Chapter 42

Sinar mentari menghiasi seisi bumi dengan gagah berani, menghiasi daratan Konohagakure yang secara perlahan mulai menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Udara hangat mengiringi langkah setiap insan yang tampak bersemangat untuk memulai hari. Lupakan segala hal buruk yang terjadi kemarin, marilah kita sambut kenangan baru dengan semangat musim panas yang hangat.

Hari baru akan dimulai.

Benar, segala sesuatu yang baru akan dimulai hari ini. Mungkin bagi beberapa orang, hal ini merupakan hal yang biasa. Namun lain halnya dnegan sepasang anak Adam yang kini tengah berlutut di hadapan dua buah batu nisan yang mengukir nama indah dari sosok yang begitu berarti bagi salah satunya. Kedua tangan mereka saling menangkup di depan dada, memanjatkan doa kepada Tuhan untuk keselamatan serta kebahagiaan pasangan suami istri yang telah lama menempati sisi lain dari dunia fana.

Haruno Kizashi

Haruno Mebuki

Batin Sakura berbisik lirih, mengutarakan kerinduan yang amat besar pada kedua orangtuanya. Setetes air mata berhasil lolos, menunjukkan seberapa besar rasa rindu itu telah bersarang di dalam dadanya.

"Ayah, ibu, aku datang."

Sakura mulai membuka suara sembari mencabuti rumput liar di sekitar makam kedua orangtuanya.

"Hari ini sedikit spesial, karena aku tidak datang sendirian." Sakura melirik pemuda di sampingnya.

"Selamat pagi, paman, bibi. Namaku Sabaku no Gaara, kekasih Sakura."

Tawa Sakura menyembur begitu saja.

"Jika ayah masih ada dan kau sungguh berkata seperti itu, dia pasti akan berteriak dan meninjumu."

Gaara tersenyum tipis di sisinya. "Benarkah? Kurasa dia akan mengajakku minum kopi bersama nanti."

"Percaya diri sekali," sinis Sakura.

Percakapan mereka terhenti sejenak, hingga setelah beberapa saat, Sakura kembali bersuara. "Aku selalu mendoakan kalian di sini, berharap jika kalian akan selalu baik-baik saja di sana. Jangan khawatirkan aku lagi. Karena aku sudah memiliki seseorang yang akan terus kurepotkan setelah ini."

Gaara pun mendengus. Namun ia tak menyahut apapun ketika mendapati tatapan Sakura yang berubah sendu.

"Aku bahagia, ayah, ibu. Terima kasih karena telah mempercayakan semuanya padaku. Aku tidak menyesali apapun, sungguh. Tapi andai waktu bisa diputar ulang, aku ingin kami berhadapan langsung dengan kalian untuk mengatakan ini."

Perlahan tatapan sendu itu sukses membuat air matanya luruh. Sinar cerah sang surya seolah tak cukup untuk menyinari suasana hati sang gadis yang tengah berkabung. Sekian tahun pun rasanya masih kurang bagi Sakura untuk melupakan betapa sesak akan rasa kehilangan. Gadis itu terisak kecil sementara Gaara dengan sigap merangkul pundak gadisnya, menyalurkan kekuatan agar Sakura merasa lebih baik.

Pemuda mengecup lembut pucuk kepala Sakura lalu menghadap dua batu nisan di depannya dengan wajah serius. Setelah menganggap Sakura tengah menata suasana hati, Gaara pun mengutarakan kalimat yang sejak kemarin bercokol dalam benaknya.

"Paman, bibi, terima kasih karena telah menghadirkan Sakura di dunia ini. Aku tidak tau apakah kalian percaya ini atau tidak, tapi kehadiran Sakura telah berhasil membuatku berubah menjadi lebih baik, membuat hidupku yang sebelumnya begitu mengerikan menjadi berarti."

Gaara menarik napas panjang. "Karena dia, aku tau apa arti mencintai dan dicintai, lalu indahnya dunia ketika hidup berdampingan dengan cinta itu. Aku bebas dari jeratan masa lalu yang gelap berkat dia. Entah kalian menyadari atau tidak, tapi kehadiran putri kalian di dunia ini begitu berarti untukku."

