Perempuan Peminum Kopi (Cerpen TAMAT)




PEREMPUAN PEMINUM KOPI


Terik begini teras rumah selalu tidak baik untuk disinggahi, bahkan hanya untuk meminum segelas kopi. Aku sendiri bukan anak perempuan yang rajin menanami bunga, pohon-pohon hias atau apotek hidup. Itulah sebabnya pelataran rumah jika lama tidak disemprot air, bisa menyebabkan Pneumoconiosis begitu kata orang Yunani, beda lagi jika seorang perempuan tua yang mengatakan, katanya penyakit bengek karena debu. Namun, di pelataran gersang ini, seorang perempuan tua biasa menghabiskan waktunya untuk menyeruput kopi.


Segelas kopi telah kusugguhkan di meja jati yang konon sudah ada sejak pribumi masih terheran-heran melihat mesin beroda dua ditumpaki seperti kuda. Entah hanya sebuah mitos atau benar adanya, keraguanku muncul akan kebenaran asal usul meja tersebut, karena meja itu sedikit pun belum terkena rayap atau bribik. Namun memang, dari pertama aku mengenal kayu berkaki itu bernama meja, benda ini sudah ada di rumahku. Tak lama, perempuan tua yang kusuguhi segelas kopi yang kulandasi lapik bermotif bunga tadi, segera meminum kopi buatanku. Sesekali gelas itu diletakkan dan tangannya mulai sibuk meracik tembakau. Ia bukan hanya seorang peminum kopi, tapi juga wanita pengisap rokok lintingan. Hal semacam itu sangat wajar dilakukan oleh seorang perempuan tua miskin yang mudanya dihabiskan untuk berjualan kacang godok saat ada pergelaran wayang, ketoprak atau seni pertunjukan lain yang kini mulai jarang ditemui di desaku.


Namanya Sari, sungguh bagiku adalah sebuah nama yang terlalu kekinian untuk seorang nenek. Tangannya mulai kisut, pandangannya selalu sedih namun tulus, seorang penyayang yang tangguh, guru ketegaran, dan pemotivasi yang handal. Kata beberapa tetangga, dulu ia seorang gadis yang jelita. Iya, Dulu...


***


Dulu.... Berkuasalah lelaki renta dirumah ini, ia seorang pemain dadu kluthuk, lingkungan yang membuatnya terkena pekat (penyakit masyarakat), segala yang dikatakan adalah kewajiban, jika ada bantahan maka pemaksaan pun terjadi. Anaknya seorang gadis jelita dan dipaksa untuk menikah, bukan dengan seorang bandot tua tapi gadisnya ia nikahkan dengan kawan sepermainan dalam berjudi. Kawan bapaknya itu masih muda dan tampan. Ia tertarik dengan Sari yang saban malam berjualan kacang godok dengan temannya bernama Silas. Anak tukang judi mendapatkan suami penjudi, pas sekali.


Saat itu, gadis yang baru berusia belasan tahun memang sudah pantas dinikahkan, entah pengetahuan mereka yang kurang tentang sistem reproduksi atau adat yang akan menghujat para wanita jika ia terlambat menikah. Dulu dengan sekarang memang sedikit terjadi pergeseran, jika dulu menikah usia produktif dinilai sebagai perawan tua, zaman sekarang menikah usia belasan banyak kasus karena hamil duluan, pun akhirnya dihujat juga.


Bapak tua itu tak lama meninggal karena sebuah penyakit, ia sendiri sebenarnya mempunyai dua orang istri, namun istri pertamanya sudah enggan mengurusi dan di akhir hidupnya ia hanya ditemani istri kedua dan anak wanitanya yang ia nikahkan tadi. Kisah wanita miskin ini terus berlajut, entah kenapa sepeninggal bapaknya ia justru merasa lebih tenang. Rasa tenangnya ternyata hanya berangsur beberapa minggu, mendadak ibunya lebih suka bicara sendiri, terkadang mengamuk, ia mengalami sakit jiwa karena tak kuat selalu mendengar gunjingan tetangga tentang almarhum suaminya yang meninggal karena penyakit kelamin. Wanita itu kini harus lebih ektra mengurus seorang ibu yang hilang kesadaran dan tak boleh juga mengabaikan tanggung jawabnya sebagai istri.


