di hatimu, tapi dia juga pasti tak ingin melihatmu terus sendirian seperti ini.."


Meera meraih tangan Pia di pipinya dan menggenggam erat. Wajahnya terlihat dipaksakan tersenyum. "Ini harimu, Pia! Jangan bahas tentangku. Ayo beritahu aku sebesar apa kebahagiaanmu. Sebentar lagi kau akan menjadi seorang Nyonya Kapten Khan!"


"Kau adalah bagian dari kebahagiaanku, Meera. Jadi aku ingin membahasnya dan membuatmu sadar kalau kau juga perlu menemukan teman hidup, seperti aku!" tekan Pia sambil menunjuk bahu sang sahabat.

Meera terdiam, sedikitnya memasukan perkataan Pia ke hati dan otaknya.

"Buka matamu Meera, ada yang keberadaannya ingin kau lihat. Jangan terus menutup diri seperti ini. Aku tidak memaksamu untuk langsung menerimanya. Tapi setidaknya, cobalah.."


Kenapa kata-katanya mirip sekali dengan Daijaan? 

"Matlab?" Meera menyipitkan matanya tak mengerti.


"Matlab..." Pia menggandeng tangan Meera, menggeser posisi mereka ke depan jendela kamar yang tertutupi gorden. Pia sedikit menyingkap kain pelindung sinar matahari yang selalu masuk ke kamar lantai dua itu, memperlihatkan situasi taman belakang yang kini akan digunakan upacara pernikahan Pia dan Ibrahim. Tempat tersebut masih belum dipenuhi tamu, hanya beberapa wajah familiar yang terlihat sibuk mondar-mandir mempersiapkan prosesi sakral pengantin. "Deko.. Apa tuhan tak akan mengutukmu jika menyia-nyiakan pria tampan di bawah sana, Meera?"


Seseorang yang menyadari tatapan kedua gadis itu dibalik jendela, mengangkat tangannya dan melambai. Meerapun membalas lambaian tersebut. "Arjun? Hmmm... Akan aku pikir-pikir dulu untuk menjadi kakak iparmu." kekehnya.


"Bukan bodoh!" Pia memukul bahu Meera, "Jika aku menginginkanmu jadi kakak iparku, sudah aku paksa Arjun untuk memutuskan kekasihnya sejak dulu." Gadis itu berdecak. "Lihat yang benar!"


Tatapan Meera kini bertemu dengan Rehan. Laki-laki itu menoleh karena melihat Arjun yang melambai ke arah mereka. Sang gadis menghela napas, "Pia, kami hanya berteman dan rekan kerja yang baik. Aku tak mau merusak hubungan yang sudah terjalin. Aku yakin perasaan Rehan padaku pun bukan seperti yang kau bayangkan.." ucap Meera.


"Seberapa yakin?" pertanyaan Pia membuat Meera mengerutkan dahi tapi tak berani menjawab. "Semua orang yang melihat cara Rehan memperlakukanmu, pasti setuju denganku, Meera. Seorang pria tak akan menyia-nyiakan waktunya hanya untuk bersama gadis yang tak berarti untuknya. Kau boleh mengatakan kalau kalian berteman or whatever! Tak apa, itu langkah yang baik untuk awal hubungan kalian. Hanya saja.. bukalah matamu lebih lebar, juga mulailah membuka hati untuk Rehan Mehta, Meera!" jelas Pia berapi-api.


Meera menoleh pada sahabatnya. Ekspresinya begitu menunjukkan kebimbangan.

"Kyu? Jangan langsung menolak. Jalani saja dulu pertemanan kalian itu, sembari kau amati seperti apa prioritas Rehan padamu, Meera." Dukung Pia.


Sang sahabat menerik napasnya, lalu mengangguk lemah. "Haan, akan aku pertimbangkan.." ucap Meera yang membuat Pia melebarkan senyum. "Good girl!" ucapnya girang.


Meera yang kembali menatap ke luar jendela, melihat sosok Ammar keluar dari gazebo yang menjadi tempat kursi pelaminan pengantin nanti. Dalam diam, netra Meera terus bergerak mengikuti kemana arah laki-laki itu melangkah. Tentu saja hal tersebut disadari Pia.


"Atau... sebenarnya hatimu sudah memilih seseorang, Meera?" tanya Pia lirih, yang membuat sang sahabat menoleh dengan cepat dan memandangnya lekat. "K-kya...?"


         

***

       

                

    

"Hei-hei, Mayor-ji! Apa yang sedang kau lakukan?" panggil Arjun yang melihat Ammar melewatinya dan sibuk melakukan sesuatu dengan nampan stainlees berisi helaian mahkota bunga di tangan.


