Part 3: Uniqlo

I'm fucked up.

Dipta memasuki kantor yang menempati seluruh lantai 11 Dhanubrata Property Tower dengan perasaan pesimis yang semakin menjadi. Hidupnya yang sejak dua bulan lalu mengalami masalah yang bertubi-tubi, kini semakin kelabu saat dia menginjak ruangan ini.

Seorang resepsionis menyambut kehadirannya. Saat dia menyebutkan siapa namanya, gadis manis dengan wajah ramah menyenangkan tersebut segera mengantarnya ke ruangan yang akan menjadi calon kantornya.

"Tadi Pak Ronald berpesan pada saya untuk menunggu kedatangan Pak Dipta sekaligus mengantar ke ruangan ini," si resepsionis menyebut nama Kepala Divisi Pemasaran dan Penjualan yang akan menjadi atasan Dipta sejak hari ini.

"Emang gue nggak punya staf ya, ... err ... Katrina?" Dipta membaca nama yang tercetak di kartu identitas sang resepsionis.

"Ada, Pak. Dua orang. Tapi sekarang sedang ada briefing di ruang rapat."

Dipta melirik jam tangannya. Jam sepuluh. Hm .... "Briefing bersama CEO?" tanyanya tanpa tertarik sama sekali. Membayangkan bekerja menjadi bawahan Ivan, sang CEO salah satu anak perusahaan Dhanubrata ini saja sudah aneh. Bagaimana nanti nasibnya kalau setiap hari harus bertemu sepupu Karnaka itu?

"Oh, tidak, Pak. Pak Ivan sedang cuti sampai minggu depan."

What? Dipta mendengkus sebal tanpa sadar. Tahu begitu dia juga bakal masuk minggu depan. Atau minggu depannya lagi. "Selama Iv ... maksud gue, selama Pak Ivan pergi, siapa yang mengendalikan kantor ini?"

"Ada, Pak Wisnu. Beliau yang memimpin briefing pagi ini."

Wisnu, direktur operasional yang sama sekali tidak dikenalnya. "Begitu ya?"

"Benar, Pak," Katrina lagi-lagi menjawab dengan sopan. "Ada lagi yang Pak Dipta perlukan?"

Dipta menatap gadis di hadapannya. Gadis baik-baik. Dengan tutur kata yang rapi tanpa ada kesan genit. Membosankan. "Sudah cukup. Gue tunggu di sini aja."

Katrina membungkukkan badannya dengan sopan, lalu berjalan tenang meninggalkan ruangan. Cewek itu bahkan mengenakan setelan berupa blazer dan celana panjang! Sembunyi di manakah cewek-cewek yang pakai rok mini dengan pantat bulat sempurna yang memanjakan mata pria?

Dipta mendengkus geli. Cewek-cewek modern di luar sana boleh saja berkoar-koar kalau mereka merdeka mau pakai baju apa saja. Mau pakai rok mini kek, mau kelihatan pusarnya, belahan dadanya, atau telanjang sekali pun dan mengaku itu semua mereka lakukan demi kepuasan pribadi. Tanpa ada niat sama sekali untuk menarik perhatian laki-laki. Hei, tahukah kalian, kalau kami para laki-laki sama sekali tidak peduli dengan tujuan kalian? Karena kadang prinsip pria itu sederhana. Ada tontonan menarik, lihat dan nikmati. Titik.

Notifikasi pesan masuk ke ponsel Dipta dan mengalihkan perhatiannya. Dari perawat yang dia pekerjakan untuk mengurus Rhena, putri semata wayangnya.

Bu Septa-Nurse: Kondisi putri Bapak stabil.

Bu Septa-Nurse: Rhena berhasil sarapan sesuai diet dan tidak dimuntahkan.

Bu Septa-Nurse: Pagi ini berhasil menulis satu paragraf tentang kegiatan hari ini tanpa tantrum.