Sebuah rasa bahagia akhirnya muncul, ia mengandung anak pertama, dan lahirlah bayi perempuan yang tangisnya adalah penyemangat untuk terus hidup. Suaminya sendiri hanya menitip benih, proses kahamilan sampai lahir ia tak mengurusi. Namun, sang istri tak ambil pusing, ia sendiri lebih bahagia dengan bayi yang ia susui.


Pernah mendengar istilah "BISA KARENA TERBIASA" .. Ia telah terbiasa menderita, menderita baginya bukan lagi sebuah penderitaan tapi kebiasaan, ia telah mulai terbiasa dengan yang terjadi. Ia juga tak pernah merindukan kebahagiaan, karena jika hal itu terjadi ia bisa jadi merasa canggung. "Canggung Berbahagia?" bukankah jika ditelisik istilah ini lebih mengartikan sebuah penderitaan yang sesungguhnya.


Anaknya menginjak usia 1 tahun, suaminya makin menjadi, dari ia jarang pulang, sekarang ia tak pernah pulang. Setengah tahun lalu sang suami hanya pulang memberi kabar bahwa ia punya istri lagi. Apa karma itu nyata? Sebuah hukum sebab-akibat yang menimpanya, tersebab ayahnya dulu seorang penjudi, ia menikah dengan seorang penjudi, tersebab ayahnya menikah beberapa kali, kini suaminya berlaku demikian? Dia tidak pernah bertanya dan membandingkan hidupnya dengan orang lain, sebab ia tidak punya waktu untuk memikirkan itu. Dia adalah guru ketegaran sejati. Darinya aku tidak percaya bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki. Wanita ini memiliki tulang samson, ini reaita yang terjadi. Saban hari di musim tandur ia pergi ke sawah. Hal ini masih wajar, bukan hanya dulu, di desaku sekarang masih banyak perempuan-perempuan yang nyemplung ke sawah untuk tandur. Jika musim panen tiba, ia mbawon (memetik padi). Dia bukan seorang petani yang punya banyak sawah, ia hanya buruh tani yang numpang berjualan tenaga di lahan orang.


Zaman sekarang anak orang kaya kesepian karena orang tuanya sibuk meraup uang yang alibinya untuk membahagiakan anak, tak peduli sudah seberapa banyak hartanya. Namun, anak wanita ini kurang kasih sayang karena ibunya kudu bekerja agar mereka tetap bisa makan. Jika musin kawin, Sari dan anaknya bisa makan enak, pasalnya ia menjadi juru masak. Sari orang yang gigih, kawan-kawannya sangat senang bekerja dengannya. Sebab ia berangkat paling cepat dan pulang paling lambat, di akhir kerjanya ia harus mencuci bertumpuk-tumpuk piring, wajan besar, dandang, dan perlengkapan masak lain. Tidak ketinggalan kegiatan yang menjadi penghibur para pahlawan kawinan ini adalah ngopi, guyon, dan ngrokok lintingan.


Lama tak ada kabar, suami Sari akhirnya pulang juga. Katanya rindu dengan anaknya. Rupanya kata rindu itu hanya alasan, ia hanya bingung kemana dia pulang. Istri-istinya yang lain tidak ada yang sebecus Sari dalam mengurus dan meladeni dirinya. Terlebih ia tahu, dia sedang sakit gula. Kakinya busuk dan harus diamputasi. Aku tidak berani mengatakan Sari bodoh, sebab tenaga dan hatinya terlalu kuat. Ia memutuskan untuk mengabdi dan bebannya kian bertambah. Kini perannya makin banyak, mencari makan guna menghidupi anak, ditambah suami yang juga punya rasa lapar dan setengah sekarat.