Gaara melepas rangkulannya di Sakura. Ia menegakkan duduknya dan membawa kedua tangannya di atas paha, bersikap siap seolah ia tengah menghadap kedua orangtua Sakura secara langsung. Pemuda itu membungkuk cukup dalam, membuat Sakura terkjut di sisinya.

"Mohon ijinkan aku untuk menikahi putri kalian. Aku tidak tau apa yang akan terjadi di masa depan tetapi aku berani berjanji, atas hidupku, aku akan membahagiakan putri kalian. Aku berjanji akan menjaga senyumnya. Aku tidak akan membiarkannya menangis. Aku akan mendatangkan kebahagiaan untuknya seperti dia yang selalu membahagiakanku. Aku berjanji."

Sakura bungkam. Dari sini, ia dapat melihat kesungguhan di mata Gaara, yang entah mengapa justru membuatnya semakin ingin menangis. Sebisa mungkin ia menahan diri, tidak ingin merusak rasa bahagia ini dengan air mata.

"Dia adalah penyempurna hidupku, dan aku ingin menyempurnakan hidupnya. Kumohon restui hubungan kami."

Gaara menegakkan tubuhnya. Ia melempar senyum lalu menangkup kedua tangannya kembali lalu melempar senyum. Pemuda itu menoleh ke samping, menatap Sakura yang tak mampu berkata-kata.

"Sudah selesai?" tanya pemuda itu yang kemudian membuat lamunan Sakura buyar.

Gadis dengan surai bak gulali itu mengangguk kecil. Ia mengusap batu nisan kedua orangtuanya secara bergantian lalu berkata, "Aku bahagia bersamanya, ayah, ibu. Mohon restui kami. Meski tidak secara langsung, tapi aku berharap kalian melihatku ketika menggunakan kimono dan gaun pengantin nanti. Kalian selalu mengawasiku, bukan?"

"Aku mencintai kalian. Terima kasih untuk segalanya."

Sakura bangkit dan diikuti dengan Gaara. Gadis itu mengulurkan tangan, memberi isyarat pada Gaara untuk menggenggam tangannya. Hal tersebut tentu saja dituruti oleh pemuda itu. Keduanya melangkah. Namun ketika Sakura akan membawa mereka menuju gerbang pemakaman, Gaara justru menarik tangan Sakura untuk berbelok dan membuat langkah gadis itu ikut terhenti.

"Ada apa? Apakah ada yang tertinggal?"

Namun belum sempat Gaara menjawab, seorang pemuda berjubah putih berlari tergopoh-gopoh ke arah mereka. Sakura mengernyitkan dahi, menatap bingung pada sosok pemuda yang ia kenal dengan baik.

"Murao? Apa yang terjadi?" tanya Sakura pada sosok pemuda yang kini terengah-engah di hadapannya.

"Ada pasien gawat darurat dan membutuhkan penanganan operasi sekarang juga, Sakura-san. Ayo, kita harus bergegas ke rumah sakit."

Kedua mata Sakura seidkit melebar. Namun tidak ada waktu baginya untuk terkejut. Ia pun menoleh pada Gaara lalu menampakkan raut wajah menyesal.

"Maafkan aku," ujarnya lirih dan dibalas dengan senyuman tipis oleh pemuda itu.

"Pergilah. Aku akan menjemputmu di rumah sakit nanti sore."

Sakura mengangguk kecil. Ia pun langsung berlari bersama pemuda yang bernama Murao itu, meninggalkan Gaara sendirian yang saat ini masih berada di area pemakaman. Namun bukannya beranjak pergi, justru pemuda itu berbelok ke area pemakaman barisan paling depan yang merupakan tempat khusus bagi pahlawan desa. Langkahnya terhenti ketika maniknya menangkap sebuah nama yang terukir pada salah satu batu nisan. Langsung saja pemuda itu berlutut, menangkupkan kedua tangannya lalu memejamkan mata, berdoa sepenuh hati untuk sosok yang telah beristirahat belum lama ini. Setelah beberapa saat, ia mengeluarkan setangkai bunga lily yang sempat ia ambil dari buket bunga untuk kedua orangtua Sakura lalu meletakkannya di atas batu nisan di hadapannya.

"Maaf karena aku baru bisa berkunjung, Sasuke."

