stalk-her

An oneshot Fanfiction




Aku melihatnya lagi hari ini.


Memilih untuk duduk di sebuah sudut café minimalis yang berhadapan dengan sebuah minimarket 24 jam, secangkir kopi yang telah tandas bersama satu iris bolu kopi yang belum ia sentuh sama sekali selama tiga jam lamanya. Fokusnya masih tetap sama, pada seorang gadis remaja cantik yang sedang bekerja paruh waktu di minimarket.


Sudah lebih 20 menit dari jam yang seharusnya shift gadis itu berakhir, sayangnya rekan kerja nya itu belum tiba untuk menggantikannya. Padahal sudah pukul setengah 12 malam, dan gadis itu masih tetap harus mempersiapkan diri untuk sekolah besok.


Raut wajahnya tetap ramah, tersenyum seperti biasa pada setiap pelanggan yang datang di minimarket tersebut. Tapi pemuda itu tahu, gadis musim semi itu tengah memikirkan tes sejarahnya besok. Dia belum belajar sama sekali.


Wajah itu kembali resah ketika pelanggan terakhir telah keluar dari minimarket, hingga tersisa dirinya yang sendiri untuk melamunkan kekhawatirannya. Pemuda itu beranjak, mendekati pemilik café yang tengah membersihkan gelas dengan kain linen putih. Pria tua itu tersenyum ketika menatap pelanggan terakhirnya itu.


"Seperti biasa, Uchiha-sama?" Mata sayu pria tua itu beralih pada piring berisi bolu kopi yang pria itu—Uchiha Sasuke bawa di tangan kirinya. Pria tua itu, Sarutobi, bergerak untuk mengambil sebuah kotak kecil akan tetapi terhenti ketika Sasuke kembali berucap.


"Satu Castella."


Gerakan Sarutobi sementara terhenti, kemudian beralih untuk mengambil sebuah kotak berukuran sedang dan memasukan satu tambahan kue lain.


"Tolong jaga café untuk saya sebentar, Uchiha-sama." Pria tua itu berlalu, dengan sebuah kotak berukuran sedang di tangannya. Iris hitam Sasuke bergulir, menatap Sarutobi yang melintasi jalan dan membuka pintu minimarket. Menyapa pada gadis musim semi yang tengah gundah itu.


Senyumnya merekah ketika kotak itu beralih pada tangan kecil sang gadis, menerima sebuah pemberian dari pemilik café tentu sangat mengejutkannya. Sarutobi tersenyum sopan dan segera beranjak dari sana. Begitu pula dengan Sasuke.


"Haruno-san mengucapkan terimakasih." Pria tua itu berucap sebelum memasuki café kemudian mengubah papan 'buka' di pintu café menjadi 'tutup'. Sasuke mengamati gadis musim semi itu kembali dari sudut yang tak terlihat.


Derap langkah seseorang mengisi hening malam, sosok rekan kerja gadis itu berseru dari depan minimarket sambil bernapas terengah.


"Sakuraaa! Gomen, Aku baru saja mengantar temanku yang melahirkan!" Kedua telapak tangan itu mengatup di depan wajahnya, berusaha mengeluarkan ekspresi yang terlihat menyesal dan membuat gadis bernama Sakura yang semula resah berubah khawatir.


"Eh, lalu bagaimana dengan temanmu itu, Ginko-chan?"


Suara kedua wanita itu mengisi hening malam yang kosong, kemudian berhenti ketika sosok bernama Ginko segera menuju ruang ganti untuk memulai shift nya. Sasuke beralih mengamati dari sisi samping café, berusaha untuk tidak terlihat namun tetap bisa mengamati gadis itu.


Sakura kini berdiri di depan café, setelah mengucapkan salam perpisahan pada temannya gadis itu kini kembali merenung sambil menatap kotak berisi kue tadi di tangan. Kemudian pada arloji di tangan kirinya. Kereta terakhir sudah habis, sekarang gadis itu menghadapi kesulitan lain.


Gadis itu terlihat menimbang, dan Sasuke tidak menginginkan sebuah pilihan terakhir di otaknya itu menjadi pilihan Sakura untuk menetapkan bagaimana cara ia dapat pulang ke flat-nya. Jarak tempat kerja dengan tempat tinggalnya hampir 45 menit lamanya, dan ini sudah pukul 12 malam.


Tapi gadis dalam pantulan iris mata dan yang selalu berada dalam pikiran Sasuke itu memang salah satu dari orang paling keras kepala. Ketika kaki itu mulai melangkah, gadis itu memutuskan untuk berjalan kaki. Setelah merapatkan jaket Sasuke menghela nafas. Adakah cara lain untuk menghentikan tindakan nekat gadis itu?


Tapi Sasuke tidak dapat menampakan dirinya sekarang, terlalu dini. Belum saatnya...


Sasuke benci dengan situasi seperti ini, menyalahkan dirinya yang tidak bisa menampakan dirinya didepan Sakura. Membiarkan gadis itu berjalan selama 45 menit lamanya. Maka Sasuke hanya bisa memastikan gadis itu selamat sampai tempat tinggalnya dan selama itu Sasuke akan terus di belakangnya, mengawasi dalam diam.