Bu Septa-Nurse: Nanti sore kalau kondisi terus membaik saya akan melaporkan ke dokter Pras

Terhitung sudah tiga jam dia meninggalkan putrinya hanya dengan perawat dan pembantu rumah tangganya. Dipta berharap dia bisa melalui sepanjang hari ini dengan tenang tanpa panggilan darurat yang akan membuatnya harus langsung pulang, tanpa peduli apa yang sedang dia hadapi.

Rhena yang membuatnya mengambil keputusan untuk menerima tawaran pekerjaan ini meskipun sama sekali bukan bidangnya. Rhena yang membuatnya harus menyingkirkan semua gengsi karena dia harus realistis kalau biaya pengobatan putrinya sangat tinggi. Jadi apa pun yang menghasilkan uang, akan Dipta embat tanpa pikir panjang.

"Lo bantu Ivan aja, Dip," kata Karnaka dua minggu yang lalu. "Lo nggak mungkin juga bantu Rahman."

"Jadi sudah diputuskan ya?" tanya Dipta skeptis.

Saat sekretaris Karnaka menghubunginya untuk menyampaikan undangan dari orang nomor satu di Dhanubrata ini, Dipta sudah pesimis kariernya akan bertahan. Apalagi sudah dua bulan terakhir ini dia menghilang tanpa jejak.

"Sudah," Karnaka mengangguk. "Lo usil, tahu? Sudah ngerti Rahman gimana, lo malah ngerjain. Nggak kira-kira lagi."

Dipta tersenyum pahit. Dia memang bajingan. Dia juga sedang apes. Tidak ada kombinasi paling mematikan selain menjadi bajingan yang apes. Hanya saja dia tidak menyangka kalau Rahman bakal pundung. Ha? Pundung? Hanya dengan membayangkan saja dia sudah geli. Dasar Rahman cemen! Playeryang tobat ternyata lebih menyedihkan daripada laki-laki pengecut yang suka sembunyi di ketek istri!

Paling tidak, dengan begini Dipta merasa dia lebih baik dari Rahman. Dia masih bebas berbuat nakal dan bersyukur telah bebas dari ikatan pernikahan. Karena di matanya, perempuan itu diciptakan untuk memuaskan laki-laki. Dan mereka menjadi sama sekali tidak asyik kalau sudah mulai menuntut sana-sini.

"Intinya, lo udah nggak mungkin terlibat di Track Construction lagi. Karena selama dua bulan terakhir ini lo ngilang, Dip. Jangan salahin Rahman, apa pun masalah di antara kalian, kalau dia menunjuk pengganti lo secepatnya. Karena kerjaan dia nggak bisa nunggu lo present dalam kondisi sober. Lo ngerti kan?"

Lihatlah Karnaka Dhanubrata, yang rela merendahkan diri demi menutupi jejak pengecutnya Rahman Hartala, bawahan sekaligus kawan karibnya! Ha! Mereka bahkan lupa kalau yang mendapatkan proyek jalan tol bernilai triliunan rupiah itu dia.

"Saya mengerti," Dipta menjawab dengan lugas. Selamat tinggal pendapatan gue!

"Emang lo ngapain sih dua bulan ngilang dan nggak bisa dihubungi?" tanya Karnaka penasaran.

Kalian mengenal gue lebih dari delapan tahun. Kalau gue nggak nongol selama itu, apa kalian cukup peduli buat nyari gue? "Ada urusan keluarga. Urgent." Jawab Dipta pendek.

"I see. Gue pikir juga lo nggak bakal langsung ngilang kalau kondisinya nggak gawat. Sekalinya lo ngilang lama cuma gara-gara dikerjain cewek yang bikin lo terlunta-lunta," kata Karnaka sambil terbahak-bahak.

Good. Ekspose aja semua kebejatan gue, Bos! Ditipu cewek di bar, ditinggalkan di kamar hotel murahan dalam kondisi tanpa pakaian, bahkan HP dan dompetnya pun diembat. Sungguh petualangan yang cukup mendebarkan meskipun tak membuat Dipta cukup terkesan. It's my life.