Benar. Makam yang tengah ia datangi sekarang adalah makam milik Uchiha Sasuke, sang Uchiha terakhir yang menutup kisah klan legendaris sepanjang masa dari negeri api tersebut. Sesaat pemuda itu mengulurkan tangan, mengusap batu nisan yang terasa dingin di kulitnya.

"Aku tidak tau hal ini benar atau tidak untuk kulakukan. Tapi terlepas dari itu, aku harap kau merestui hubungan kami. Bagaimana pun, kau pernah menjadi sosok yang begitu penting baginya. Kurasa, aku harus melakukan ini mengingat aku juga melakukan hal yang sama di hadapan Naruto dan Kakashi-san."

Gaara menarik napas dalam, lalu menatap serius pada batu berukiran nama sang pahlawan dunia tersebut.

"Terima kasih karena telah menolongnya ketika aku menyerangnya dulu. Terima kasih karena telah menjaganya selama ini. Dan juga, terima kasih karena telah membuatnya jatuh cinta."

Desir angin hangat seolah menjawab perkataan pemuda itu, menerbangkan surai merah darah miliknya ke sembarang arah, mengikuti irama angin.

"Mulai dari sekarang, aku yang akan menjaga dan mencintainya, meneruskan apa yang pernah kau lakukan untuknya. Meski terlambat untuk mengatakan ini, tapi kuharap kita bisa menjadi teman. Ne, Sasuke?"

Gaara bangkit dari posisinya lalu membungkuk dalam. Setelah memberikan penghormatan terakhir, pemuda itu membawa kakinya melangkah meninggalkan area pemakaman disertai senyum tipis yang menghiasi, menyatakan betapa lega hatinya saat ini.

***

Seorang pemuda bersurai merah darah itu menghempaskan tubuhnya di atas sofa, mengistirahatkan tubuhnya yang terasa lelah setelah bekerja seharian. Selama beberapa saat yang lalu, pemuda itu bekerja lebih keras agar bisa mendapat cuti cukup panjang setelah pernikahannya. Alhasil, beginilah efek yang ia dapatkan. Lelah bukan main.

Ah.. Pernikahan, ya?

Sesaat seulas senyum menghiasi wajah tampannya. Ia menatap langit-langit ruang tengah dengan tatapan menerawang. Menikah. Entah mengapa, hal tersebut tak pernah sekalipun terlintas dalam pikirannya sesaat sebelum mencapai usia remaja. Mengingat bagaimana tapak tilas kehidupannya di masa lalu, tak heran jika Gaara menganggap bahwa pernikahan itu tak lebih dari sekedar omong kosong. Cinta itu tidak pernah ada, begitulah hal yang ia yakini dulu.

Namun ketika usianya mencapai angka yang mana ia mampu berpikir lebih logis, menata perasaan serta pandangannya, ia pun mulai menanamkan harapan semu dalam dirinya. Akankah ia menemukan sosok gadis yang mencintainya lalu menjalin hubungan dalam ikatan pernikahan? Begitulah kira-kira yang pernah ia tanyakan pada desir angin tiap kali ia menyendiri di atas atap gedung Kazekage. Hingga dalam beberapa tahun setelahnya, ia mulai memantapkan hati pada gadis pilihannya untuk menempuh jalan yang disebut-sebut sebagai babak baru kehidupan tersebut.

Haruno Sakura.

Seolah ada sesuatu yang membisikkan nama itu di telinganya, membuat detak jantungnya meningkat. Sejenak ia mendengus, merutuki dirinya yang masih saja merasakan debaran menyenangkan meski hanya dnegan mengingat sosoknya.

Gaara menghela napas panjang. Tanpa disadari, waktu begitu pandai menipu. Persiapan pernikahan mereka telah mencapai kata matang. Dekorasi di kuil serta gedung tempat diselenggarakan resepsi pun telah menghiasi setiap sudut ruangan yang akan menjadi saksi bisu kehidupan baru cinta mereka. Jamuan, sandang yang akan dipakai, dan lainnya telah ia dan Sakura pastikan kesiapannya. Tadi siang mereka telah mengecek satu per satu seluruh persiapan lalu saling melempar senyum kala segalanya tampak sempurna.