.


.


.


Sakura tiba di apartemennya tepat pukul 00.50, gadis itu tidak segera tertidur dan beristirahat. Masih ada pekerjaan yang harus ia lakukan. Setelah membersihkan diri, gadis itu kembali duduk didepan meja belajarnya dan membuka buku sejarahnya. Dia harus lolos tes besok, bagaimanapun caranya dia harus belajar. Raut wajah gadis itu terlihat sedikit lelah dan sesekali menguap.


Sasuke kembali mengamatinya, kali ini dia bisa sedikit bersantai. Mengamati dari jendela apartemennya yang menghadap kamar Sakura. Gadis itu tidak menutup tirainya ketika belajar dan membiarkan sedikit udara segar masuk.


Mata itu hampir terpejam, dengan bibir yang bergerak merapalkan nama-nama pahlawan kekaisaran Jepang. Gadis itu terkesiap dan sedikit mengucek mata sebelah kirinya, kemudian beranjak.


Sasuke menunggu gadis itu kembali ke meja nya, Hanya tiga menit, Sakura kembali dengan piring kecil berisi bolu kopi. Sasuke tersenyum kecil, gadis pintar. Bolu kopi akan membuatnya segar namun masih tetap bisa tertidur karena kandungan kafeinnya hanya sedikit.


Hanya satu jam, dan Sakura sudah mencapai batasnya. Gadis itu menutup bukunya setelah selesai belajar dan membereskan meja. Gadis itu kembali dengan wajah yang mengantuk dan segera menarik selimut kemudian terpejam.


Gadis itu selalu lupa menutup tirainya, dan itu membuat Sasuke dapat melihat ekspresi tertidurnya yang manis. Sasuke menatap jam tangannya. Pukul 02.04, gadis itu jatuh tertidur dan dia harus bangun pukul enam pagi. Gadis itu hanya punya waktu sekitar empat jam untuk beristirahat untuk memulai aktivitasnya kembali besok.


.


.


.


Sasuke hanya tertidur selama dua jam. Tapi itu lebih dari cukup. Dia terbangun pukul 4 pagi, hal yang pertama ia lakukan adalah menatap Sakura yang masih terlelap di kasurnya. Pria itu kemudian beranjak untuk melakukan rutinitas pribadinya dan mempersiapakan dirinya untuk bekerja.


Pukul tujuh pagi, gadis itu sudah rapih dengan seragam SMA Tokyo dengan kuciran rambut manis berbentuk bintang-bintang. Gadis itu sarapan dengan baik, semangkuk nasi yang mengepul hangat dan satu sup miso serta ikan makarel. Setidaknya dia bisa mengisi energi untuk memulai hari-harinya yang cukup padat.


Sakura menggendong tas nya dan beranjak keluar, begitupun dengan Sasuke. Pria itu mengambil kunci untuk memulai hari nya.


Sasuke mengamati dari balik jendela mobil miliknya. Selalu, setiap hari dia melajukan mobilnya bersama dengan bis yang biasa Sakura naiki menuju sekolah. Melihat nya ketika lampu lalu lintas berubah menjadi merah, mengawasi gadis itu yang selalu terlihat ceria dan mengobrol dengan rekan di samping tempat duduknya. Terkadang membaca buku ketika hanya dia yang ada di dalam bis.


Sasuke selalu memastikan dia tidak pernah berada di belakang bis setiap saat. Ada kalanya ketika ia harus melajukan mobilnya sedikit lebih cepat dan melaju didepan bis ketika lalu lintas berubah padat.


Bis yang Sakura naiki berhenti tepat tidak jauh dari sekolahnya, dan Sasuke harus melajukan mobilnya menuju tempat kerjanya. Hal yang tidak Sasuke sukai ketika dia harus memulai rutinitasnya dan membuatnya tidak bisa mengamati Sakura selama dia bersekolah.


"Ah, Sasuke!" seorang pria dengan rambut kuning keemasan yang menjadi rekan kerja selalu menyapanya di pagi hari. Uzumaki Naruto, guru olahraga yang selalu berdiri di depan gerbang sekolah pada pagi hari. Menjadi tugasnya mendisiplinkan murid yang tidak mematuhi aturan.


"Naruto," Sasuke menyapanya, bukan menjadi kebiasaanya membalas sapaan seseorang, apalagi melangkah mendekati Naruto yang tersenyum lebar. Sasuke menyapa Naruto yang setiap hari berdiri di depan gerbang sekolah mengawasi murid-muridnya.


"Ohayou, Sensei!" sapaan murid tidak berhenti ditujukan pada dirinya dan Naruto, meskipun sesekali pria berambut kuning itu harus meneriaki muridnya yang nakal. Tetapi Sasuke menanti, menatap dengan sabar karena seseorang yang dia tunggu akan datang.


"Ohayou, Uzumaki-sensei!" Ah,


Suara itu.


"Yo!"


