Dia Mendatangi


***

       

        

Meera dapat merasakan kelembutan tangan yang menggenggamnya. Rematan pelan itu menyebarkan kehangatan ke seluruh tubuhnya seperti penambah energi.

Pandangannya begitu buram untuk melihat berkeliling, seolah dia sedang berjalan di dalam kabut. Tapi sekilas, Meera dapat melihat rimbunan kuning bunga canola yang tingginya hampir sebahu. Apa dia ada di kebun belakang rumahnya? Meera sampai tidak ingat bagaimana dia berada di tempat itu sekarang.


"Ammar.. kita mau kemana?" tanya Meera pada laki-laki yang menarik tangannya melewati rimbunan batang-batang canola yang tinggi. Tak ada jawaban dari laki-laki di depannya. Ia terus melangkah, tapi Meera tak bisa melihat ujung jalan yang dijadikan tujuan.

"Ammar..." panggil Meera lagi. Yang dipanggil belum juga bersuara, sehingga membuat Meera sedikit kesal dan bermaksud menaikan nada sahutannya. "Amm-"

Laki-laki itu menoleh, tersenyum penuh pada Meera tanpa menghentikan langkah mereka. Senyuman hangat seseorang yang sudah lama tak ia lihat. Senyuman yang begitu membuat napas Meera tercekat, hingga membuatnya mempererat genggaman ditangan. "A-Annand.." ucapnya lirih.


Laki-laki itu kembali memandang ke depan tanpa melepas senyuman. "Apa kabar, Meera? Aku senang kau masih mengingatku. Kau terlihat semakin cantik hari ini."

Kini bibir Meera yang mengatup, tak percaya dengan apa yang ia dengar dan masih mencerna apa yang sedang terjadi.


Setelah melewati batas kebun bunga canola, langkah mereka terhenti di sebuah padang rumput luas berlatar langit biru tanpa awan. Kabut tadi seolah menghilang begitu saja. Meera dapat melihat sebuah alat musik yang tidak asing untuknya, tergeletak tak jauh dari sisi mereka. Sebuah biola.

Annand melepas genggamannya pada Meera dan melangkah sendiri untuk meraih alat musik kesayangan tersebut.


Sudut mata Meera terasa basah saat Annand mulai menggesek biolanya, mengalunkan nada yang masih Meera ingat, dimainkan laki-laki itu saat di function kampus terakhir mereka. Meera terus terdiam, memejamkan matanya menikmati alunan indah permainan biola Annand. Hingga akhirnya alunan itu berhenti dan membuatnya membuka mata perlahan.

Senyum laki-laki itu menyambutnya, melangkah mendekat dengan wajah yang begitu bercahaya dan bahagia. Begitu mereka saling berhadapan, ia menghapus air mata Meera yang jatuh di pipi. Mengusapnya lembut hingga senyuman gadis itu mengembang.


"Bahagiamu adalah bahagiaku, Meera.. Kau bersama orang yang tepat. Aku mempercayainya melebihi nyawaku sendiri. Aku percaya dia akan selalu menjagamu. Aku percaya dia tak akan membiarkanmu menjatuhkan air mata lagi. Di kehidupan ini, Ammar akan bersama Meera." ucapnya sambil menangkup wajah cantik gadis itu di tangan. "Tapi di kehidupan selanjutnya... Annand lah yang akan bersama Meera."


Air mata yang keluar semakin deras, membuat Meera mengedipkan matanya berkali-kali. Hingga kedipan mata itu membuat Meera tersadar dari mimpinya. Ia membuka mata lebih lebar, menyadari dirinya kini baru saja terbangun dari tidur dan berada di kamarnya sendiri.

Dengan helaan lantang, Meera mendudukan diri di kasur. Menyenderkan punggung pada headboard sembari mengusap wajahnya yang terasa basah. Ternyata dirinya memang benar-benar menangis di dunia nyata. Mengingat mimpi barusan membuatnya terisak kembali.

             

Apa kedatanganmu ke dalam mimpiku untuk memberikan restu?


         

Meera sedikit terkejut saat poselnya di atas nakas berbunyi dan membuyarkan pikiran. Sebuah notifikasi pesan masuk diterima gadis itu, yang membuatnya kembali menghapus air mata sebelum meraih ponsel tersebut.


Aku dan Ibrahim sudah sampai di Switzerland. Tempat yang indah untuk berbulan madu. Terima kasih Meeraaaaaa! Aku harap kau disini bersamaku.


Meera tersenyum kecil membaca pesan tersebut. Ia pun mengetik balasannya

          


Senang mengetahui kau menyukai tempatnya.

Manfaatkan hadiah dariku itu dengan baik dan 

buat kenangan indah bersama suamimu.


                     

      Kenangan indah? Maksudmu membuat Pia dan Ibrahim junior? 

            

         

— Haha. Lakukan sesukamu, Mrs. Khan.

             

      

As you wish, future Mrs. Raichand.

          

       

— Pia stop it.

         

       

— Stop what? Make you smile?

               


— Stop making my hope high.

         

          

— Oh come on, Meera. Ciuman panas kalian 

di pernikahanku kemarin lusa membuat semua orang berpikir kalau Ammar

akan langsung melamarmu saat itu juga.