Sakura sendiri telah sampai di Sunagakure seminggu yang lalu, dan menempati penginapan yang disediakan khusus untuknya serta seluruh perwakilan mempelai wanita dari Konoha. Hampir seluruh kebutuhan untuk pernikahan diurus oleh utusan Gaara di sini. Tak lupa pemuda itu melarang keras Sakura untuk kelelahan mengurus ini itu, yang tentunya juga ditolak dengan keras pula oleh gadis itu. Gaara sendiri tak mampu bertindak terlalu jauh, terlebih ketika seabrek dokumen menimpanya bak gelombang tsunami. Demi bulan madu, batinnya. Ya, setidaknya hal itu menjadi satu-satunya motivasi Gaara untuk tetap bertahan walau di tengah pahitnya tumpukan kertas-kertas itu.

"Kau terlihat lesu."

Lamunan pemuda Kazekage itu buyar kala mendengar kalimat itu. Gaara bergumam kecil lalu menyahut bantal sofa, memeluknya kemudian bersandar dengan nyaman di bahu sang kakak yang kini duduk di sisinya. Temari tersenyum geli. Ia mengusap lembut surai sang adik lalu menumpu kepalanya di atas kepala Gaara.

"Bagaimana?"

"Apanya?"

Temari mendengus kecil. Ia pun menjitak pelan kepala pemuda itu lalu mengulang pertanyaannya. "Persiapan pernikahanmu."

Gaara menipiskan bibirnya sejenak.

"Ah, itu. Kurasa semuanya sudah baik."

Temari tersenyum lembut. Ia mengusap lembut surai semerah darah itu, menaruh afeksi yang begitu besar pada setiap sentuhannya. Jarang bagi mereka untuk berinteraksi seperti ini, dikarenakan mereka sendiri pun menganggap bahwa kasih sayang sebagai sesama saudara dapat ditunjukkan dengan hal-hal lain selain ini. Namun khusus malam ini, entah mengapa Gaara justru ingin bermanja dengan sang kakak sementara Temari sendiri tidak keberatan dengan hal itu.

"Tidak terasa, ya."

Suara wanita yang telah resmi berganti marga itu memecah keheningan. Ditemani detak jarum jam dinding, anak sulung keluarga Sabaku itu mengutarakan perasaannya saat ini.

"Dulu ketika kau lahir, tubuhmu sangat kecil. Mungkin sebesar telapak tanganmu saat ini." Temari menyahut salah satu tangan Gaara, menggenggamnya dengan lembut. "Aku sangat bersyukur karena kau mampu bertahan meski kondisimu saat itu tidak begitu baik. Maksudku, melahirkan bayi secara prematur memiliki resiko yang sangat besar."

"Dan ibu menanggung resiko itu," potong Gaara yang kemudian membuat atensi Temari beralih.

"Kau benar," ujar Temari. "Tapi aku yakin, ibu tidak akan pernah menyesalinya."

Hening kembali menemani pasangan kakak beradik ini. Gaara terdiam guna menunggu kakaknya kembali berbicara sementara Temari tengah bersusah payah untuk menahan air matanya.

"Kau akan menikahi anak gadis orang." Setetes air mata berhasil lolos dari manik hijaunya. "Dia juga sahabat baikku."

Bingung ingin menjawab apa, Gaara pun hanya bisa menyahut, "Aa."

Temari menarik napas dalam. "Aku sadar bahwa aku bukanlah kakak yang baik untukmu. Ada banyak hal yang belum sempat kuajarkan padamu. Tapi kuharap, kau bisa memimpin keluargamu dengan baik di masa depan nanti."

Wanita itu menjauhkan seidkit tubuhnya, menangkup pipi sang adik dengan kedua tangannya lalu mengusapnya dengan perlahan. Dalam hati ia meringis, masih saja tidak menyangka jika sosok lucu namun begitu ditakuti di masa lalu kini telah bertransformasi menjadi sosok dewasa yang membuat semua orang bergantung padanya. Tak ada lagi mesin pembunuh. Tak ada pula gelar monster yang tersandang kala ia menjadi seorang Jinchuriki. Sosok yang tengah duduk di hadapannya adalah Sabaku no Gaara, anak bungsu dari Yondaime Kazekage dan adik kandungnya.