Senyum manis itu tertuju padanya, tepat ketika Sasuke dapat memperlihatkan sosoknya dihadapan Sakura untuk sewajarnya. Iris kelamnya tidak bisa berhenti untuk menatap emerald Sakura. Suara gemuruh dan berisik datang dari dada sebelah kirinya yang tidak pernah berhenti untuk memberitahunya akan perasaannya pada gadis itu. Wajahnya harus tetap tenang—


"Ohayou, Uchiha-sensei."


Sasuke berdehem, sedikit berusaha menenangkan jantungnya yang tidak pernah berhenti berdetak sewajarnya manusia hidup.


"Hn. Haruno."


—karena sekarang mereka adalah guru dan murid.


"Jadi, Aku berharap padamu Sasuke. Kalau ada muridku yang ketahuan membolos disini karena marathon panas-panas hari ini tolong usir dia dari ruang kesehatan dan laporkan padaku. Bilang kalau Uzumaki-sensei akan menggigitmu karena kau nakal."


Petuah Naruto selalu hadir setiap kali ia akan mengajar. Terkadang menjadi Dokter kesehatan di SMA mempunyai nilai tambah dan kurang. Contohnya adalah seperti apa yang dikatakan Naruto.


Pria itu menyipitkan matanya melihat ekspresi Sasuke yang hanya terlihat datar. "Dan kau, teme, jangan meloloskan murid perempuan disini yang berpura-pura sakit dan hanya ingin melihat wajahmu."


"Mereka yang sakit adalah tanggung jawabku, Naruto."


Guru olahraga dengan jersey merah itu menghela nafas, "Yah, bagaimanapun juga Aku tidak bisa menganggu pekerjaanmu. Lagian kenapa kau jadi dokter sekolah kecil seperti ini sih? Aku pikir Itachi menangis karena adiknya yang calon dokter jenius-hebat-se-Tokyo-raya ini hanya memilih jadi dokter SMA biasa bukannya menjadi calon dokter bedah?"


Sasuke tidak bisa menjawabnya.


"Mencari pengalaman."


Pemuda itu menghela napas pasrah, "Oke, oke. Pengalaman adalah guru terbaik, tapi jangan lupakan pontensimu yang seharusnya kau gunakan dengan baik."


"Karena orang sakit itu tidak hanya seorang murid SMA saja. Di masa mendatang kau harus menjadi berguna untuk masyarakat, Sasuke."


Ucapan Naruto masih terngiang di benak Sasuke. Untuk saat ini... dia belum bisa.


Ada yang lebih penting untuknya.


Onyx Sasuke menatap lapangan yang berada didepannya, ruang kesehatan akan selalu dekat dengan sumber dimana murid SMA biasanya terluka. Tanggung jawab Naruto lebih besar sebenarnya. Mengawasi puluhan murid untuk tidak terluka satupun butuh kerja keras, Sasuke hanya membantunya ketika ada yang terluka.


Untuk beberapa jam kedepan, Sasuke hanya bisa fokus pada pekerjaannya. Dia dan Sakura terpisah di ruangan yang berbeda dengan jenis kesibukan yang berbeda. Sasuke dengan pasiennya dan Sakura dengan aktivitas belajarnya.


"Em... sensei?"


Suara itu mengejutkannya. Berhenti mengetik laporan di laptopnya, Sasuke terdiam ketika dia mengenali suara yang sedang memanggilnya. Pria itu mengalihkan pandangannya yang semula tertunduk untuk menatap gadis dengan jersey merah di ambang pintu.


Sang gadis musim semi.


Berdiri di depan ruangan kesehatan, lengan kecil gadis itu menopang pada pintu. Terlihat menahan sakit, kenapa gadis ini sendirian?


"Aku jatuh sensei,"


Oh, hari ini jadwal mengajar Naruto di kelas 3. Jam pelajarannya masih 10 menit lagi dimulai. Itu menjelaskan kenapa dia bisa sendiri disini, teman kelasnya mungkin sudah berkumpul di lapangan.


"Kemarilah,"


Gadis itu mengangguk, kemudian dengan setengah susah payah menyeret kakinya. Apa separah itu?


Sasuke memutuskan berdiri, sebelum gadis ini akan semakin melukai dirinya sendiri. Pria itu memutuskan untuk menggendong Sakura dan membawanya duduk di kasur.


"Sen-Sensei!"


"Pergelangan kakimu terkilir. Siku lengan yang mengayun tidak wajar. Kau hampir membuat harimu akan dikekang perban selama tiga minggu kalau tetap memaksakan berjalan dengan kondisi seperti itu."


Ini kalimat terpanjang Sasuke yang pernah dia ucapkan pada gadis itu. Ucapannya cukup membuat Sakura terkejut dan berujar terimakasih. Apa yang dia ucapkan memang tidak melebih-lebihkan, tapi gadis ini lebih dari terpukau sekarang.


"Padahal Sensei belum melihat lukaku sama sekali. Sugoi."


Gadis itu masih tersenyum ketika sakit. Sasuke melepas sepatu gadis itu dan melihat pergelangan kakinya.


"Terbentur di tangga?" tanya Sasuke. Pria itu mengambil salep dan perban.


