Bagian 4

Malam itu, adalah malam yang indah.. malam yang mereka nantikan selama ini. Di malam itu mereka serasa masih pengantin baru. kata-kata indah terlontar dari bibir mereka berdua. di dalam sebuah kamar mereka bercanda, tertawa lepas, mereka sangat bahagia. Elin terlihat sangat cantik dengan baju tidur putihnya dan edward pun begitu, dia terlihat sangat ganteng.


Waktu semakin larut, mereka semakin semangat dan ceria. Edward ingin mengulangi masa malam pertama dulu.


"Sayang, rasanya aku ingin mengulangi saat-saat malam resepsi pertama dulu".



"Kamu masih capek War, jangan terlalu dipaksakan. Ingat pesan dokter. Kata dokter 'jantung kamu belum pulih benar, masih butuh banyak istrirahat', lagi pulakan waktu kita masih panjang. Kita masih bisa melakukannya hari esok".



"Aku sudah gak sabar yang, aku sangat merindukanmu".



"Kamu yakin akan kesehatanmu! hanya kamu yang bisa menilai bagaimana kesehatanmu saat ini".




Elin tak bisa mengelak atas keinginan Edward yang membara. Mereka melakukan hubungan dengan semangatnya. Namun hal yang ditakutkan Elin terjadi. Usai itu Edward terlihat sesak sambil memegang dadanya. Elin panik dan memanggil saudara-saudaranya yang masih ramai dan menginap dirumahnya untuk sesegera mungkin membawa Edward ke rumah sakit.


sesampainya dirumah sakit nyawa Edward tak bisa tertolong, dia meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit. Elin menangis sejadi-jadinya. Dia sedih, kecewa, cemas, semua perasaanya campur aduk. Elin tak bisa membayangkan jika harus kehilangan Edward untuk selamanya.


Dua bulan setelah pemakaman Edward, dia kembali ke kampung halamannya bersama kedua anaknya. Elin meneruskan kebun bunganya disana.


Mengetahui Elin kembali ke kampung, Budipun kembali mendekatinya. Sesekali Budi mampir ke kebun Elin. namun tak sesering waktu dulu, takut mengganggu Elin dan agar Elin tidak marah ke Budi.




Setengah tahun berlalu, Pipit datang mengunjungi Elin.




"Hai Lin, apa kabar? maaf mengganggu kegiatan kamu!"




"Eh, kamu Pit, kabar saya baik. kamu pa kabar? wah kok kamu bisa ada disini?"



"kabar aku seperti yang kamu lihat sekarang. Aku tau saat hari Edward meninggal, maaf aku gak datang saat pemakaman Edward. Aku menghindari kesalah pahaman dan keributan yang mungkin akan terjadi. Aku sedih sekali Lin, aku menyesali apa yang telah aku lakukan terhadapnya dan ke kamu juga. Aku gak habis pikir kenapa saat itu aku bisa berbuat seperti itu, aku menghancurkan impian indah kamu. Lin aku minta maaf yang sebesar-besarnya kepada kamu. Aku sangat benci kepada diriku sendiri saat mengingat masa-masa itu. Aku tidak pernah peduli kepada Edward yang baik, saat itu aku hanya terpikir memiliki Edward seutuhnya. Tapi ternyata itu tidak bisa 'Cinta tidak bisa dipaksakan, cinta lahir dari hati yang bersih, kasih yang tulus'. Aku memang bodoh Lin, aku salah, sekali lagi maafkan aku Lin."




"Elin memberikan tisu kepada Pipit yang sedang menangis, sambil berkata 'sudahlah ini sudah menjadi takdirku, inilah jalan hidupku, yang memang harus ku jalani walau pahit'. Baiknya kamu meminta maaf kepada Allah. Karena aku sudah memaafkanmu sejak lama. Aku gak punya dendam kok ke kamu. Aku menganggapmu sebagai teman, teman yang seharusnya diperlakukan layaknya teman sejati".