"Apakah sekarang urusan lo udah selesai?" tanya Karnaka lagi. "Gue terus terang nggak nyangka lo jawab pesan dari Jeffry."

Karnaka kok bisa sesantai itu menyebut nama sekretarisnya? Dia benar-benar tidak malu karena menjadi anggota kehormatan suami-suami takut istri. Sampai sekretaris pun harus diganti laki-laki karena istrinya pecemburu berat.

Beneran deh. Menikah itu tidak ada indah-indahnya. Dalam berurusan dengan perempuan, memang sudah paling bener nggak usah pakai hati. Karena sekali hati berperan, bakal sengsara seumur hidup. Persis dengan yang dia alami. Hidupnya bagai di neraka sejak mengenal Tari. Ditambah dengan kehadiran Rhena yang kayaknya akan membuat hidupnya suram serta gelap hingga dia tua nanti. Bahkan mungkin sampai mati.

"Sudah bisa dikondisikan, Bos. Nggak kritis lagi," kata Dipta berterus terang.

Di mata koleganya, image Dipta masih lah seorang pria yang sangat menikmati hidup. Memiliki putri yang sudah remaja, duda yang suka flirting sana-sini, dan hidupnya bebas mau ngapain.

"Dan?" Karnaka menunggu kelanjutan kisahnya.

"Saya butuh penghasilan."

Dan inilah yang membuat Karnaka memberinya pekerjaan ini.

"Lo bantu Ivan dulu deh. Manajer pemasarannya bermasalah sama salah satu cewek magang. Steven. Mungkin lo inget dia. Suaminya Reggy, sepupu gue."

"Manajer pemasaran ya?" Kening Dipta berkerut. Dia tahu perusahaan yang dipegang Ivan itu tidak diperhitungkan sama sekali dalam gurita bisnis Dhanubrata Grup. Namun dia tidak menyangka hanya akan ditaruh di posisi manajer pemasaran. Lawak nih?

"Reggy yang protes dan minta Steven dikeluarkan dari semua bisnis keluarga," Karnaka mendengkus geli. "Kebayang kalau Steven juga bakal di-blacklist dari mana-mana dan harus mengawali kariernya lagi sebagai tenaga marketing di perusahaan leasing motor. Reggy juga aneh-aneh aja cari suami!"

Dipta berkedip heran. Di saat dia memikirkan bagaimana nasibnya dengan hanya menjadi manajer pemasaran perusahaan pengelola beberapa biji mal kelas menengah ke bawah, Karnaka malah lebih fokus bergosip kayak ibu-ibu komplek tentang kelakuan suami sepupunya.

"Jadi lakinya yang dipecat ya? Kenapa bukan si cewek magangnya aja?" katanya memberi komentar sekenanya.

"Lo tahu sendiri lah gimana perempuan kalau sudah dendam," Karnaka berdecak geli. "Kata Reggy, kalau ceweknya yang dipecat, Steven bisa nyari cewek lain. Atau hubungan mereka tetep bisa lanjut karena si cewek bisa dipelihara sama Steven. Beda kasus kalau Steven di bikin tak berkutik. Emang ada cewek mau sama laki bokek?"

"Ouch! Ngilu dengernya, Bos!" Sialan. Omongan Karnaka relate sekali dengan hidup Dipta.

"Nah, perkara si cewek magang, habis ini juga dia bakal keluar dari pekerjaan karena dianggap nggak lolos persyaratan sebagai pegawai. Lo bisa bayangin sendiri lah jenis hubungan apa yang mungkin terjadi antara laki-laki pengangguran kayak Steven sama cewek itu? Gue jadi respek sama otak kriminal sepupu gue satu itu."