Gadis itu mengangguk, "Iya, Sensei."


Sasuke melakukan pekerjaan nya dalam hening. Sedikit merasa resah ketika suara jantungnya mungkin akan terdengar oleh gadis itu.


Tenang, tenang.... Sasuke berujar dalam hati.


"Aku harus melihat lenganmu." Sasuke berdiri didepan gadis itu, meminta persetujuannya. Jersey perempuan di SMA ini berlengan panjang dan memiliki kaus lengan pendek didalamnya. Sakura mungkin harus melepas jersey nya dahulu.


"Sebentar, Sensei." Gadis itu bersusah payah membuka resleting jersey nya. Kaus olahraga kelas tiga berwarna putih. Sasuke berusaha memalingkan wajah dari suguhan didepannya.


Tidak, tenanglah...


Luka di sikunya terlihat memerah, hanya sedikit lebam namun tidak mengeluarkan darah. Sasuke kembali merawat lukanya.


Iris zamrud gadis itu fokus menatap sikunya yang sedang Sasuke obati. Perlahan, Sasuke dapat melihat gadis itu dari dekat. Hari ini surai merah mudanya dikepang samping yang membuat leher sebelah kirinya terbuka. Poni nya ia jepit pita berwarna hijau.


Manis sekali.


Akan tetapi luka di pelipis kirinya membuat mata Sasuke sedikit menyipit. Dia tidak pernah menemukan luka ini kemarin, dan dia tidak pernah menemukan Sakura terluka. Jepit pita nya membuat ia dapat melihat pelipis kirinya yang sebelumnya tertutup.


Luka nya baru.


"Apa yang baru saja kau lakukan dengan ini?" Sasuke mengulurkan tangannya pada pelipis gadis itu secara tidak sadar. Menarik helai poni Sakura yang terlepas dari jepitnya dan menyelipkannya di telinga. Tanpa sadar tindakannya membuat gadis itu sedikit tersipu.


"Ja-jatuh, Sensei." Ujar gadis itu sedikit gugup. Sasuke menyipitkan matanya, kenapa hari ini Sakura ceroboh sekali?


"Um... Sensei?"


Sasuke menatap mata zamrud gadis yang memanggilnya,


"Apa Aku boleh istirahat disini?"


Sasuke terdiam, hari ini jantungnya akan sedikit berisik untuk waktu yang lama.


Pria itu memutuskan untuk membereskan peralatannya untuk menyembunyikan ekspresinya.


"Tidak ada yang melarangmu."


Gadis itu tersenyum, "Terimakasih, Sensei. Nanti Aku akan meminta maaf pada Naruto-sensei."


"Tidak perlu. Naruto akan mengerti, tidak usah memberitahunya."


"Terimakasih, Uchiha-sensei."


Sasuke mengangguk sekali, kemudian berdiri untuk menarik tirai untuk memberikan sedikit privasi untuk gadis itu.


"Jangan Sensei!"


Sasuke terkejut, tangannya masih terayun di udara ketika mendengar gadis itu berseru. Sasuke melihat kepanikan dari gadis itu.


"Ma-Maafkan saya, sungguh saya tidak bermaksud untuk berteriak pada Sensei. Tapi tolong jangan ditutup tirainya. Saya sedikit... takut."


Takut?


Sasuke mengangguk, membiarkan tirai yang tidak akan pernah bisa ditutup itu seperti permintaan Sakura.


Sasuke kembali ke mejanya. Merenungkan apa yang menjadi alasan gadis itu takut dengan tirai yang tertutup. Hal ini menjelaskan kenapa gadis itu selalu membuka jendelanya ketika di malam hari. Bukan hanya ketakutan karena tirai yang tertutup. Tapi ruang tertutup.


Gadis itu tidak pernah berada dalam ruang tertutup untuk waktu lama. Sakura tidak pernah menaiki lift, berganti pakaian secara cepat, dan pekerjaan paruh waktunya selalu di ruangan terbuka yang luas.


Sasuke ingin tahu. Sungguh perasaan yang terlalu membuncah akan alasan dibalik ketakutan gadis itu membuatnya tidak sabar. Otaknya berpikir dengan keras memikirkan satu persatu alasan logis yang bisa akal sehatnya terima. Sayangnya, dia tidak yakin dengan semua jawaban hipotesis nya. Dia butuh jawaban langsung yang keluar dari bibir gadis itu.


Tidak, tidak, tidak.


Sasuke mengepalkan tangannya ketika dia merasa kecewa dengan semua tindakan yang selama ini dia lakukan, tidak pernah menunjukan proses untuknya mendekat dengan gadis itu. Sasuke mengikutinya setiap hari, mengamatinya dari balik cahaya, memastikan keselamatannya, keberadaannya dan menghadirkan senyum dari setiap perlakukan manis kecil untuknya.


Sayangnya, gadis itu tidak pernah tahu,


Dia, tidak tahu Sasuke. Dia tidak tahu Sasuke selalu ada untuknya.


Kecewa untuk dirinya sendiri. Batas itu terlalu jelas, tembok yang memisakan mereka masih terlalu tinggi.


