O |

Erik's POV






(Flasback flies – 3 days ago)


Jakarta, Desember 2019.


"Popular! I know about popular~ It's not about who you are your fancy car~"


Kami sedang menyanyikan lagu MiKa dan Ariana Grande di dalam mobilku menuju rumah kekasihku yang kini sedang meliukkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri dari kursi penumpang di sampingku. Aku sesekali mencubit gemas pipi Amika yang sedikit berisi karena gemas dengannya dan seperti biasa juga wanita itu tidak mengaduh kesakitan karena sudah terlalu lama aku sering melakukan hal ini kepadanya.


Kami baru saja pulang dari studio dance di mana Amika mengambil kelas di sana sepulang kerja tadi. Kekasihku ini memang seorang penari yang hebat, aku dengar darinya dan para sahabatnya, dia sudah bergelut dalam hal tari-menari sejak di bangku SMP dan selalu menjadi ketua club. Hari Rabu dan Sabtu malam adalah jadwal kelas dance yang Amika ambil, terkadang jika jadwalku cocok seperti hari ini maka aku akan menjemputnya berhubung kantorku di Kebayoran tidak begitu jauh dari studio-nya.


"Kamu nggak ada niatan bawa MiKa ke sini apa, Beb?" tanya Amika setelah meraih tangan kiriku yang tadi sempat bertengger di pipi kanannya, untuk digenggam.


Kekasihku ini memang menyukai musisi yang memiliki nama serupa namanya. Beberapa tahun lalu kami sempat menonton konser Michael Holbrook di salah satu Hall Mall di Jakarta, tapi itu bukan tim EO acara dariku yang membawanya ke sini, namun aku tetap tidak ketinggalan info untuk bisa aku bagi dengan sang fangirl yang adalah kekasihku.


"Dia kan belum ada album baru Beb satu sampai dua tahun kebelakang, malah lebih," ujarku mencoba memberinya pemahaman bahwa aku tidak bisa sekonyong-konyong membawa MiKa ke Jakarta, dia harus memiliki setidaknya beberapa hal baru yang bisa menarik banyak penonton, contohnya album baru atau lagu baru. Meskipun aku sangat yakin penggemarnya tidak sedikit di kota Jakarta ini, bahkan jika kita hitung seluruh Indonesia itu bisa sangat banyak.


"Terus rencana line-up yang di Bali, apa aja?" Amika selalu tertarik dengan dunia pekerjaanku, banyak sekali pertanyaan yang dia keluarkan ketika kami membicarakan hal-hal berbau festival atau musik. We are really on the same track about music. Terkadang aku ingin sekali mengajaknya untuk bekerja di duniaku ini yang aku yakini Amika akan jatuh cinta sedalam-dalamnya, karena Amika terlalu having fun untuk bisa bekerja di dalam ruangan kantor sebuah Bank Swasta besar di salah satu gedung di Jakarta Pusat itu, aku tidak pernah bisa membayangkan raut wajah menggemaskannya ini akan seserius apa ketika berkumpul dengan orang-orang berdasi dan berkemeja di sana.


"Masih mau banget bawa Niki sama Halsey, sih. But yeah.. we will see nanti gimana yang pasti kita cari yang lit, for set-up songs and for sure the musicians," tuturku. Tim-ku sebenarnya sudah ada rencana line-up yang akan dibawa di Bali nanti, kami bahkan membentuk tim kreatif sendiri untuk mencari musisi yang menguasai tangga lagu Billboard dan lagu-lagu mereka yang sering diputar di Radio. Untuk tanggal bahkan kami sudah sempat memilih dan membicarakan kemungkinan-kemungkinannya, untuk venue kami juga sudah mendapat tempat yang lebih fresh dari tahun-tahun sebelumnya. Festival ini memang banyak menyita waktu bahkan sudah dimulai sejak awal tahun ini, dan tentang rencanaku dan tim untuk pergi ke Bali dalam waktu dekat adalah sebagai titik awal heavy work kami dimulai untuk fokus dengan event itu.


"Bakal sibuk banget di Bali dong ya kamu?" tiba-tiba saja kekasihku ini mengeluh. Aku sudah sering bolak-balik Bali karena event-event yang ku pegang memang bertempatan di Jakarta dan Bali secara kami punya dua kantor di Kebayoran dan di Nusa Dua, dan Amika jarang sekali mengeluh kecuali aku harus pergi untuk waktu yang lama. Tapi biasanya aku akan membayar semua itu dengan menghabiskan waktu bersama kekasihku setelah masalah pekerjaanku beres, lagi pula we will keep in touch even on hectic days.