Benar, sosok itu hanyalah Gaara. Bukan seorang mantan Jinchuriki, bukan pula Kazekage.

Hanya Sabaku no Gaara.

"Maafkan aku, karena aku tidak bisa menjadi pengganti ibu dan ayah bagimu. Jangankan mengisi peran mereka, bahkan aku gagal menjadi seorang kakak yang baik untukmu. Maafkan aku."

Mendengar kakaknya yang semakin terisak membuat pemuda itu tergerak untuk memeluknya. Gaara menyandarkan kepala sang kakak di dada bidangnya, sementara ia menumpu dagunya di atas surai kuning Temari.

"Kau adalah yang terbaik untukku, aneue. Tanpamu, aku tidak akan bisa berada di titik ini."

Temari menggeleng keras dalam pelukannya.

"Tidak.. Aku- aku tidak.. Kau menjadi dirimu yang sekarang karena usahamu sendiri. Aku benar-benar tidak berguna untukmu."

"Hei, dengarkan aku."

Gaara menarik dirinya dari pelukan Temari. Pemuda itu melayangkan seulas senyum tipis padanya, mengusap lembut pipi sang kakak yang masih dijejaki oleh air mata.

"Kau sudah melakukan yang terbaik. Dibandingkan kau, kegagalan dalam hidupku jauh lebih besar. Aku tidak ingin mengungkitnya satu per satu, karena lebih baik kita fokus pada apa yang ada di depan kita saja, bukan?"

Tatapan pemuda itu melembut, yang justru membuat Temari merasa semakin ingin menangis.

"Aku tidak meminta apapun darimu selain doa. Kumohon untuk terus mendoakanku, aneue. Kau akan selalu menjadi yang terbaik untukku. Meski aku akan mempersunting seorang perempuan besok, kau tetaplah perempuan yang begitu berharga untukku."

Gaara menyeringai kecil. "Kata orang, cinta pertama seorang pria adalah ibunya. Karena aku tidak pernah bertemu dengan ibu, anggaplah cinta pertamaku untuk kakakku. Bukankah begitu, aneue?"

Temari terkekeh di tempatnya. Meski air mata setia menghiasi, ia tetap tertawa mendengar kalimat yang terasa menggelikan baginya. Gaara tetaplah Gaara baginya, yang tidak terbiasa untuk mengatakan hal-hal manis seperti tadi. Namun alih-alih menyangkal, ia justru memeluk Gaara kembali.

"Ah, baiklah. Aku menerima pernyataan cintamu. Tapi jangan mengatakan apapun pada Shikamaru, ya? Dia akan menjadi sangat merepotkan jika sedang cemburu."

Gaara mendengus dalam pelukan kakaknya. "Ternyata kau benar-benar istrinya, ya. Kau bahkan mengikuti gaya berbicaranya sekarang."

"Ya, dan aku tidak tau itu adalah hal yang patut kubanggakan atau tidak."

Keduanya terkekeh bersama. Hingga satu suara berat mengisi rungu mereka masing-masing, keduanya pun melirik ke arah pintu utama yang terbuka kemudian menampakkan sosok berpakaian hitam serta sedikit coretan di wajahnya.

"Tadaima."

"Okaeri," sahut Gaara dan Temari bersamaan. Kankuro menaikkan sebelah alis ketika mendapati kakak dan adiknya berada dalam posisi yang tidak biasa. Sesaat ia menyeringai ketika pelukan keduanya terurai. Tidak sulit baginya untuk memahami situasi. Dengan melihat wajah sembab sang kakak saja, sudah dapat dipastikan jika suasana hati mereka tengah haru biru. Maka dengan tak tau dirinya, ia berlari kecil lalu melompat tepat di pangkuan Gaara.

"Sial! Menjauh dariku!" seru Gaara kemudian memberontak dalam rengkuhan pemuda ahli kugutsu itu.

"Apa-apaan kau ini? AKu hanya ingin memeluk adikku sebelum dia dipeluk oleh istrinya besok," jawab Kankuro tak mau kalah.

"Kurang ajar! Pergi! Kau bau!"

"Oh, benarkah? Kalau begitu rasakan ini!"