Demi tuhan, gadis itu masih berusia 17 tahun. Umur mereka terpaut 8 tahun. Sasuke masih harus menunggunya, sedikit lagi...


Sasuke mengamati gadis yang tengah terlelap itu, betapa dia ingin melakukan semua hal yang ada di dalam pikirannya bersama gadis itu. Tangan dinginnya menyusuri pipi halusnya, mengunci onyx nya di rona merah bibirnya.


Sasuke menarik kembali tangannya, kemudian melebarkan selimut untuk menutupi tubuh Sakura.


Semua ada waktunya.


Tapi, kapan?


.


.


.


Hari demi hari Sasuke tetap sama. Menghabiskan waktu untuk mengamati Sakura dari sisi yang tidak terlihat.


Senin, selasa dan rabu. Minimarket di jam pulang sekolah sampai malam. Kamis menyebarkan pamphlet, jumat di bioskop hingga dini hari menjadi penjual popcorn. Sabtu dan Minggu di restoran keluarga menjadi kasir.


Ketika Sakura hanya memiliki sedikit waktu tidur dan belajar, Sasuke memiliki waktu tidur yang lebih sedikit lagi dari Sakura. Dia selalu memastikan tidur setelah gadis itu terlelap dan bangun sebelum Sakura membuka mata.


Sasuke selalu memastikan gadis itu aman di tempatnya.


Jumat malam adalah jadwal Sakura menjaga mesin popcorn dan camilan bioskop. Sasuke mengamatinya dari gazebo di seberang. Satu cangkir kopi telah tandas sekitar tiga jam yang lalu.


Gadis itu masih seperti biasa, tersenyum manis pada setiap pelanggan tanpa memandang sikap pelanggan yang berbeda beda. Senyuman manis biasa—tidak.


Sasuke menyipitkan matanya, ada sesuatu yang berbeda dari biasanya.


Senyum gadis itu luntur begitu saja ketika dia menutup pintu mesin minuman. Ekpresi wajahnya tidak baik dan tangan kiri yang menyentuh hampir mencengkram pinggang.


Sasuke menatap jam tangannya, sebentar lagi shift gadis itu hampir berakhir. Tapi ekspresi wajahnya tadi membuat Sasuke berpikir keras, apa yang mengganggu gadis itu?


Ketika keluar dari Gedung bioskop, warna dari wajah gadis itu sangat buruk. Terlalu pucat, tidak ada rona sama sekali. Mengepalkan tangannya, dia mungkin harus bertindak.


Tubuh gadis itu terhuyung, Sasuke terbelalak dan tanpa dia sadari kakinya bertindak lebih cepat daripada pikirannya. Tepat ketika Sasuke meraih gadis itu, mata sudah Sakura terpejam.


Dehidrasi, dan beban akibat terlalu tertekan. Sasuke meraih gadis itu kedalam pelukannya, dia harus mencari klinik secepat mungkin.


Sasuke menendang pintu didepannya dengan kasar, aksinya membuat sebagian karyawan yang ada di dalam klinik terkejut. Setelah melihat siapa yang telah melakukan keributan, ekspresi mereka mulai berubah satu persatu.


"Uchiha-sama, apa yang bisa kami bantu?"


Sasuke bergerak cepat, tanpa berujar apapun semua pegawai klinik mengerti dengan kedatangan tamu mendadak. Dengan cepat mereka menyiapkan ruangan ketika melihat siapa yang ada di dalam pelukan Uchiha Sasuke.


"Sasuke?"


Suara seorang laki-laki yang familiar membuat Sasuke berhenti sejenak untuk menatap Gaara. Pria itu mengangguk sekilas tanpa menghentikan pekerjaannya untuk menyiapkan cairan infus.


Laki-laki berambut merah itu berdiri dan memberikan arahan pada pegawai klinik nya untuk kembali ke pekerjaannya masing-masing, karena Sasuke memang tidak perlu bantuan siapapun mengingat pria itu juga merupakan seorang dokter.


"Diagnosis?" tanya Gaara. Dia menyerahkan alat tensi pada Sasuke.


"Dehidrasi, faktor stress dan tertekan." Ujar Sasuke. Dia fokus mengukur tekanan darah gadis itu.


Gaara menyipitkan matanya mendengar ucapan Sasuke. Penyebab stress pada remaja terdiri dari berbagai macam. Melihat dari seragam yang dipakai pasien Sasuke, Gaara melihat dia adalah murid dari sekolah tempat Sasuke bekerja.


"Siswi pintar?"


Sasuke mengangguk, "posisi 3 pararel."


Gaara menatap gadis berambut merah muda tersebut. Merasa reaksi rekannya yang satu ini terlihat berlebihan, Gaara tidak perlu menanyakannya lebih lanjut lagi. Akan tetapi ada hal yang membuat Gaara perlu berpikir panjang.


"Terkilir? Kecelakaan saat olahraga?"


Sasuke menatap Gaara, ada hal yang dilewatkan oleh dirinya. Dia terlalu fokus pada Sakura hingga tidak memikirkan hal yang mungkin menjadi kemungkinan dari penyebab gadis ini terjatuh saat pelajaran olahraga kemarin.