Aku melepas genggaman tangannya dan mengacak rambut sebahu milik kekasihku. "Bali dekat, Beb. Kamu bisa nyusul, atau nanti aku balik ke Jakarta sehari dua hari kayak biasa," ucapku. "Aku lumayan lama sih nanti di Bali, sampai semua line-up-nya jelas dan bisa aku samperin satu-satu buat kurasi mereka."


"Kira-kira ke mana aja?" tanyanya tertarik, bahkan posisi duduknya sudah benar-benar menghadapku, tak mengindahkan sabuk pengaman yang melilit tubuhnya.


Aku terkekeh geli melihatnya. "Yang udah jelas sih ke Aussie," jawabku tenang.


Perubahan rautnya cepat sekali, pandangan tertariknya tadi sekarang sudah tidak terlihat. "Yaaah, kukira ke L.A. Niki kan di Amerika," gumamnya kecewa.


"Belum tahu kalau ke L.A. Apa kamu mau ikut aku ke Aussie lagi? Kali aja kamu bakal kangen banget sama aku," nada mengejek aku keluarkan karena ingin menjahilinya. Aku dan Amika sudah beberapa kali menyambangi Negara Kanguru itu, dan sekitar setahun lalu aku memang sempat menyambangi Amerika dan bertemu Niki juga beberapa musisi lainnya di sana untuk acara ini, namun sayangnya kekasihku ini tidak bisa ikut denganku karena terhalang pekerjaannya.


"Seru sih pergi sama tim kamu, enak deh kerjanya kayak sama teman main. Tapi nggak, deh. Nanti-nanti ajak lagi, nanti dikira aku ngintilin kamu terus lagi," tolakkan halusnya membuatku terkekeh geli. Teman setim-ku justru senang aku mengajak Amika beberapa kali ketika kami harus bekerja ke luar atau pergi ke festival-festival di luar negeri, Amika buka tipe wanita manja yang merepotkan walaupun terkadang sikap menggemaskannya tidak bisa berbohong, namun sejauh ini aku belum pernah mendengar keluhan teman-temanku mengenai kekasihku. "Eh, tapi kamu harus pulang ya nikahan Akina nanti," peringatan dininya datang ketika mobilku sudah sampai di depan pagar tinggi rumahnya.


"Siap, Boss! Tanggal 20, kan? Aku urus nanti tanggal itu udah di Jakarta deh," ucapku sambil menarik tuas persneling dan mematikan mesin mobil.


"Awesome! Turun yuk," Amika melepas sabuk pengamannya dan melompat turun dari mobilku.


"Petakilan banget sih kamu udah malam gini, nggak habis-habis energinya," Aku tertawa sambil meraih pergelangan tangan wanita itu dan menggenggamnya erat sambil berjalan memasuki pagar besar rumahnya.


Aku mengantar Amika sampai ke depan pintu rumahnya yang terlihat sepi, kami bergandengan tangan dan sesekali terkikik dengan beberapa candaan kecil kami. Berpelukan cukup lama dan berakhir aku memberikan kecupan di kepalanya sebelum wanita itu melangkah masuk dan menutup pintu untuk mengakhiri pertemuan kami hari ini.


Aku membalik badan sambil mengecek ponselku karena pesan dalam grup kantor yang mulai ramai, sepertinya aku memang harus kembali ke kantor, walaupun ini sudah menunjuk hampir pukul 10 malam.


Ketika aku sudah melangkah ke luar berniat menutup kembali pintu pagar, sebuah SUV BMW X5 berwarna hitam muncul di depan gerbang masih dengan lampu headlamp yang menyorot ke arah pagar. Aku bisa melihat Papa dari kekasihku itu yang menyetir tanpa supir mobil hitam yang sesekali pernah dipakai oleh Amika. Aku memberi kode untuk membukakan pintu gerbang agar mobilnya bisa memasuki carport di dalam, namun tangan beliau justru kembali memberi kode agar aku tidak perlu melakukannya. Jadilah aku hanya berdiri di depan pagar.


Lelaki tinggi yang memiliki usia hampir mencapai 60 tahun itu mematikan mesin mobilnya di depan pagar dan justru melangkah turun dari dalam mobil. Aku sedikit terkejut dengan wajah datar lelaki itu yang aku dapati sedang melangkah mendekat kepadaku.


