Chapter 5

"Warna merah marun aja kenapa, sih?!"


"Putih aja! Biar lu keliatan maskulin, dodol!"


"Haah?! Bagi lu mah maskulin, bagi gua kagak! Warna putih itu bikin cepet kotor tau!"


"Eh, putih itu bagus tau! Lagipula lebih mahal yang warna putih daripada merah marun!"


"Mata lu bagus! Kagak njay! Bikin cepet kotor! Kena debu dikit, langsung keliatan kotornya!"


"Merah marun gelap! Kesannya kayak horror gitu, njir! Mending putih, keliatan suci!"


"Gak mau! Mending merah marun! Bodo amat sama harganya!"


"Putih aja kenapa, sih?! Lebih mahal!"


"Merah marun!"


"Putih!"


"Merah marun!"


"Putih!"


"Merah marun!"


Terlihat dua orang pemuda berbeda umur tersebut sedang bertengkar di sebuah toko pakaian dengan brand ternama di salah satu pusat perbelanjaan terkenal di Yokohama. Setelah diselidiki, ternyata mereka bertengkar karena soal warna setelan jas yang akan dibeli.




Yailah cuman setelan jas doang rupanya...


Kirain apaan...




Karena pertengkaran itu, beberapa pengunjung yang sedang berada di toko tersebut pun memperhatikannya dengan saksama walau hanya sebentar saja. Setelah tahu siapa yang bertengkar, mereka pun segera pergi. Takut kena amukkan Yakuza yang paling disegani di Yokohama. Ditambah lagi dengan adanya leader Busters bros.


Bahkan satpam, penjaga kasir, dan pegawai toko itu pun, tidak berani berbuat apa-apa selain berdo'a agar pertengkaran yang mereka berdua lakukan segera selesai.


"Putih aja kenapa, sih? Lebih keren tau!"


"Gua kagak suka putih, Tuan Yakuza..."


Sang Yakuza pun hanya menghela nafas dengan kasar sambil mengacak rambutnya dengan frustasi. Akhirnya ia pun mengalah pada pemuda berstatus pembantu sementara di hadapannya ini.


"Haaahh... Serah lu, njir... Capek gua ribut sama lu."


"Makasih, Samatoki~"


"-san nya mana anjir..."


"Iya, iya. Makasih, Samatoki-san~"


Samatoki pun membawa satu setelan jas berwarna merah marun yang Ichiro pilih ke kasir. Setelah membayar, kedua pemuda tersebut pun pergi meninggalkan toko itu.


"Kita sekarang mau kemana?" tanya Ichiro saat sudah keluar dari toko.


"Ke toko aksesoris," sahut Samatoki singkat.


"Hah? Ngapain?"


"Yaa... Beli aksesoris lah, dodol!"


"Gua juga tau kali!"


"Terus kenapa nanya?!"


"Maksud gua itu, ngapain beli aksesoris segala? Emang mau beli aksesoris kayak gimana?" jelas Ichiro.


"Makanya kalo ngomong itu yang jelas! Biar orang paham!" ujar Samatoki jengkel.


"Itu mah elu nya aja yang gak peka.." ejek Ichiro.


Ini anak beneran minta dislepet ya, batin Samatoki jengkel. Perempatan imajiner berwarna merah pun terpampang jelas di sudut dahinya.


Namun, niat ingin menyelepet (what? Bahasa apa itu?) bocah dihadapannya ini ia tahan karena tak mau ribut ataupun mencari masalah lagi di tempat umum.


Setelah pertengkaran kecil tadi, Samatoki pun membawa Ichiro ke salah satu toko aksesoris di pusat perbelanjaan tersebut. Beberapa menit kemudian, mereka pun sampai ke toko itu.


"Selamat datang, tuan~" sambut salah satu pegawai disana saat mereka berdua memasuki toko aksesoris tersebut.


Samatoki dan Ichiro pun melihat-lihat dahulu macam-macam aksesoris di toko tersebut sambil berkeliling. Saat sedang meliha-lihat, manik ruby milik Samatoki tertuju pada salah satu aksesoris di sebuah rak kecil. Ia pun berhenti di depan rak kecil tersebut.


"Oyy, Ichiro..." panggil Samatoki.


Merasa terpanggil namanya, Ichiro yang tadinya sedang melihat-lihat aksesoris yang terletak di sudut toko, langsung menghampiri Samatoki.