"Kamu sangat baik Lin, hatimu entah terbuat dari apa. Pantas Edward sangat-sangat mencintaimu. Terima kasih ya Lin sudah menerima aku sebagai teman kamu. walau sesungguhnya aku sadar 'aku sangat jahat kepadamu, semoga aku bisa membalas kebaikan-kebaikan kamu Lin, untuk menebus dosa-dosaku selama ini".




"Ah, sudahlah gak usah diingat-ingat lagi. Kamu mau bantu aku berkebun bunga?"




"Mau-mau Lin, dengan senang hati aku akan membantu kamu"




Elin pun mengajari Pipit bagaimana berkebun bunga, memupuk, memetik bahkan membersihkannya.




Seminggu kemudian Budi berkunjung lagi ke kebun Elin.




"Lin, ada asisten kebun yang baru ni.."




"Eh, iya Bud. kenalin Pipit dari Jakarta"


"Aku tinggal yah, kalian silahkan ngobrol-ngobrol dulu."




Pipit dan Budi terlibat obrolan yang serius, sejak saat itu mereka berdua semakin akrab. sudah dua bulan lebih Pipit berada di kampung Elin, dia semakin dekat dengan Budi. Hal ini yang menjadi kekhawatiran Pipit. Pipit takut akan mengambil Budi dari Elin.


Pipit segera ambil keputusan untuk kembali ke Jakarta, dia membeli tiket pesawat keesokan harinya. Dihari itu Elin tidak melihat keberadaan Pipit dikebunnya, ia mencari tahu ke keluarganya di mana Pipit berada.


Setelah Elin tahu bahwa Pipit pergi ke Jakarta, segera dia hubungi Budi untuk mengejarnya ke bandara. Untung waktunya tepat, pesawatnya delay 5 jam. Elin segera menghampiri Pipit dan Budi yang sudah sampai lebih dahulu, menemuinya.




"Pit, kenapa kamu mau pergi ke Jakarta? bukannya kata kamu, kamu bahagia dan nyaman disini?"




"Ya, Lin.. aku sangat suka disini, tapi aku harus pergi. aku gak mau merusak hubunganmu dengan Budi. Aku gak mau terulang lagi seperti aku mengambil Edward dulu.."




"Ya Allah Pit, jadi karena itu.. Budi hanyalah teman sekolahku dan sekarang aku hanya menganggapnya teman biasa, gak ada yang spesial dari dia."




"Masa sih, hanya teman biasa.. bukannya kamu dekat banget dengan Budi dan yang saya dengar Budi sangat mencintaimu."




Elin menarik, tangan budi dan Pipit.. dia mempersatukan tangan mereka berdua dan berkata "Aku bahagia bila kalian bersatu, selain Edward tak akan ada lagi, pria yang mengisi ruang dihatiku. Edward adalah Pria terakhir dalam hatiku. Biarkan aku menjaga anak-anaknya dan calon bayi yang ada di dalam perutku."




Pipit menangis terharu akan kebaikan Elin, Sambil berkata "Terima kasih ya Lin, kamu sangat baik, aku sangat menyesali perbuatanku dahulu, aku gak sangka kamu berhati bidadari."




"Jangan berlebihan memandangku Pit, aku hanya menjalankan dan melakukan apa yang seharusnya aku lakukan, tidak lebih kok dan aku berharap kalian menjadi pasangan yang setia dan serasi."




"Makasih ya Lin dan Selamat ya.. hebat juga Edward, hanya sekali jos Jadi" diakhiri dengan tertawa.




"Bisa aja kamu pit" sambil membalas tawa, lalu meneruskan kata-katanya "Iya nih, aku harus bisa membesarkan ke tiga anakku sendirian serta mendidiknya sampai perguruan tinggi".








Akhirnya Pipit dan Budi menikah di rumah Pipit, di Jakarta dan seminggu kemudian kembali lagi karena Budi bekerja di Sumbawa sedangkan Pipit masih terus membantu Elin dikebunnya.

Comment