"Rik," sapaannya tidak ada nada hangat sama sekali. Aku beberapa kali bertemu dengan Om Yohan ketika Amika mengundangku ke acara keluarganya. Om Yohan ini sebenarnya baik-baik saja denganku, beliau juga selalu memulai percakapan jika bertemu denganku walau hanya basa-basi atau sekedar ramah tamah, namun aku merasa ada beberapa hal yang beliau ragukan dariku sehingga ada sedikit jarak yang beliau letakkan kepadaku. "Baru antar Mika?" Tanyanya dengan suara berat yang sesekali berdeham menghilangkan riak di tenggorokannya.


"Iya, Om. Baru aja Amika masuk," ucapku mencoba santai, padahal aku selalu berdebar jika sudah harus berhadapan dengan lelaki di depanku ini. Enam tahun bersama anak perempuanya beliau tidak membuat aku bisa membaca setiap gerak-geriknya, ada beberapa waktu ketika beliau welcome kepadaku, dan ada beberapa waktu yang tidak.


"Kamu mau pulang?" Nah, kali ini sepertinya mode welcome-nya yang digunakan.


Aku menatap layar ponselku sebelum menjawab pertanyaan Om Yohan. "Saya mau ke kantor dulu, Om," jawabku setelah melihat pesan dari asistenku bahwa kami harus memulai map out budgeting untuk ke Bali.


Om Yohan mengangkat tangan kanannya dan melihat jam tangan yang melingkar di sana. "Jam segini ke kantor?" keningnya mengernyit dan nada pertanyaan jelas tak suka.


"Iya, Om. Saya ada meeting buat event baru di Bali, harus kejar set-up sebelum berangkat ke Bali nanti," jelasku sedikit dengan dentuman jantungku yang kian berdebar, jujur ini aku tegang sekali.


Om Yohan terlihat menghembuskan napasnya berat sesekali melirik rumah megahnya di depan, kedua tangannya sudah masuk ke dalam kantung celana bahan berwarna hitam yang melekat di kaki panjangnya. "Rik," panggilnya lagi, kali ini terdengar super serius.


"Kamu apa nggak bisa cari kerjaan lain?" pertanyaannya membuat saraf-saraf di wajahku kaku, bahkan untuk membuat kedipan sekali dengan kedua mataku menjadi sulit. "Jujur aja saya kurang suka sama apa yang kamu kerjain, kamu nggak bisa cari kerjaan yang kerjanya di kantor aja, ada jam kerja yang jelas, gitu?" Nada suara Om Yohan sama sekali tidak meremehkanku, nadanya persis seperti nada Papaku ketika memintaku menjadi seorang Pilot atau TNI seperti beliau dulu, tegas namun ada syarat perhatian di sana.


Aku menelan air liurku dengan susah payah. "Saya—" Aku bahkan tidak bisa menyelesaikan kalimatku karena isi kepalaku mendadak blank.


"Kamu tahu kan, Rik? Amika itu anak gadis saya satu-satunya, kedua Abangnya sudah punya tanggungan masing-masing dan sisa satu lagi permata saya, yang saya sayang-sayang dari kecil," penuturan Om Yohan tak bisa naku bantah. "Kedua Abangnya juga pernah seperti kamu, maksud saya, apa kamu yakin industri pekerjaan kamu itu akan bertahan lama? Kalau-kalau kamu sudah ada niatan serius dengan anak gadis saya, setidaknya kamu sudah ada plan, kan? Bagaimana dengan pekerjaan kamu kedepannya. Saya bisa bantu masukin kamu ke kantor saya, jadi kamu bisa punya pekerjaan yang lebih jelas ke depannya," kalimat Om Yohan justru sedikit melukai ego dan harga diriku.


Industri pekerjaanku memang ada waktu ups and downs-nya pada waktu-waktu tertentu, namun untuk sekarang aku masih ada pada titik sangat aman. Lagi pula, I'm not kind of that serious person yang betah bekerja dengan setelah kemeja atau batik yang seperti digunakan Om Yohan ini. Om Yohan bekerja di Kantor Kementerian Agraria di mana sang Ayah dari kekasihku ini memiliki jabatan cukup tinggi yaitu seorang Direktur, sedangkan kedua Abangnya bekerja di Lembaga Pemerintahan lainnya.