"Sial kau, Aniue! Temari, tolong aku!"

Temari tertawa terbahak-bahak di sisi mereka. Melihat Gaara dan Kankuro yang bertengkar seperti ini bukanlah hal asing baginya. Meskipun tidak sering, namun nyatanya adik keduanya itu hobi sekali menjahili si bungsu. Namun jika dipikir-pikir, interaksi mereka cukup manis di matanya, dimana Kankuro dengan senang hati akan membuat Gaara kesal sementara Gaara akan merajuk seharian setelah dijahili oleh kakak lelakinya seperti tadi.

Sebuah interaksi langka bagi kebanyakan orang, namun adalah hal yang biasa di matanya.

Dan malam di rumah besar Kazekage itu pun diramaikan dengan teriakan Gaara, Kankuro serta tawa dari Temari. Seisi rumah seolah dipenuhi dengan kehangatan. Figura yang berisikan foto Yondaime Kazekage beserta sang istri menjadi saksi bisu dari kebahagiaan Sabaku bersaudara yang saat ini tengah duduk bersama di ruang tengah, saling berbagi cerita sebelum menyambut hari bersejarah di keesokan hari.

***

Keheningan mengisi kosongnya pikiran sang gadis musim semi yang tengah terlelap dalam damai. Semilir angin sejuk menerpa kulitnya, menghantarkan ratusan anak rambut untuk mengikuti iramanya yang tak tentu sarah. Kedua matanya terpejam. Deru napasnya pun begitu teratur. Hingga dalam satu sentakan, sebuah suara mengudara begitu saja di sekitarnya.

"...Ra?"

"...Kura."

"Sakura."

Sepasang kelopak mata itu terbuka ketika merasakan seseorang tengah mengusik tidurnya. Dua bola mata berwarna hijau jernih itu terbuka sempurna meski sempat menyipit sesaat, berusaha untuk menyesuaikan diri dengan pencahayaan yang ia terima. Sakura mengerjap. Ketika ia bangkit dari posisi berbaringnya, tubuh mungil itu langsung menegang ketika mendapati presensi seorang pemuda yang tengah tersenyum tipis padanya.

"S-Sasuke-kun?"

Bibir gadis itu berujar lirih memanggil namanya, sementara sosok yang dipanggil Sasuke itu melebarkan senyum. Ia mengulurkan tangan, mengajak gadis itu untuk bangkit dari posisinya yang terngah terbaring beralaskan rumput hijau. Sakura menyambut uluran tangannya, meski raut wajah heran setia terlukis di wajah cantiknya.

"Kau- kau sungguh Sasuke-kun, kan?"

Sasuke mendengus kecil. "Aa. Ini aku."

Sakura tak mampu menahannya lagi. Ia tidak peduli apakah ini hanya mimpi atau ilusi belaka. Gadis itu menangis. Ia menumpahkan semua air matanya, terisak tanpa ragu di depan pemuda itu. Tubuhnya bergetar kecil, bersamaan dengan tangisannya yang semakin kencang seiring waktu.

"Hei, kenapa menangis?"

Sakura menggeleng ketika Sasuke bertanya dengan nada lembut. Ia mengusap pipinya dengan kasar lalu mendongak.

"A-aku tidak peduli, apakah ini hanya mimpi atau mungkin genjutsu. Tapi- tapi aku ingin bilang jika aku bahagia. Aku bahagia, Sasuke-kun. Walau ada banyak rintangan untuk mendapatkannya, tappi aku bahagia."

Sasuke tersenyum di depannya. Pemuda itu mengulurkan tangan lalu mengusap surai gadis itu dengan lembut. "Begitu, ya?"

"Hm." Sakura mengangguk penuh semangat. "Terima kasih, Sasuke-kun. Terima kasih karena telah mengenalkan cinta padaku. Kau tau, kau adalah alasan mengapa aku bisa menjadi Haruno Sakura yang sekarang. Sekali lagi, aku tidak peduli apakah kau yang sesungguhnya akan mendengar ini tapi -sungguh, terima kasih."

