BAB 2



Azkia mengistirahatkan tubuhnya di atas ranjang kecil milik Izza, ranjang yang sejak SMP tidak pernah di ganti olehnya. Seharusnya ranjang itu tidak muat lagi menampung tubuh mereka yang kini sudah menjelang usia 22 tahun. Nyatanya, ranjang itu masih pas dengan tinggi badan mereka. Keuntungan memiliki tubuh mungil, kata Izza setiap kali Azkia menjawab.


"Bunda masak apa Iz?"


"Karena kamu mau datang, katanya dimasakin soto tuh."


Mata Azkia yang awalnya terpejam, terbelalak lebar. Ia bangkit dan baru sadar kalau Izza belum mengganti pakaian kampusnya. Gamis polos bewarna coklat susu dengan jilbab segiempat lebar yang menutupi bokong dan dadanya masih tersemat rapi. Hanya bros kecil yang biasa Izza pakai di dada telah di lepasnya.


"Kok nggak ganti baju?"


"Ada teman ayah di bawah, nggak enak pakai pakaian biasa."


"Yah nanti sotonya habis dong."


Izza melempas gumpalan kertas kepada Azkia, "Kamu ini, makanan aja. Baru juga tadi siang kamu udah habiskan satu bungkus nasi pada seorang diri."


"Ya bedalah. Itu siang, dan ini untuk makan malam."


"Ini masih sore kali, Az."


"Bodo amat. Yang penting aku lapar dan pengen makan soto buatan bunda kamu."


Izza menggeleng lemah, tersenyum tipis.


"Kenapa senyum-senyum. Kesurupan?"


Izza bangkit dari meja belajarnya dan duduk di ranjang sebelah Azkia.


"Hei Az..." ia mengenggam tangan Azkia, "Apa kurangnya Ray?"


"Kok jadi tiba-tiba gini ngomongin Ray sih? Ganti topik." Azkia mengelak dan ingin menghindar, tapi tangan lembut Izza menahan sahabatnya di sisinya. Entah bagaimana Azkia sulit menolaknya.


"Ray belakangan ini sering main ke Rohis bergabung bersama Fahmi dan kawan-kawan. Ia teman yang asik menurut mereka. Mungkin karena dasarnya dia anak orang kaya, ada beberapa yang sulit menerima Ray disana. Tapi selebihnya dia oke."


Azkia diam. Ia masih menunggu kelanjutan kemana Izza akan membawa obrolan membosankan ini.


"Dia anak yang aktif dan penuh ingin tahu di kelasnya. Menurutku akan cocok mengimbangi dirimu yang pintar."


"Sepertinya kamu terpesona padanya." Sindir Azkia


Izza tersenyum manis, tidak tersinggung sama sekali.


"Terpesona, tidak. Tertarik, mungkin sedikit."


"Nah kan benar dugaanku."


"Aku belum selesai bicara, Az." Tegas, penuh wibawa, dan tajam persis bunda jika sudah bicara dengan kakak laki-laki Izza yang kini jarang datang ke rumah karena bekerja di luar kota. "Di antara kelebihan Ray, dimana yang membuat kamu tidak bisa menyukainya? Enam bulan dia mendekatimu. Aku sebagai saksi bagaimana ia berusaha keras menaklukan hatimu Az."


"Yah seharusnya dia menaklukan hati yang lembut sepertimu."


Izza tidak tersenyum sama sekali, "Aku serius."


"Aku juga serius, Iz." Azkia bangkit dan kali ini Izza tidak mencegahnya. Azkia memilih mondar-mandir dan mengelilingi kamar mungil Izza daripada harus duduk kembali. "Cinta tidak dipaksakan."


"Tapi enam bulan terlalu lama untuk membuat hatimu begitu susah menerima sinyal-sinyal yang diberikan Ray."


"Aku tidak menemukan kenyamanan padanya. Aku merasa ia terlalu memohon untuk sebuah cinta. Ia terlalu mengiba pada perasaanku. Ia seperti laki-laki dalam novel klasik yang akan mengatakan 'tidak bisa hidup tanpamu'. Dan menurutku itu lemah."


"Itu bukan kelemahan. Itu cinta sesungguhnya. Banyak laki-laki akan menyerah saat cintanya tidak di balas sama sekali. Ray berbeda. Seharusnya kamu bersyukur dicintai laki-laki sebesar itu, Az. Wanita senang dicintai dan merasa dihargai."


"Aku tidak menginginkan laki-laki yang begitu menurut pada keinginanku. Mengiyakan apa semua kata-kataku. Menuruti semua permintaanku. Itu bukan aku, Iz. Aku bukan gadis cacat yang harus di turuti kemauannya setiap kali kapan aku inginkan."


Izza menghembuskan nasfanya perlahan, "Jadi karena itu kamu menolaknya?"


"Iya."


Izza terdiam. Sayup-sayup suara anak laki-laki yang mengaji terdengar dari mesjid. Sebentar lagi waktu magrib telah tiba, senja sudah menunjukan ekor semburat yang bergantung rendah dari jendela kamar Izza. Ia bangkit dan menghidupkan lampu kamar. Memperlihatkan sosok Azkia lebih jelas.


Wajah mengeras, dengan lengan yang ia sedekap di dada, membuang pandangannya jauh dari Izza.


Izza berjalan ke arah lemari pakaian dan mencari di antaranya yang pantas untuk dikenakan. Ia memilih pakaian sederhana tapi sopan diberikan kepada Azkia.


"Untuk apa?"


"Menghadapi tamu di bawah."


Kening Azkia berkerut,


"Sudah kubilang kan ada teman ayah di bawah, nah beliau sedang menjodohkan aku dengan anak laki-lakinya."


Azkia kaget, "Kamu dijodohkan? Kenapa nggak bilang?"


"Makanya aku suruh kamu nginap malam ini karena ingin menemaniku dalam proses ini."


Azkia ingin menolak.


"Bukankah kita sudah dekat layaknya kakak dan adik? Nah aku ingin membuktikan padamu, bahwa kamu adalah bagian penting dari kehidupanku."


"Artinya aku nggak bisa nolak?"


Izza tersenyum kecil, menyerahkan pakaian itu di tangan Azkia tanpa permisi.


"Kamu nggak ganti baju?"


"Biarkan mereka melihat diriku yang sebenarnya. Sederhana dengan muka lecek sepulang kuliah." Ada nada becanda tapi Azkia tahu bahwa Izza serius dengan ucapannya.


"Ditolak awal pertemuan baru tahu rasa."


"Artinya dia bukan jodohku."ucap Izza enteng. "Udah ah, cepat ganti baju dan kita shalat magrib dulu."


"Nggak jadi nungguin Ray nih?" Goda Azkia lebih lanjut.


Izza tersenyum, "Hanya Allah yang bisa jaga hati seseorang tanpa harus diumbar oleh lisan."


"Artinya?"


Izza tidak mau menjawab. Ia malah masuk ke kamar mandi dan menutupnya.


"Dasar tukang kabur." Teriak Azkia yang hanya dibalas suara guyuran air dari dalam sana.


***


vote & share jika kamu suka cerita ini ^^

Comment