Dipta nyengir. Sungguh skenario yang sadis. Tapi mau bagaimana lagi? Itulah privilege orang-orang berduit seperti keluarga Dhanubrata. Semudah itu si Reggy-Reggy ini menghancurkan si laki-laki, meskipun perilaku Steven juga memang goblok. Sudahlah nebeng hidup, bukannya tahu diri malah belagu. Padahal orang-orang seperti Reggy nggak butuh-butuh amat dengan laki-laki. Toh semua kebutuhan mereka sudah tercukupi.

Nasib yang sama dengan Steven sangat mungkin terjadi pula pada Dipta. Bedanya, saat Tari memilih untuk menceraikannya, Dipta masih memiliki akal sehat. Lagipula sejak awal Dipta sangat sadar dengan posisinya di keluarga besar Tari. Dan sudah gerah dengan label mokondo atau gigolo yang tersemat di belakang namanya.

Jadi, bercerai dan melepaskan diri dari ikatan pernikahan dengan Tari bisa dibilang satu-satunya solusi cerdas di tengah hidupnya yang dikerubungi ribuan masalah.

"Jadi, lo bantu Ivan dulu ya, Dip. Kerjaannya santai, kok. Paling enggak, lo masih bisa ngawasin keluarga lo juga. Steven yang nggak ada otaknya aja bisa survive di posisi itu selama lebih dari lima tahun. Apalagi lo." Karnaka menatapnya beberapa saat lebih lama. "Dan ... gue minta maaf karena bantuan gue hanya sebatas ini aja. Ntar—"

"Ini udah cukup, Bos," potong Dipta cepat.

"For a while," Karnaka mengangguk. "You deserved better. You know?"

***

Sambil menunggu di kantornya, Dipta akhrinya membaca dokumen digital yang dikirim oleh Jeffry tadi pagi. Laporan lengkap Dhanubrata Development yang merupakan anak perusahaan Dhanubrata Property.

Dhanubrata Development didirikan untuk mengelola bisnis properti dengan spesialisasi komersial seperti superblok, hotel, kantor, dan perumahan. Lalu tepat pada tujuh tahun lalu, Dhanubrata Development ini membuat lagi satu unit bisnis baru di bidang pusat perbelanjaan. Mal yang memiliki target market kelas menengah ke bawah ini menjadi "mainan" baru Ivan, putra tiri salah satu tante Karnaka yang baru bergabung di circle keluarga besar itu.

Sekarang, saat membaca laporan tentang perusahaan yang dikelola Ivan, Dipta jadi merasa banget dianaktirikan. Perusahaan ini sangat kecil dan valuasinya tidak serius karena hanya mengelola lima mal yang luasnya masing-masing hanya berkisar satu hektar saja.

Yang benar saja? Benar-benar bagai bumi dan langit. Karena Dhanubrata Development sendiri telah memiliki lebih dari 70 proyek residental, 11 hotel, 8 superblok, serta 7 perkantoran. Sungguh kerajaan bisnis yang tidak main-main karena Dhanubrata Development hanyalah salah satu unit bisnis besar milik Dhanubrata Grup. Selain Dhanubrata Property dan Track Construction.

Dengan tanggung jawab sebesar ini, wajar kalau Karnaka sudah sangat tidak sabar untuk melimpahkan Track Construction sepenuhnya menjadi tanggung jawab Rahman. Namun Dipta tidak terima kalau dia hanya disisihkan seperti ini setelah semua kerja kerasnya selama ini. Meskipun dengan embel-embel "lo masih bisa ngawasin keluarga lo".

Sialan. Ini semua tidak akan terjadi kalau Rahman tidak baperan. Juga tidak akan terjadi kalau Tari tidak sepanik itu. Dan pastinya, semua tidak akan terjadi kalau Rhena tidak memilih saat itu untuk main-main dengan cutter dengan mengiris urat nadinya sendiri.

I'm fucked up!