"Tidak. Sebelum itu,"


Gaara menyilangkan lengannya, "Aku tidak berpikir kalau sekolahmu adalah salah satu yang terbaik di kota, Sasuke. Tapi setiap tahun dari sekian banyak murid disana akan ada salah satu murid yang merisak dan dirisak."


"Apa maksudmu?"


"Lihat ini," Gaara menyibak kaus kaki di pergelangan kaki Sakura. "Mungkin ini tidak terlihat dari kejauhan, tapi ketika berada dalam beberapa langkah saja Aku bisa melihat pergelangan kakinya sedikit membiru."


Sasuke membeku. Luka yang dia rawat beberapa hari yang lalu hanya terlihat semakin parah.


"Aku tahu kau jadi dokter disana, dan Aku tahu menyembuhkan sakit perut, sedikit pusing dan tergelincir saat olahraga hanya sebagian kecil dari kemampuanmu. Maka dari itu, melihat luka ini dari dekat bukan karena tidak ditangani, tapi karena terluka kembali."


Gaara menepuk bahu rekannya itu pelan, "Maafkan Aku, tapi apa muridmu ini korban bullying?"


Sasuke berhenti bernafas untuk beberapa saat hingga dia kembali mengendalikan dirinya kembali. Bullying bukan kasus yang kecil, selain luka fisik korban akan mengalami luka psikis. Kehilangan kepercayaan diri dan selalu berakhir dengan mengakhiri hidupnya sendiri.


Kasus bunuh diri di Jepang berada dalam angka yang tidak main-main, korban kasus bullying banyak menjadi pelaku bunuh diri. Sasuke selalu menelan angka dan data peningkatan kasus bunuh diri akibat bullying setiap tahun. Meskipun tidak semua berakhir dengan kasus bunuh diri, banyak murid yang berakhir dengan gangguan mental.


Gaara menatap rekannya dengan perasaan bersalah, "Maafkan Aku, tapi gadis ini butuh pertolongan Sasuke."


Jemari Sasuke menyentuh pipi gadis itu ringan, Gaara melihat setiap pergerakan dan mengartikan tatapan Sasuke, pria itu tersentak. "Astaga—apa ini alasanmu bekerja di klinik sekolah itu Sasuke?"


Gaara memahami semuanya, kenapa gadis itu bersama Sasuke selarut ini. Gaara mengetahui Sasuke bukan tipe pria yang berkeliaran di malam hari dan memilih bergelut dengan seluruh diktat kedokteran mereka.


"Seberapa jauh kau mengikuti gadis ini?" tanya Gaara. Sasuke menatap rekannya,


"Sejauh yang kau pikirikan."


Gaara mungkin berpikir orang jenius akan berbeda dari kebanyakan orang dan menutup diri untuk berada dalam dunia nya sendiri. Tapi Sasuke terlalu melampaui apa yang orang-orang pikirkan. Temannya ini tidak mempunyai rasa takut sedikitpun, kepercayaan diri yang tinggi dan memang berbeda dari orang lain. Sedikit dia terobsesi dengan sesuatu, Sasuke tidak akan pernah berhenti.


"Katakan kalau rencanamu masih memakai pikiran rasionalmu Sasuke." Gaara memijat keningnya yang mulai terasa pening.


"Kau tahu Aku tidak pernah gagal, Gaara."


Gaara seakan merasa darah dalam tubuhnya berpindah cepat meninggalkan wajahnya. Dia selalu merasakan hal yang sama ketika melihat tekad itu dalam mata Sasuke.


"Tapi Sasuke—!"


"Ssshhh..."


Sasuke tersenyum menatap gadis merah muda itu bergerak dalam tidurnya. Pria itu menanggalkan mantelnya dan memakaikannya pada gadis itu. Kemudian tubuh gadis itu sudah berada dalam kedua lengan Sasuke.


Gaara menatap kepergian temannya itu dengan seksama. Berharap, gadis itu akan baik-baik saja.


Mungkin dia berharap siapapun dalam lingkaran gadis itu akan baik-baik saja.


"Sasuke..."


.


.


.


.


Matahari bersinar terik, menyapu wajah yang tengah terlelap dengan damai. Sasuke meletakan tangannya di atas dahi gadis itu ketika ekspresi wajahnya menunjukan terganggu dengan sorotnya. Tidak ingin membangunkan gadis itu, Sasuke menutup sebagian tirai, hanya cahaya temaram yang kini menyinari sudut kamar.


Pemandangan familiar untuknya, tapi mungkin tidak ketika gadis itu terbangun nanti. Danau besar di belakang mansion Uchiha terlihat segar. Memberikan angin sejuk yang menyelinap masuk melalui ventilasi berukurang sedang.


Kembali ke mansion Uchiha adalah salah satu bukti bahwa dia harus kembali pada kenyataan hidupnya. Uchiha Sasuke memang seorang dokter, akan tetapi bukan untuk satu sekolah kecil di sudut kota. Ayah dan Kakak laki-laki nya sudah berulang kali membujuk putra bungsu Uchiha itu kembali, sayangnya Sasuke masih terlalu nyaman dengan dunia sementaranya.