"Ada apa?" tanya Ichiro.


"Menurutmu ini bagus tidak?" Ujar Samatoki sambil menunjukkan sebuah anting khusus pria dengan hiasan batu emerald.


"Bagus, sih..."


"Menurutmu, aku beli saja atau tidak?"


"Terserah kau saja. Kau kan yang membayarnya.."


"Baiklah aku beli..."


Samatoki pun membawa anting berhiaskan batu emerald tersebut ke kasir. Tak ketinggalan Ichiro pun mengekori di belakang. Saat membayar, tak disangka Samatoki mendapat bonus dari pembelian anting tersebut.


"Beli anting emerald ini, berhadiah anting berhias batu ruby ini~" ujar sang penjaga kasir sambil menunjukkan anting yang dimaksud. Tak ketinggalan dengan senyum ramahnya.


"Hee... begitu..." gumam Samatoki.


"Terima kasih atas pembeliannya! Silahkan datang di lain waktu, ya~"


Kedua pemuda tersebut pun meninggalkan toko aksesoris itu dan keluar dari pusat perbelanjaan. Lalu pulang menuju apartemen Samatoki, untuk bersiap-siap pergi menuju 'tempat utama' pada malam nanti.


....


Di apartemen (mewah) Samatoki...


Setelah sampai di apartemen, Samatoki langsung menyuruh Ichiro untuk mandi dan bersiap-siap. Karena dalam waktu 2 jam, mereka diharuskan untuk sudah siap.


"Lu mandi gih! Dalam 2 jam, kita harus sudah siap," ujar Samatoki.


"Okey."


Selagi Ichiro mandi, Samatoki pun menunggu gilirannya sambil menghisap batangan tembakau di ruang tamu.


"Kira-kira, gimana penampilan anak itu pake jas ya? Penasaran gue..." gumam Samatoki dengan seringai kecil di wajahnya.




10 menit...


15 menit...


20 menit...


30 menit...


45 menit...


50 menit...


55 menit...


1 jam...




Ini sudah rokok ke-12 yang Samatoki hisap. Pemuda bermanik dwiwarna itu pun belum juga keluar dari kamar mandi. 'Itu anak ngapain, sih? Masa mandi doang sampe satu jam gini?' pikir Samatoki. Sang Yakuza pun berniat untuk mengecek pemuda otaku tersebut.


"Woy! Lama amat lu, njir!" Samatoki pun langsung mendobrak pintu kamar mandinya. Membuat orang yang berada di dalamnya terkejut.


"Jangan asal dobrak, dodol! Gua masih pake baju!" ujar Ichiro kesal. Terlihat ia masih menggunakan boxer berwarna merah dan sedang mengenakan kemeja putih pada tubuhnya.


Tanpa sadar, Samatoki terus memerhatikan Ichiro yang sekarang dalam keadaan half naked. 'Perasaan gue aja atau emang Ichiro tambah seksi?' batin Samatoki. Buset, si Yakuza mesum amat.


Sadar sedang diperhatikan oleh Yakuza di hadapannya, Ichiro pun menatap horror ke arah Samatoki. "Mesum amat lu, ngeliatin gua mulu. Mentang-mentang gua lagi setengah telanjang..."


"Hah?! Siapa yang ngeliatin lu, njir?! Ge-er amat dah lu!" ujar Samatoki tak jujur.


"Terus kenapa tadi mata lu ngeliat ke depan?! Kan di depan lu cuman ada gua!" sahut Ichiro kesal.


"Gua bukan ngeliatin lu! Gua lagi ngeliatin bathtub.."


"Hah?! Gak jelas amat lu njir—oyy!" belum sempat menyelesaikan perkataannya, Ichiro sudah digendong oleh Samatoki dengan gaya bridal style.


"Bacot lu. Sekarang lu keluar ya, bocah. Gua mau mandi," ujar Samatoki datar.


"Aturan gua yang bilang gitu! Gua kan masih pake baju!" sahut Ichiro jengkel.


"Pake bajunya di luar ya, bocah..."


Samatoki pun membawa Ichiro ke dalam kamarnya. Lalu menjatuhkan tubuh pemuda bermanik dwiwarna tersebut di kasur berukuran king size miliknya.


"Nah, lu pake bajunya disini ya, bocah. Setelan jas lu juga udah ada di lemari," ujar Samatoki sambil menunjuk lemari yang dimaksud.