Ammar menggedikan bahu, "Hanya membantu. Mereka membutuhkan bunga-bunga ini unt-"

Laki-laki itu terhenti ketika Arjun merebut nampannya. "Kau ini dari pihak laki-laki, Mayor Raichand. Sana makanlah dulu, sejak kau datang tadi aku tak melihatmu mengunyah sesuatu. Biarkan dari pihak kami yang melakukannya, Ammar. Lagipula sudah banyak pelayan disini yang mengerjakan semuanya. Jangan menjadikan hal sekecil ini merepotkanmu.."


"Aku tak merasa direpotkan, Arjun. Sungguh. Lagipula, secara tidak langsung aku mengenal Pia duluan dibanding Ibrahim. Dia sudah aku anggap sebagai adikku. Jadi itu membuatku berada di pihak pengantin wanita sekarang." jawab Ammar.


Arjun berdecak. "Karena aku tidak tau bagaimana ceritamu bertemu dengan adikku itu dan juga kakak Pia hanya satu, yaitu aku, Arjun Kapoor. Jadi aku menolak penjelasanmu tadi. Biar orang lain saja yang melakukannya," balasnya. Hingga ujung matanya menangkap seseorang. "Oy, M! Kemari!" panggil Arjun. "Sejak tadi kau hanya bersembunyi di kamar Pia. Lakukanlah sesuatu yang berguna.." Laki-laki itu menarik tangan gadis yang ia panggil dan menaruh nampan bunga itu ditangannya.


Meera mengerutkan wajahnya. "Aku sejak tadi memberikan dukungan moril untuk Pia. Itu hal yang sangat berguna, Arjun." Kilahnya. "Apa ini?" Ia melihat nampan bunga di tangannya. "Tanyakan pada Ammar, jangan biarkan dia yang melakukannya.." jawab Arjun yang bergegas pergi karena ada yang memanggil.


Tatapan Meera dan Ammar bertemu, membuat mereka membeku di tempat dalam beberapa detik. Hingga akhirnya Meera tersadar dari lamunannya sendiri. "M-mau kau apakan ini, Ammar?" tanya Meera dengan suara yang tiba-tiba terdengar gugup. "Ah- Tadi aku akan menaburkannya di jalan setapak yang akan dilalui pengantin nanti untuk menuju gazebo." jawab laki-laki itu. Meera mengangguk, lalu menuju tempat yang ditunjuk Ammar.

Setelah beberapa langkah, Meera berhenti ditempat. Merasakan seseorang yang mengekor yang membuatnya kembali berbalik. "Kau mengikutiku..."

"Kau mengambil pekerjaanku." Balas Ammar.

"Carilah pekerjaan lain kalau begitu." Meera berbalik lagi dan melanjutkan langkahnya.

"Kau begitu ingin menghindariku, Meera?" tanya Ammar yang ternyata masih mengikuti sang gadis. Mendengar itu, Meera yang sudah sampai di jalan setapak taman, melirik pada Ammar sekejap lalu menaburkan petal-petal bunga yang dominan berwarna merah tersebut. "Aku menghindarimu? Bukankah kau sendiri yang menghindariku sejak semalam, Ammar?"

Diam-diam laki-laki itu menyunggingkan senyum tipis yang tak terlihat oleh siapapun. "Jadi kau menyadarinya?"


Baru setengah jalan setapak yang tertutupi bunga, Meera menghentikan kegiatannya dan berbalik menghadap laki-laki itu dengan bertolak pinggang. "Ada apa denganmu? Setelah kau peduli padaku, kau menghindariku. Lalu bertingkah seperti tak pernah terjadi apapun di antara kita. Kenapa polanya seperti itu terus? Kau mau membuatku gila, Ammar?" gadis itu mengoceh, menumpahkan segala kekesalannya. Tapi dari ekspresi Ammar, laki-laki itu malah terlihat amused.

Meera yang tak mendapat jawaban, hanya bisa menghela napas lantang sebelum kembali mengerjakan kegiatannya. Tapi saat berbalik, seseorang menabraknya. Membuat nampan di tangan melempar isinya ke udara dan juga membuat tubuhnya terhuyung. Seakan pasrah bahwa dirinya akan jatuh ke rerumputan, Meera memejamkan mata, berharap benturan yang akan terjadi tidak terasa sakit.


Tapi setelah beberapa detik, Meera baru menyadari kalau dirinya tidak jatuh. Kedua tangannyapun melingkar di leher seseorang. Jantungnya langsung berpacu kencang, saat merasakan tubuhnya yang digendong.


"Meera.."

Suara lirih Ammar yang masuk ke telinga, membuat sang pemilik nama membuka mata perlahan. Wajah Ammar yang hampir tak berjarak langsung menyambut. Meera pun melihat apa yang sedang terjadi kini. Ammar menggendongnya, bridal style, dan menatapnya begitu lekat sambil berjalan di atas kelopak-kelopak bunga yang tadi gadis itu tabur di sepanjang jalan setapak taman. Seolah langit menyambut mereka juga, angin menghembuskan kelopak bunga, yang tadi berterbangan dari nampan, ke arah mereka.