Lalu notifikasi pesan dari Tari muncul di ponselnya. Sebenarnya Dipta ingin mengabaikan saja. Namun dia tahu konsekuensinya. Yaitu Tari yang akan terus-menerus merecokinya dan pesan dan panggilan.

TariBangsat: bisa2nya lo nggak bilang kalo hari ini lo mulai kerja.

TariBangsat: Kalo gw nggak call Bik Yumi, gw gak bakal tau lo ninggalin anak kita sama org asing DIPTAAA

TariBangsat: Emang Bu Septa lo bayar berapa sampe sengaja bgt nggak mau laporan sama gw soal perkembangan Rhena

TariBangsat: Gw ibunya!!! Gw berhak tahu pada setiap menit hidup anak gw!!!

Sejuta makian sudah siap terlontar dari mulut Dipta. Namun setelah 18 tahun mengenal Tari membuatnya sadar kalau emosi tidak akan membawanya ke mana-mana. Karena mantan istrinya itu memiliki pola pikir yang absurd. Seolah membombardir pengurus rumah tangga setiap satu jam sekali adalah bentuk kepedulian paling tulus yang bisa dia berikan. Mengirim pesan berupa kalimat perintah dan larangan kepada Rhena sudah dia artikan sebagai bentuk pendidikan termodern untuk menciptakan bonding antara ibu dan anak. Dan merecoki hidup Dipta tanpa akhir adalah bahasa cinta terfenomenal abad ini.

Dipta: Semua aman terkendali. Gue sengaja krn ga mau ganggu waktu lo.

Dipta: Jadi lo santai2 aja honimun sama laki lo.

Dipta: Jangan sampe kali ini lo cere lagi.

Dipta: Pengadilan agama udah bosen kali melayani lo yg udah 4x cere.

Dipta: Atau mkn lo beneran pengin dapet hadiah payung setelah cere 5x?

Saat Dipta berharap pernikahan Tari dengan suami yang entah ke berapa ini bisa berhasil, dia sangat tulus. Karena dalam pikirannya, Tari tidak akan merecoki kehidupannya kalau sudah tenang bersama suami barunya.

TariBangsat: Bangsat lo. Kenapa Busepta laporannya sama lo doang? Kenapa ga ke gue?

Dipta: Karena gue yg bayar dia

Dipta: Kalau lo mau dapetin laporannya jg, sini bayar sama gue.

TariBangsat: Aduh. Kasian innerchild gw terima harrasment dr lo.

Dipta: telan itu innerchild lo. Kali aja bisa kirim lo lbh cepat ke sisi Tuhan

TariBangsat: Brengsek lo

Dipta: Dan jangan ganggu kerjaan gw. Gw butuh duit. Kalo lo nggak aware sama kelancaran kerjaan gue, lo yg bakal tanggung risikonya.

Dipta: Gue bakal kirim Rhena ke rumah ortu lo biar mereka yg biayain Rhena

TariBangsat: Dan lo?

Dipta: Ngilang

TariBangsat: Hii takut! Canda takut.

Dipta: Lo tau gue bisa lakukan apa saja Tar. Lo tahu itu

TariBangsat: Oke. Message received

Dipta: Bye. Lo nggak usah balik.

Lagi-lagi Dipta bersyukur sudah lepas dari jerat perkawinan. Juga jerat perempuan. Dia baru akan melanjutkan kegiatannya membaca dokumen ketika pintunya diketuk dari luar.

"Masuk," kata Dipta.

Lalu sosok gadis itu muncul begitu saja di sana. Gadis yang tidak terlalu tinggi, mungkin tidak sampai 160 senti. Setinggi Rhena? Dengan wajah oval, mata bulat, dan semua komponen di wajahnya mengingatkannya pada sosok kartun yang dulu ada di buku cerita bergambar milik putrinya. Apalagi dengan rambutnya yang lurus sebahu. Dan caranya berpakaian membuat Dipta teringat pada sesuatu yang familier. Entah apa, dia belum ingat.