***


Tembakau yang tadi ia racik di atas papir dan dibubuhi serpihan kemenyan serta wuwur, kini mulai diisap dan dinikmati bersama dengan kopi hitam yang kubuat. Adalah aku yang selalu penasaran dengan kisah Nenek Sari yang pada dasarnya telah berbaik hati padaku, adalah aku seorang anak yang dirawat olehnya karena ayah ibuku tiada. Adalah aku yang selalu merepotkannya, serta adalah dia wanita yang tak pernah kujumpai bersama bahagia. Pagi ini aku diperdengaran kisah hidupnya yang penuh pilu. Tunggu... apa mungkin dia tetap bahagia dengan apa yang dialaminya. Bisa jadi aku yang terlalu menilainya demikian. Sedang ia amat menikmati hidupnya seperti ia menikmati rokok lintingan dan kopi hitam yang ia seruput.


Aku duduk di sampingnya, "Kapan kau akan menikah?" Nek Sari memulai percakapan dengan pertanyaan yang aneh. "Kenapa kau menanyakan itu, kau akan melarangku menikah?" jawabku, aku memang sudah terbiasa memakai bahasa (kau, aku) dengan Nenek Sari seperti tak ada rentang usia yang harus membatasi bahasa dengan penggunan yang lebih santun.


"Macam seperti apa lelakimu?" Matanya menyelidik padaku.


"Aku tak mengerti kenapa kau begitu tendensius denganku nek? Bagaimana pun aku tak mau menjadi seorang wanita kesepian". Tiba-tiba aku resah, aku takut dia melarangku menikah sebab dalam pernikahanya tak ada cerita suka yang kudengar.


Rokok yang ia isap tadi tiba-tiba dimatikan, sikapnya memang sedikit kaku, namun mata teduhnya tak bisa mengartikan perihal kekakuannya. Namun bagaimana pun ia adalah ibu kedua yang dengan sukarela membesarkanku.


"Menikahlah" katanya. Setelah mengucapkan kata itu, kopi hitam yang kubuat ia seruput dan kini tandas. Katanya lagi dengan menasihati, "Menikahlah dengan seorang lelaki yang bukan hanya menerima kekuranganku sebagai nenekmu dan kekuranganmu karena menjadi cucuku, bukan hanya laki-laki yang tidak menilai latar belakang keluargamu dan kemiskinamu, tapi menikahlah dengan laki-laki yang dari tangannya bisa menjadikanmu sebagai sewajarnya perempuan. Aku tidak akan bangga kau menjadi wanita mandiri yang mampu hidup tanpa bantuan laki-laki. Namun aku akan sangat bahagia melihatmu berkarya berdampingan, menghirup aroma susah dan bungah bersama. Carilah lelaki yang demkian".


Kata-kata itu sontak membuatku merinding. Pagi itu kebanggaanku menjadi cucunya naik di level tertinggi. Aku tidak akan lagi malu terlahir miskin sedang aku memiliki perempuan seluar biasa itu. Nenek Sari sendiri menjalani hidupnya dengan tenang, memaafkan masa lalu memang tak bisa membuat masalalu itu menjadi indah, tapi setidaknya masa depan akan diusahakan menjadi lebih baik. Hidup dalam pikiran-pikiran negatif memang akan berdampak pada sipemikir tersebut. Maknailah setiap kisah, dengan berfikir dan hati. Bahwa masa lalu adalah sebuah pembelajaran, pun orang lain tak berhak menilai, apa lagi menganggap sesorang dengan latar belakang yang buruk akan kembali menjadi buruk. Nenek Sari menaruh percaya padaku, bahwa pada masanya nanti akan ada seorang laki-laki yang tidak berfikir kolot dan menganggap perempuan yang lahir dari keluarga yang tak utuh, akan mendapatkan ganjaran yang sama.


@mida_gift

Comment