Meera dan Ammar yang merasakan helaan napas masing-masing, seperti sedang merekam setiap detik kebersamaan mereka. Bahkan tatapan tak saling teralihkan, sampai Ammar mendudukan Meera di sebuah bantalan empuk ayunan yang ada di sebelah gazebo.

"Kau tak apa-apa?" tanya Ammar, yang berlutut di depan gadis itu untuk mengecek kakinya. Siapa tau terkilir atau terluka. Meera tak menjawab. Bibirnya terlalu kelu, tubuhnya terlalu kaku. Ia hanya bisa memperhatikan setiap sentuhan lembut Ammar padanya.


"Meera.. Hei. Kau baik-baik saja?" Suara Rehan yang menghampiri, membuat Meera mendongak. Gadis itu tersadar, kalau banyak orang yang sedang memperhatikannya sekarang.


"A-aku tak apa-apa.." Meera menarik napas panjang. "Hanya sedikit... shock." ucapnya, melirik laki-laki yang masih memeriksa kakinya.


"Kakimu juga tidak terluka.." ucap Ammar yang kemudian bangkit. "Jika terasa nyeri, katakanlah. Khawatir kakimu terkilir, Meera."


Meera menyunggingkan senyum tipis dan menggeleng. "Aku sama sekali tak merasakan sakit, Ammar. Terima kasih.." Entah kenapa wajah Meera kini rasanya panas, sampai dia harus mengipasinya dengan tangan.


"Ah.. disini ternyata kalian sedang berkumpul." Ketiganya menoleh pada Arjun yang berjalan dari arah rumah. Sepertinya dia tak tau kecelakaan kecil yang terjadi pada Meera. "Mayor, aku membawa pasangan cantikmu yang sudah datang.."

Dibalik tubuh jangkung Arjun, sosok seorang wanita anggun akhirnya terlihat. Ia menyunggingkan senyum yang malah membuat senyuman di wajah Meera menghilang.


"Naina, kau sudah datang? Maaf aku ke sini duluan." Kata Ammar, yang entah kenapa merasa canggung.


"Haan.. tidak apa, Ammar. Aku tau kau harus menjadi support system bagi Kapten Khan." Ia melebarkan senyum, lalu menatap Meera yang masih terduduk di ayunan. "Nona Chopra, apa kabar? Sudah lama tak melihatmu.."


Meera mengangguk kaku. "Ji.. Dokter Malhotra. Aku baik-baik saja.." jawabnya lirih.


"Dokter?" tanya Rehan lantang, yang membuatnya kini jadi pusat perhatian.


"Ji. Dokter Naina Malhotra, Sir." Dia menjabat tangan Rehan. "Dokter pribadi dari Mayor Ammar Raichand.." jelas Naina.


Mulut rehan membentuk huruf O sempurna. "Dokter pribadi.." ia tersenyum.


"Anda?" tanya balik Naina.


"Rehan Mehta.." ucapnya. "Support system Meera Chopra." Jawaban Rehan seketika membuat dua orang membulatkan mata. Tak percaya dengan apa yang keluar dari mulut laki-laki itu.

Meera yang akan mengoreksi, tiba-tiba terhenti begitu Ammar memalingkan wajahnya. Terlihat sedang menghindar dari tatapan Meera.


Mau menghindar dariku lagi?

Baiklah kalau memang itu yang ingin kau mainkan, Ammar.

Biar saja Rehan mau mengatakan apa.  

         

         

Dan Meera pun menepati ucapan dalam hatinya itu. Dia hanya menyunggingkan senyum pada Naina tanpa meluruskan apa yang sudah diucapkan Rehan tadi. Selama Ammar masih bertingkah seperti tak terjadi apapun diantara mereka, dia juga akan memainkan permainannya sendiri. Kita lihat, apa yang akan Ammar lakukan jika Meera yang bertindak.

         

Diam-diam gadis itu merubah senyumnya, dia kini tersenyum miring. Seperti menantang Ammar akan tindakannya. Entah darimana keberanian Meera kini muncul untuk membuat sebuah keputusan yang tak akan disangka siapapun.

              

         

Mungkin dari hasil ceramah Pia padanya tadi?

           


Entahlah. But, what happen next.. we will see soon.

          

          


***

       

           

        

< A/N >

Hai. Hai!!! I'm back!

Thank You for all your love and feedbacks! Love Yooouuuu❤️❤️❤️❤️❤️

Hope you'll enjoy this chapter as much as I am!


Tell me how is it going! Just Vote and comment, guys!


With Love,


        

-Reinn.❤️



  



Comment