Kedatangannya disambut Ibunya dengan suka cita, akan tetapi satu persatu wajah keluarganya itu mulai mempertanyakan siapa gadis yang berada di pelukannya malam itu. Ayahnya tidak bertanya apapun, Ibunya langsung menyuruh pengurus rumah mempersiapkan segala sesuatu yang memang sudah tersedia kapanpun putra bungsu itu kembali lagi ke rumah utama.


Suara pintu yang terbuka tidak membuat Sasuke berhenti untuk menatap pemandangan didepan kamarnya, dia sudah tau dari langkah kaki dan gerakan kecil itu. Meski dengan mata tertutup dia akan tahu kalau itu adalah suara langkah kaki Ibunya.


Ketika Ibunya menduduki kasur, Sasuke mulai berbalik.


"Cantik sekali," tangan halus Ibunya menyapu pipi Sakura, "Apa dia yang membuatmu tidak mau pulang, Sasuke?"


"Kaa-san sudah tahu jawabannya," ujar Sasuke. Dia bersandar di dekat jendela mengamati pergerakan tangan Ibunya di atas pipi Sakura.


"Berapa tahun?" Mikoto bertanya sambil masih terus menatap Sakura.


"17 tahun."


Mikoto berhenti mengelus pipi Sakura dan mulai mengelus pelipisnya sendiri, kepalanya sedikit berdenyut mendengar jawaban Sasuke. "Apa dia tidak terlalu muda untukmu?"


Sasuke mengendikkan bahunya pelan, "Sudah lewat satu tahun dari usia legal menikah."


Kali ini dahi Mikoto mengerut, "Kau berencana menikahinya? Kapan? Jangan bilang secepatnya."


"Secepatnya."


Mikoto mulai berfikir darimana sifat anak bungsunya ini datang, berkenala dalam ingatannya sendiri dia mulai memahami darimana sifat Sasuke itu muncul. Ternyata dari Ayahnya sendiri.


Wanita itu menatap putra bungsunya dengan mata menyipit, "Dia mau menikah denganmu?"


Sasuke tahu nada jahil Ibunya itu memang bukan bermaksud untuk serius, tapi sayangnya pemuda itu terlalu percaya diri. "Kaa-san juga tidak bisa menolakku."


Mikoto mendesah begitu mendengar ucapan Sasuke. Sebenarnya, tidak pernah ada yang mampu menolak permintaan putra bungsu Uchiha itu. Meskipun sudah berumur 25 tahun tapi Sasuke tetaplah anak bungsu. Karena mereka menyerah untuk mendapatkan anak lagi, alhasil Sasuke selalu menjadi mainan suami dan putra sulungnya. "Tapi karena Aku Ibumu, Sasuke."


Sasuke tersenyum menatap Ibunya, "Karena dia mirip Kaa-san jadi Aku yakin dia tidak akan menolakku."


Sudahlah, ujar Mikoto dalam hati. Dia mulai beranjak untuk memberikan waktu gadis itu beristirahat kembali. Wanita itu berjalan mendekati Sasuke dan menyentil dahi putra nakalnya itu. "Ibu selalu percaya padamu, Sasuke."


Sesaat setelah Mikoto kembali, Sasuke kembali berada dalam suasana hening. Hanya ada dirinya dan si gadis merah muda.


Suasana tetap sama seperti itu hingga matahari mulai terbenam, Sasuke mulai merasa haus. Dia perlu menemui Ayahnya, dan mungkin Kakak laki-lakinya untuk memberikan mereka penjelasan. Mungkin sedikit ocehan tidak berguna Itachi akan menjadi makan malam nya.


Sasuke menutup jendela, dan membiarkan tirainya terbuka. Berharap purnama malam ini akan datang dan bersinar terang.


.


.


.


Sasuke sudah menduganya, dia tidak akan lepas begitu saja dari ocehan Itachi. Ayahnya tidak bertanya lebih banyak karena Ibunya sudah menjelaskan semuanya. Benar saja, Itachi langsung memintanya untuk kembali ke rumah sakit untuk menangani kasus. Sudah terlalu lama dia tidak kembali, tulang-tulang tua Itachi sudah mulai protes bukan karena umur tapi karena terlalu banyak mengoceh.


Sasuke memutuskan untuk kembali ke kamar Sakura sebelum dia menutup hari untuk beristirahat. Bagaimanapun dia sudah mengalami beberapa hal membuatnya tidak beristirahat dengan benar.


Begitu membuka pintu kamar, udara dingin menghembus permukaan kulit Sasuke. Pemandangan kasur yang tidak berpenghuni mulai membuat berbagai spekulasi. Otaknya bekerja lebih keras, akan tetapi ketika matanya menangkap siluet putih di balkon kamar perasaannya kembali menjadi tenang.


Purnama muncul, sinarnya memantul di permukaan danau dari kamar yang Sakura tempati.


