Prolog

Sore itu aku pergi menuju perkemahan yang sedang banyak didatangi oleh kalangan anak muda. Aku tidak sendirian tentu saja saja sebab ada sahabatku—Yara—menemani. Kegiatan ini sebenarnya bukanlah hal yang kami sukai. Namun, banyaknya tugas yang menumpuk membuat kami akhirnya mencoba hal baru.

"Ternyata berkemah bukan hal yang buruk," ucap Yara seraya meminum coklat panas yang diseduhnya.

Aku mengangguk setuju. Menyenangkan rasanya melihat pemandangan city light di malam hari seperti ini. Belum lagi dengan suara obrolan dan gelak tawa dari tenda-tenda sekitar yang membuat bibirku tertarik ke atas.

"Hanya satu yang ku sesali saat ini. Kenapa aku tidak memakai jaket yang tebal. Ini menyiksa!" kesalku merasakan dingin yang menusuk.

Yara menertawakan penderitaanku. Padahal dia sudah mengingatkan untuk memakai jaket tebal tapi aku tidak mendengar dengan alasan saat ini sedang musim kemarau dan cuaca sedang panas-panasnya.

"Nikmati saja. Kamu mungkin lupa, cuaca panas itu hanya berlaku di kota." Aku memberengut kesal mendengar ejekan Yara.

"Ngomong-ngomong, sampai kapan kamu mau terus baca cerita itu?" tanya Yara menunjuk buku novel yang berada di tanganku dengan dagunya.

"Sampai kamu bosan dan membuat sequel cerita ini," kataku yang yang dibalas helaan nafas Yara.

Jujur saja, dari semua cerita Yara yang sudah dibukukan, cerita ini adalah yang terbaik meunurutku. Novel yang berjudul Fairytale ini adalah canduku. Berbeda dengan judulnya yang terlihat penuh akan kebahagiaan, cerita didalamnya justru menggambarkan sebaliknya.

Aku menutup novel tersebut dan melayangkan pertanyaan yang sejak dulu selalu ingin aku lontarkan pada Yara. "Aku kepo deh, Ra. Kenapa kamu buat Sharla punya gangguan mental?"

Yara menerawang jauh ke depan sebelum menjawab. "Entahlah. Ide itu tiba-tiba saja terlintas."

Aku tidak puas mendengarnya. Seorang penulis pasti sudah memikirkan secara matang tentang sebab akibat yang akan ditulisnya.

Sharla merupakan sosok antagonis dalam novel Fairytale. Sosok yang selalu membuatku bertanya-tanya kenapa dia diceritakan sebagai gadis bodoh berakal pendek yang menggantungkan masa dengannya pada laki-laki yang belum tentu akan jadi miliknya.

"Aku senang kamu menyukai ceritaku, La. Tapi di satu sisi aku berharap cerita ini tidak banyak dibaca," kata Yara dengan nada lirih.

Aku menyerngit heran, "kenapa memang kalau banyak yang baca?"

Yara menyuruhku mendekat dengan tangannya dan ia mencondongkan badannya seperti ingin membisikan sesuatu.

Aku menunggu dengan harap-harap cemas karena dia terlihat serius sekali. Namun bodohnya, aku yang terbawa suasana tidak melihat sudut bibirnya yang tertarik membentuk seringai tengil.

"Aku...capek harus menandatangi novel terus-menerus," bisiknya lalu tertawa lepas melihat wajahku yang menatapnya kesal setengah mati.

Sialan sekali!

Akibat banyak tugas aku sampai lupa kalau makhluk bernama Yara itu tergolong dalam sekte PPM alias Polos-Polos Membagongkan.

Buku yang berada dalam pangkuanku akhirnya menyentuh kepalanya dengan telak. Rasakan itu! Enak saja dia berani mengelabuiku.

Setelah itu, kami menghabiskan waktu mengobrol sampai tengah malam. Dan beranjak ke dalam tenda setelahnya sebab rasa kantuk mulai menyerang.

Padahal hari itu berjalan lancar dan biasa saja. Tapi, kenapa? Kenapa saat bangun tenda yang aku tempati berubah menjadi kasur dengan banyak boneka yang mengelilingi tubuhku!

Apa saat ini aku masih berada di alam mimpi?

Atau saat tidur aku diculik oleh sekte sesat pengabdi boneka?

Holaaa...

Yahh, setelah sekian lama akhirnya aku coba buat nulis cerita lagi. Dengan membawa genre little fantasi dengan tema transmigrasi ini. Semogaa kaliann sukaa ya, guys. Yah, walaupun emang cerita gini udah klasik dan mainstream, tapi gapapa. Karena tujuan aku nulis cerita ini sendiri buat bikin cerita versi aku.

Kembali, enjoy your time and hope you like it. See you in next partt....

  • Chapter list
  • Setting
    Background color
    Font
    Font size
    Frame width
    Spacing
  • Info
  • Comment
Comment