Tuk

Tubuh Sakura tersentak ketika merasakan sentuhan di keningnya. Gadis itu mendongak, mempertemukan mata indahnya dengan manik kelam bak batu oniks dari Uchiha bungsu tersebut. Lagi. Satu tindakan sederhana itu sukses membuat wajahnya merona. Ketukan di kening itu terasa sangat nyata untuknya, menghantarkan kehangatan di dalam relung hatinya.

"Seharusnya aku yang berterima kasih padamu," ujar pemuda itu. "Aku bukanlah orang yang pandai berkata-kata. Tapi kau harus tau, jika aku menyimpan rasa ini dalam keabadian."

Kini jemari pemuda itu berpindah ke pucuk kepala gadis musim semi itu. Ia menepuk ringan surai bak gulali tersebut lalu melanjutkan, "Aku senang jika kau bahagia. Hanya itu yang aku inginkan. Jangan pikirkan aku lagi. Berbahagialah bersamanya."

Sakura tertegun sejenak. "Apakah Sasuke-kun tau?"

"Aa." Jawabnya dengan nada rendah. "Aku selalu mengawasimu dari sini."

Sakura melayangkan senyuman manisnya. Ia pun berkata, "Aku mencintainya."

"Aku tau. Dia orang yang baik. Dia pantas mendapatkan itu."

Sesaat Sakura menatapnya ragu. "Apa Sasuke-kun tidak marah?"

"Apakah arwah sepertiku punya hak untuk cemburu?"

Sakura terkekeh geli. Dalam hati membatin jika ternyata Sasuke memiliki selera humor walau baru saja ia ketahui saat ini.

"Bangunlah. Jangan sampai kau terlambat di hari istimewamu."

"Eh?"

Perlahan tubuh Sasuke memudar, menipis dan mampu menembus bayangan putih tak berujung di belakangnya. Sakura tertegun. Namun ketika ia mendengar satu kalimat dari Sasuke, gadis itu memejamkan mata seraya tersenyum.

"Selamat untuk pernikahanmu, Sakura."

Kedua kelopak mata itu terbuka, menampakkan iris berwarna hijau bak batu zamrud yang begitu meneduhkan hati. Sakura mengerjap sejenak lalu menatap kosong langit-langit kamar penginapan yang ia tempati. Mimpi, ya? Tidak mengherankan jika pertemuannya dengan Sasuke terasa begitu nyata untuknya. Gadis itu menyentuh keningnya yang baru saja diketuk oleh Sasuke kemudian memiringkan tubuhnya, kembali meneteskan air mata seraya tersenyum haru.

"Ternyata kau datang untuk mengucapkan selamat, ya,"gumam gadis itu. Sakura bangkit dari tidurnya lalu merentangkan tangan, melakukan perenggangan kecil-kecilan sebelum menyambut hari besarnya setelah ini.

"Yeah, shannaro!"

*

*

*

Tbc..

Chapter 42, updated!

HAI HAI HAIIII!!! Kangen akuu gaa? Kangen gaa? hihih.

Huweee maapkeun akuuu sayangg😭😭maaff bgt karena aku kelamaan up ga kayak biasanya. tauu ga siih, ide aku ngestuck di chapter ini, bingung mau buat apa:) bolak-balik nulis terus dihapus. Pas lagi asyik nulis, eh di tengah jalan malah ga sreg terus dihapus. Pokoknya ujian bgt buat nyelesai in chapter ini weh:((

Buuttt, semuanya udah aman kok hehe. Aku minta maaff bgt kalo chapter ini kesannya datar. Boring:( tapi aku gabisa gantungin kalian terus-terusan jadi aku tulis aja apa yang terlintas di otakku hikds. Mungkin aku bakal revisi di kemudian hari, tapi gatau ding kapan ngueheheh.

Okeyy, ini sih udah satu langkah menuju end hahaha. Chapter selanjutnya tuh udah final chapter gengs. Sebagai permintaan maaf aku karena udah hilang gaada kabar, aku bakal double up hahaha. Semoga kalian suka yakk!

Okede aku rasa sekian untuk chapter ini, aku harap kalian suka. Seperti biasa, aku mengharapkan vote dan komen dari kalian karena satu vote dan komentar dari kalian adalah semangat aku buat lanjut nulis. Akhir kata, terima kasih dan sampai jumpa di chapter selanjutnya!!

Salam

Ilaa.

Comment