BAB 15


Azkia naik ke lantai dua. Di temani Jafar di sisinya. Rasanya aneh karena biasanya selalu ada Izza di antara mereka, namun kini mereka berdua. Dan biasanya Azkia tidak canggung berada di dekat laki-laki, entah itu baru dikenal atau lama dikenal, namun bersama Jafar, Azkia berkali-kali melirik kea rah wajah laki-laki itu, mencoba melihat ekspresinya. Apakah ia merasakan hal yang sama atau malah sebaliknya. Namun wajah itu tenang, dan siluetnya terlalu sempurna dari sisi ini. Azkia seolah tersihir hanya ingin terus memandang Jafar dan tidak ingin laki-laki itu menyadarinya.


Mereka sampai di ruang arsip yang khusus menyimpan skripsi dari alumni-alumni 2004 – 2009, disitulah Azkia sempat mengambil beberapa kutipan serta referensi untuk skripsinya.


Azkia membuka bagian daftar pustaka dan melihat satu per satu nama penulis yang pernah ia kutip kalimatnya. Oke seharusnya tidak sulit, karena pekerjaan ini baru aku lakukan beberapa bulan lalu. Bisiknya menyemangati.


Jafar pun ikut mengintip dari belakang Azkia sehingga ketika Azkia berbalik ia berhadapan dengan dada bidang Jafar. Azkia terpaku oleh aroma Jafar yang wangi namun tidak kentara jika dari jauh. Dengan jarak sedekat ini, ia bisa mencium aroma tubuh Jafar yang tercampur parfum entah merk apa yang ia gunakan. Jantungnya rasanya ingin melompat keluar dari kukungan rusuk yang mengekang, efeknya membuat nafasnya tertahan.


"Geser ih!" sentak Azkia


Jafar tertawa, "Kamu sih pendek."


Azkia menyipitkan matanya dan memandang laki-laki itu. Karena geram ia menginjak kaki Jafar sekuat tenaga.


"Makan tuh pendek." Azkia memalingkan wajah, kesal. "Nyesal aku terima tawaran kamu." Ujar Azkia dari balik Rak yang bertuliskan tahun 2005


"Hei maafkan aku." Jafar tertawa kecil. "Soalnya kamu kelihatan lucu banget kalau kecil gitu." Tanpa rasa bersalah ia malah makin tertawa lebar.


Azkia tidak mempedulikannya. Ia malah membolak-balik skripsi yang ia temukan. Lalu ia tumpuk di sisi kanannya.


Jafar mengikuti aksi Azkia, menyontek nama dalam daftar pustaka Azkia dan mencarinya sesuai urutan. Hingga tanpa terasa Azkia dan Jafar hanya menemukan dua skripsi yang menjadi target pencarian mereka.


"Capek mata lihatnya." Azkia memijat matanya. Ia lalu duduk bersila di lantai bersandarkan tembok. Rak-rak buku menutupi dirinya yang tengah santai bersandar sambil memejamkan mata.


"Serasa balik jadi mahasiswa," Jafar pun ikut duduk di sebelah Azkia.


Azkia tertawa kecil, "Apa rasanya menyenangkan?"


"Tergantung."


Azkia membuka matanya dan menoleh ke arah Jafar yang duduk dekat dengannya. Sangat dekat hingga Azkia tidak perlu menggeser posisinya jika ingin menyandarkan kepala di bahu Jafar.


"Tergantung apa?"


"Tergantung siapa yang menemani."


Azkia memasang wajah ingin muntah, "Kalau Izza yang nemenin kayaknya kamu lebih betah seharian di perpustakaan."


Jafar diam, "Nggak juga sih."


Azkia bingung, "Apa maksud nada itu?"


"Kamu capek kan? Pejamkan mata sebentar gih,"


"Gila kamu!" Azkia melotot, "Ini perpustakaan. Bentar lagi jam makan siang, bakal diusir kita."


"Kan nggak ada yang tahu. Selepas makan siang baru kita pergi."


Azkia menguap. Mungkin Jafar benar. Semalam ia pulang jam 12 malam dan tidak langsung tidur, ditambah pikiran yang berkecamuk dan pencaharian ini membuat matanya lelah. Azkia menjatuhkan kepalanya ke tembok di sisinya. Tidak perlu lama bagi Jafar mendengar nafas teratur Azkia. Tenang dan damai bagaikan bayi yang tidur nyenyak sehabis kenyang diberi ASI.


Bagi Jafar, ini adalah dimana ia puas memandang wajah Azkia. Cerita tentang dirinya yang ia dengar dari Ray, selama ia mengenal Azkia yang lebih kebanyakan ngekor di belakangnya, jarang bicara hanya bermain ponsel, jika bicarapun kalimatnya selalu penuh sakarme atau sindirian yang ditujukan pada Jafar atau Izza. Melihat Azkia tidur nyenyak seperti ini Jafar yakin ada sisi lain yang Azkia sembunyikan dari semua orang. Sifat aslinya, tingkahnya yang sebenarnya kekanakan, tawanya yang kecil namun lucu bila didengar. Sayangnya, Jafar menyukai sisi yang tidak pernah diperlihatkan itu. Hingga tanpa sadar ia mengarahkan tangannya untuk menaruh kepala Azkia di pundaknya. Ada perasaan ingin melindungi Azkia dari siapapun.


Tapi satu hati tidak bisa kan menjaga dua perasaan sekaligus?


***


Share & vote jika kamu suka cerita ini ^^

Comment