      

        

— Pia please, don't remind me about that.

— Aku benar-benar ingin menyembunyikan wajah ini ke pulau terpencil.


       

— Why become shy now?  

— Justru tindakkan inisiatifmu itu membuatku sangat bangga!

          

      

— Ok. I'm out .

           

         

— Hahahaa. See you soon after my honeymoon, love!

        

      

— Have fun, there! Send my regards to Ibrahim.

        

         

— I will!❤️


             

Meera menatap halaman percakapannya dengan Pia beberapa saat. Sampai akhirnya gadis itu kembali mengetik, Btw. I dreamt about Ann-

Tapi Meera menggeleng. Dia langsung menghapus kembali ketikannya itu. Tak mau membuat Pia malah khawatir tentangnya dalam momen kebahagiaan yang sedang dijalani sang sahabat.

         

Tiba-tiba, ponselnya kini berdering, memunculkan nama Ammar pada layar yang tanpa berpikir lagi langsung diangkat Meera. "Haan..?" sapanya.


"Morning beautiful. Kau baru saja bangun?" suara bariton Ammar menyambut, membuat Meera mengembangkan senyum.


"Hmm.. Kau sudah di kantor kesatuan?" tanya balik Meera, tak menyangka suara paraunya yang keluar.


"Masih dalam perjalanan." Jawab Ammar yang suaranya memang terdengar kedap, seperti di dalam mobil. "Ada apa dengan suaramu, Meera? Seperti..... habis menangis?" tanyanya khawatir.


Meera berdeham untuk melegakan tenggorokannya. "N-nahin.." ia mencoba menutupi. 


"Meera.." tegur Ammar.

       

"I'm fine.. really, Ammar." Jawabnya. "Just... memimpikan sesuatu."

                   

"Sesuatu? Sesuatu apa yang membuatmu menangis, Meera? Haruskah aku datang padamu sekarang?"


"N-no, no! Don't. Nanti sore saja kita bertemu, setelah jam tugasmu selesai. Aku juga harus ke kantor, Papa memintaku hadir di rapat siang ini."

      

"Meera.. kau bisa membuatku tidak fokus seharian."


Meera terkekeh. "I'm sorry.. But we should finish our duty first, na?"

        

"Fine. Tapi kau harus menceritakan semuanya. Aku tak mau kita saling menutupi sesuatu lagi, understand?"


Meera tertawa. "Yes, Sir!" Dia memberi hormat yang tak dapat dilihat Ammar. "Aku tidak menyangka kau bisa secerewet ini, Ammar.."


"For you baby, of course. Kabari aku jika sudah di kantor."


Mendengarnya, Meera tersenyum lebar. "Haan.. hati-hati di jalan. I love y-" Gadis itu tiba-tiba tersadar dengan apa yang akan ia katakan. Meera menggigit bibir, merasa pipinya seketika memanas dan jantungnya berdebar kencang.

      

Ammar terkekeh. Dia yakin bahwa Meera kini sedang memerah malu, karena tak sengaja akan menyatakan perasaannya. "Bye, BabyTake care.. I love you, too." Laki-laki itu mengakhiri panggilannya.


Meera menggenggam ponselnya di dada, mencoba mengatur napas dan menenangkan debaran. Bisa-bisanya dengan semudah itu kalimat tersebut akan keluar dari bibirnya. Ammar benar-benar sudah membuat perasaan Meera meledak-ledak.


Hingga akhirnya Meera teringat kembali apa yang harus ia sampaikan pada Ammar.

        

Mimpnya bersama Annand...

       

Dan hal itupun mengingatkan sang gadis pada hal lain. Yang membuat Meera kini bergegas turun dari kasur dan berlari menuju walking closetnya. Membuka walking closet tersebut dengan satu hentakan dan mencari sebuah kotak istimewa diantara kotak-kotak perhiasan.

      

Kotak surat-surat Annand yang belum berani ia baca.

       

Meera meraihnya dan mengeluarkan benda persegi tersebut dari walking closet. Cepat atau lambat, Meera harus memberanikan diri membaca surat-surat itu. Apalagi dengan status barunya bersama Ammar sekarang. Dia tak ingin sesuatu tertinggal diantara dirinya dan Annand.


Dalam mimpinya tadipun, Annand menyatakan kebahagiaan untuknya, kan? Jadi bisakah ia kini menghilangkan rasa bersalahnya pada Annand karena sudah bersama Ammar?


Meera membelai lembut kotak surat tersebut, tapi ia tak mau membacanya sendiri.

Dia membutuhkan Ammar untuk memberinya kekuatan dalam menghadapi pesan yang Annand sampaikan padanya.


Dia membutuhkan Ammar, walaupun laki-laki itu hanya diam dan mendengarkan di sisinya.

           

         

           

Dia membutuhkan Ammar.

     

                

***

      

      

                


< A/N >


DOUBLE UPDATE!!!

I'AM REALLY HAPPY YOU ALL ARE STILL HERE WITH ME! 

LOVE YOU GUUUYYSSSS❤️❤️❤️❤️❤️❤️


Vote and comment again, pleaseee! Give me some feedbacks about this chapter!

Hope you all enjoy this story, until next time.. See Ya!

             

        

-Reinn❤️


Comment