"Saya... Suka dengan pekerjaan yang saya kerjakan, Om," jawabku dengan jujur. "Memang industri tempat saya bekerja punya target pasar yang harus dipikirkan matang-matang agar tidak salah langkah, tapi saya yakin kami bisa bertahan, Om," nadaku terdengar yakin walaupun suaraku sedikit serak di awal. Sebenarnya aku paham maksudnya Om Yohan, karena Papaku sama dengannya saat mengetahui pekerjaanku dulu sebagai DJ Radio, aku lebih suka melakukan hal-hal yang seperti aku kerjakan sekarang, berkaitan dengan musik atau meng-handle suatu event festival. Lagipula uang yang aku hasilkan tidak sedikit, aku mampu tinggal di apartemen dan punya mobil sendiri.


Hembusan napas Om Yohan menyadarkanku bahwa beliau tidak menerima paparanku tadi. "Kalau gitu kasih kesempatan saya buat pilihkan lelaki untuk Amika," ucapnya tanpa berpikir dua kali. Rasanya aku seperti ditampar secara tidak langsung, kenapa seolah beliau meminta izin kepadaku alih-alih kepada putrinya di dalam sana?


"Maksud Om?" tanyaku sangsi, meyakinkan pendengaranku tak salah, meyakinkan beliau benar-benar ingin menamparku dengan ucapannya.


"Saya ada rencana mengenalkan Amika dengan anak teman saya yang memiliki dunia pekerjaan yang sama seperti saya, beri Amika kesempatan untuk mengenal dia, kita nggak ada yang tahu kan kalau-kalau pilihan Amika bisa berubah?" nada santai yang digunakan Om Yohan justru membuat kalimat itu menjadi semakin menyeramkan.


Aku bahkan tidak bisa memberikan jawaban apapun kepada Om Yohan sekarang, aku tahu jawaban Amika akan sebuah penolakan, entah dengan cara bagaimana wanita itu akan menolaknya namun aku tidak ingin Amika membuat kesalahan sampai menyakiti orang tuanya nanti. Aku juga pernah ada di posisi Amika, dulu, saat aku memutuskan kuliah di Jakarta. Meyakinkan kedua orang tuaku bahwa aku bisa berkarir sesuai apa yang aku sukai, tanpa melukai hati mereka berdua. Sesungguhnya orang tua itu basic-nya mendukung anak-anak mereka, apapun itu pilihan anak mereka pasti punya keinginan mendukung, namun mereka tetap manusia sama seperti kita, ada ego atau dorongan bahwa mereka harus membuat anak-anak mereka menjadi lebih baik dari mereka dengan cara mereka masing-masing.


"Makanya tadi saya tawarkan kesempatan juga sama kamu, Rik. Kamu yang paling lama sama Amika dari yang lainnya, jadi seharusnya kamu paham she deserves the best," kesempatan apa? Kesempatan untuk meninggalkan jati diriku? Kesempatan untuk menjadi orang lain yang tidak aku sukai? Itu bukan kesempatan untukku.


"Dengan saya tetap begini, Amika sudah menerima saya apa adanya, Om. Saya mampu bahagiakan Amika," balasku dengan percaya diri. Toh benar kenyataannya begitu, Amika selalu bahagia denganku sepanjang enam tahun ini, kami saling memberi kebahagiaan. Dia tidak pernah mengeluh mengenai pekerjaanku atau apapun hal kecil atau besar, begitupun sebaliknya.


"Tapi itu belum cukup untuk saya, Rik," Om Yohan berdecak dan mulai melipat kedua tangannya. "Bukan maksud saya menstandarisasi kebahagian Putri saya atau apapun yang bisa dia terima dari kamu, tapi saya cuma mau Putri saya satu-satunya tidak kesulitan kedepannya, walaupun saya tidak akan membiarkan itu kejadian."


Me, too.


Aku juga tidak ingin Amika kesulitan jika memang nanti dia harus hidup denganku, itu tidak akan terjadi. Aku akan mengusahakan apapun.


"Give me a chance, Rik. As a father yang menginginkan kebahagiaan Putrinya," mata lelaki di depanku ini menatapku tegas, kalimatnya seperti memohon namun tatapannya tidak sama sekali.


Aku tidak pernah ingin membenci Ayah dari wanita yang aku cintai, semenyebalkan apapun kalimat-kalimat yang tadi beliau ucapkan, ini adalah bentuk kasih sayang Om Yohan kepada Amika dan aku tidak berhak menghalangi apapun. Itu adalah hak dan kewajiban beliau sebagai seorang Ayah, akupun kelak akan sepertinya.