"Pak Dipta?" tanyanya sopan. Suaranya kalem serta ramah.

Hm ... tadi Katrina. Sekarang ...

"Saya Seruni, Pak. Staf di divisi pemasaran ini."

Seruni. Terdengar lucu namanya.

"Ya, gue Dipta. Kamu yang anak magang itu?" tanyanya heran. Karena tidak mungkin Steven rela kehilangan semuanya hanya buat cewek kayak gini kan?

"Oh, bukan, Pak," bantah gadis itu sambil menggeleng cepat. Dengan ekspresi tidak nyaman yang cukup mencolok. Walau hanya sesaat.

Berarti ini si pegawai tetapnya. "Udah berapa lama kerja di sini?" tanya Dipta penasaran. Gadis di hadapannya terlihat masih terlalu muda. Bahkan dia menduga usianya tak jauh beda dari Rhena.

"Enam tahun, Pak."

Hm ... matematikanya masih bisalah kalau hanya untuk menebak berapa usia Seruni. Kalau dia sudah bekerja selama enam tahun, tidak mungkin usianya di bawah 25 tahun.

"Cukup lama juga, ya?" Dipta mulai berbasa-basi.

Bagus! Seruni yang tampangnya masih kayak anak SMA ini mungkin waktu lahir kecemplung larutan awet muda. Dan Dipta yakin Tari bisa mati dengan penuh iri dengki kalau ketemu Seruni. Karena mantan istrinya itu sampai kecanduan apa pun yang berbau awet muda.

"Oke. Nanti kita ngobrol-ngobrol lagi. Gue belum ketemu Pak Ronald. Jadi gue belum tahu ngantor di sini disuruh ngapain," cibirnya sarkas.

"Baik, Pak."

"Oh ya, ada staf lagi kan? Katanya staf gue ada dua."

Seruni mengangguk. Dan lagi-lagi wajahnya menampakkan ekspresi tidak nyaman meski hanya sekilas. "Iya. Saya panggilkan dia. Namanya Gaby."

Gaby muncul tak lama kemudian. Dan akhirnya Dipta menemukan apa yang sejak tadi dicarinya. Cewek rok mini dengan pantat bulat sempurna yang memanjakan mata pria.

"Gaby?" tanyanya.

Saat Gaby mengangguk, Dipta malah dikejutkan oleh ingatan yang tiba-tiba masuk di kepalanya. Uniqlo! Cara berpakaian Seruni Uniqlo sekali. Kenapa dia tahu? Karena baru tadi pagi dia membereskan sampah-sampah berupa paperbag, nota, hingga katalog Uniqlo yang banyak terserak di mobilnya. Gara-gara hari sebelumnya dia berbelanja ke toko pakaian itu untuk memenuhi kebutuhannya dan Rhena.

Tepat! Cara berpakaian Seruni benar-benar khas, seolah dia baru keluar dari katalog Uniqlo yang tadi baru dibuangnya.

"Pak Dipta?"

Suara Gaby semerdu ini. Wajar kalau Steven rela kehilangan kewarasan demi daun muda selegit Gaby.

"Oh ya. Lo bisa panggilin Uniqlo sekalian, kan? Kita briefing bentar. Gue perlu kenalan juga sama kalian."

Gaby mendelik. "U ... niq ... lo?"

Catatan:

Hai semua. Nongol lagi si Dipta. Kali ini aku sekalian mau jawab pertanyaan kalian. Apakah Broken Flowerbakal ditamatin di Wattpad.

Insyaallah aku tamatin di wattpad. Karena sejak awal aku memang udah berniat menulis satu karya free di sini buat dinikmati bersama.

Namun aku warning sebelumnya, kalau nanti mungkin proses update-nya nggak bakal selancar yg kalian harapkan. Karena selain menulis novel gratis ini, aku juga harus nulis novel berbayar juga biar balance.

Jadi, harap bersabar ....

Comment