Sasuke mengamati gadis yang kini tengah berdiri di balkon. Rambut panjangnya sedikit bergerak karena tiupan angin. Gaun tidurnya yang hanya sepanjang lutut, membuat Sasuke bisa melihat kalau gadis itu bertelanjang kaki.


Gadis itu mulai merasakan kehadirannya begitu Sasuke berjalan mendekat dan bediri menyender di pintu balkon. Gadis itu memutar tubuhnya dan terdiam selama beberapa saat.


"Aku selalu berharap, suatu hari, akan ada seseorang yang menyelamatkanku." ujar Sakura pelan, gadis itu menyatukan jari-jarinya.


"Apakah itu anda, Uchiha-sensei?" gadis itu tersenyum pedih,


"panggil Aku Sasuke, dan... mungkin Aku bukan gurumu lagi." Ujar Sasuke. Dia berjalan kembali ke dalam kamar kemudian kembali dengan mantel yang dia tinggalkan di atas kursi.


Sasuke memakaikannya untuk Sakura.


"Sasuke... sensei."


Sasuke tertawa kecil, "Secara teknis memang Aku masih 'sensei' untukmu."


Suara tawa Sasuke membuat senyum perlahan menghiasi bibir Sakura, "Oh," sebuah tawa kecil muncul. Hening kembali menyelimuti suasana mereka berdua,


Air mata mulai menggenang di pelupuk mata Sakura, "apa Aku boleh memelukmu, sensei?"


Tanpa berujar apapun, segera Sasuke menarik gadis itu dalam pelukannya. Jantungnya memang berdetak terlalu cepat, tapi yang Sasuke berikan pada Sakura bukan sebuah pelukan romantis.


Gadis ini butuh seseorang untuk memeluknya.


Dia ingin seseorang menolongnya.


Apakah dia terlalu kejam, memikirkan perasaannya di atas kesedihan gadis itu?


Tapi Sasuke menyelamatkannya,


"Aku tidak mau kembali lagi kesana, Sensei."


Sasuke merasakan halus lembut surai merah muda Sakura di tangannya, "Kalau begitu tidak perlu kembali."


Lengan yang melingkari Sasuke semakin mengerat, pria itu merasakan hembusan nafas di lehernya. Seseorang tengah menarik nafas dalam, "Aku suka Sensei."


Meskipun Sasuke yakin rasa suka yang diucapkan gadis berbeda dari apa yang ia rasakan, tapi dia yakin, suatu hari rasa 'suka' itu akan sama dengannya.


Bahkan, untuk Sasuke sendiri, dia tidak pernah mengerti kenapa dia mencintai Sakura tanpa syarat.


.


.


.


About one girl point of view...


Aku tidak pernah merasakan ini sebelumnya, tapi, yang Aku rasakan terhadap guruku sendiri adalah perasaan yang tidak pernah Aku alami sebelumnya.


Aku tidak pernah berani untuk menatap matanya meskipun dia sedang mengobati lukaku dan kita berada dalam jarak yang bahkan tidak bisa diukur oleh alat ukur manapun.


Perasaan ajaib itu muncul. Ketika kakiku terus berdenyut sakit, sesuatu membuat jantungku berdetak terlalu cepat. Apa ini? Bahkan Aku melewatkan pelajaran olahraga dari Naruto-sensei, Aku tidak pernah berlari sebelumnya.


Waktu itu, meskipun mataku tertutup, samar-samar Aku mendengar suaranya.


"Kau tahu Aku tidak pernah gagal, Gaara."


Tapi sesuatu membuatku ingin terus tidur, dan tidak ingin membuka mata selamanya. Aku tidak mau sendiri lagi, tidak ingin bertemu dengan orang-orang itu lagi. Hati dan badanku tidak pernah bisa menanggung semua ini sendiri.


Sesuatu menarikku kembali, mataku masih menolak untuk terbuka. Tapi semua panca indraku mulai merasakan satu persatu. Sesuatu yang sejuk, halus dan besar menyentuh pipi kananku.


"Aku mencintaimu."


Kalimat itu membuatku ingin membuka mata, tapi kelopak ini masih terlalu berat untuk menatap sesuatu yang menarikku untuk bangun.


Aku berhasil mendapatkan kesadaranku, dan penglihatanku ketika dia berjalan memunggungiku kemudian keluar dari ruangan yang menjadi tempat dimana Aku berada sekarang ini.


Ketika pintu tertutup, Aku mulai bangkit untuk duduk di atas kasur. Berusaha memahami dan meyakini bahwa semua ini nyata untukku.


Punggung itu, rambut raven itu. Aku tidak pernah melupakan siapa pemilik postur tubuh itu.


"Sasuke-sensei..."


Kalau semua ini mimpi, tolong jangan bangunkan Aku.






FIN




Semoga ini bisa meredakan kerinduan kalian dengan SasuSaku. Dengan segala keterlambatan, tapi Aku bersyukur ketika ada orang yang mau membaca, menghargai semua karyaku.


masih berjuang untuk sering update. Semangat!

  • Chapter list
  • Setting
    Background color
    Font
    Font size
    Frame width
    Spacing
  • Info
  • Comment
Comment