Membiarkan Amika mengenal lelaki lain selain aku, sebelum ini aku tidak pernah memiliki rasa cemburu ataupun ragu dengan kekasihku. Aku sering mengenalkannya kepada teman-teman lelakiku, Amika juga punya beberapa teman kantor laki-laki yang aku pun tidak tahu apakah mereka suka menggoda kekasihku atau tidak. Namun aku sangat percaya dengan Amika, wanita itu mencintaiku, itu yang sangat aku yakini, aku pun sama. Aku percaya dengan Amika, oleh sebab itu aku juga melakukan hal serupa dengan terus mencintainya tanpa kebosanan, we reward each other by trusting and loving each other. Jadi seharusnya jikalau aku membiarkan rencana Om Yohan untuk mengenalkan lelaki lain kepada Amika, bukan menjadi masalah untukku, kan? Toh aku memiliki kepercayaan utuh dengan kekasihku. Amika pasti tetap akan memilihku.


Yang membuatku sedikit ragu dan takut adalah lelaki itu memiliki dukungan penuh dari Ayah kekasihku sedangkan aku tidak. Aku tidak memiliki dukungan dari siapapun pada posisiku saat ini, tapi mungkin ketiga sahabat baik Amika bisa ada di kubuku. Jadi aku sedikit ragu membiarkan Amika mengikuti titah sang Ayah, takut dengan melepaskannya sebentar, aku tidak bisa meraihnya kembali.


"Saya seharusnya juga nggak perlu minta izin dari kamu, tapi gimanapun saya menghormati hubungan kalian yang sudah berjalan lama," sejak awal pembicaraan ini, Om Yohan berbicara secara baik-baik denganku, kalaupun aku menolak keinginannya dia pasti akan semakin memberi jarak denganku dan bukan itu yang aku inginkan.


"Saya paham keinginan Om untuk kebahagiaan Amika, terima kasih Om sudah menghargai saya dengan memberitahu rencana Om untuk Amika kepada saya. Kita sama-sama menyayangi satu wanita yang sama, sama-sama punya keinginan untuk membahagiakan dia. Dan ya, silakan kalau memang Om punya pilihan lain untuk Amika, saya bukan menyerahkan Amika begitu aja, tapi seperti kata Om tadi, itu kesempatan Om sebagai Ayah dari wanita yang saya cintai. Saya nggak punya kuasa melarang keinginan seorang Ayah, tapi jika memang Amika kelak punya pertimbangan lain, saya harap Om bisa lebih mendukungnya," kupaparkan kalimat panjangku dengan nada sesantun mungkin.


Om Yohan seketika terdiam mendengarkan dengan kebisuannya beberapa detik setelah aku menyelesaikan kalimatku.


"Well, time will show," lelaki itu melewatiku untuk membuka pintu pagar dan berjalan kembali sampai membuka pintu mobilnya. "This is between you and me kan, Rik?" tanyanya dengan mentap mataku tegas, mungkin meyakinkan agar Amika tidak mengetahui rencana beliau dari mulutku.


Aku menghembuskan napasku berat. "Between a father and his daughter's lover," ucapku tanpa rasa takut sama sekali. Mata Om Yohan menatapku cukup lama sebelum beliau mengendarai kembali mobilnya memasuki carport.


Aku berjalan memasuki mobil dengan perasaan yang tak terkira rasanya, sisa degupan jantung yang seperti berlomba-lomba seolahi ikut menggerakkan dada bidangku, pikiran kalut dengan ucapan yang aku katakan tadi kepada Om Yohan yang khawatir membuat beliau tersinggung, dan yang paling mendominasi segalanya adalah memikirkan reaksi Amika kelak jika mengetahui kalau sang Papa mungkin selama ini kurang mendukung hubungannya denganku.


Aku menatap lama rumah megah di mana kekasihku ada di dalam sana, seolah sedang menatap mata bulat Amika yang jika melihatku selalu dengan tatapan ceria miliknya. Kembali ku hembuskannapasku lebih berat dari sebelumnya. "I do believe in you," bisikku sebelum meninggalkan rumah kekasihku dengan perasaan yang sudah merindu. Mungkin akan butuh waktu untukku bertemu dengannya lagi nanti.

Comment