"Jangan manggil gua 'bocah' mulu bisa, gak? Bosen gua dengernya anjir."


"Kagak. Gua lebih suka manggil lu 'bocah'."


"Sh*t!"


Sebelum pergi meninggalkan Ichiro, Samatoki tak sengaja memerhatikan wajah Ichiro. Terlihat jelas, wajah pemuda otaku tersebut nampak pucat seperti orang sakit. Penasaran, Samatoki pun mencoba bertanya.


"Hei, wajahmu pucat. Kau sedang sakit kah?" tanya Samatoki datar. Namun didalam hatinya, ia sangat khawatir.


"Ehm... Itu... Ti-tidak, kok! Aku hanya sedang kelelahan saja," ujar Ichiro terbata-bata. Nada suaranya juga terlihat seperti orang yang ragu-ragu dengan perkataannya.


'Dia bohong, ya?' batin Samatoki.


"Kau yakin?" tanya Samatoki lagi.


"Iya, kok!"


"Kalau kau tak sanggup pergi denganku nanti malam, lebih baik kau tak usah ikut."


"Tidak. Aku akan tetap ikut. Bukankah majikan(sementara)ku yang menyuruh aku ikut dengannya?"


"Tapi, jika pembantu(sementara)ku sedang sakit... Aku akan menyuruhnya untuk tetap tinggal dan beristirahat."


"Tidak usah khawatir. Aku baik-baik saja. Aku akan tetap ikut denganmu."


'Keras kepala...'


Melihat Ichiro yang kekeuh pada pendirian, mau tak mau Samatoki pun menyetujuinya dengan berat hati. Karena ia takut, pemuda sembilan belas tahun di hadapannya ini terluka atau semacamnya.


"Okey. Kalau kau tak sanggup, segera lapor padaku." Kata Samatoki yang dibalas oleh anggukkan dari Ichiro. Ia pun segera melangkahkan kakinya menuju kamar mandi. Meninggalkan Ichiro yang berada di dalam kamarnya.


.


"Aku tak mungkin bilang padamu, bahwa aku sedang 'tidak baik-baik saja'... Kau juga seharusnya tak usah mengkhawatirkanku. Karena aku, bukanlah siapa-siapa lagi bagimu.." –Ichiro.


....


Di kamar mandi...


Samatoki pun mulai menanggalkan pakaiannya. Setelah tak ada lagi sehelai kain yang membalut dirinya, ia pun menyalakan shower dan mulai membasuh seluruh tubuhnya.


Setelah mandi, Samatoki berniat membasuh mukanya dengan sabun khusus wajah dan juga menyikat giginya. Saat ia sedang menyikat giginya, kegiatan tersebut dihentikan karena Samatoki melihat cairan merah di wastafle.




Darah.


Itu yang dipikirkan Samatoki saat melihat cairan merah kental tersebut.


Merasa tak yakin, ia pun mencoba mengeceknya. Salah satu jari telunjuknya diarahkan ke cairan tersebut. Mengambilnya, lalu merasakan tekstur cairan merah tersebut dengan cara menempelkan telunjuknya pada ibu jarinya. Setelah itu, Samatoki mengendus aroma dari cairan tersebut.




Teksturnya kental dan juga sedikit cair...


Bau anyir juga keluar dari cairan tersebut...


Bisa dipastikan bahwa ini benar-benar...


Darah.




"Perasaan, hari ini gua gak terluka atau semacamnya deh... Terus ini darah siapa—" Samatoki teringat, bahwa ada pemuda bermanik dwiwarna dengan wajah pucat di apartemennya.


"—Apa ini... Darah Ichiro?"


....


Tak terasa sudah 2 jam berlalu. Kini dua pemuda bersurai putih dan hitam tersebut sudah rapih dan tampan. Dengan setelan jas yang membalut tubuh mereka.


Samatoki terlihat mengenakan kemeja putih dan setelan jas hitam yang dipadukan dengan overcoat yang sewarna dengan jas. Sedangkan Ichiro mengenakan kemeja putih, vest merah, dan setelan jas merah marun yang mereka beli tadi.


"Lu gak make syal, coat, atau semacamnya gitu? Hari ini dingin, lho," ujar Samatoki datar saat melihat penampilan Ichiro. Mengingat bahwa saat ini mereka berada dipenghujung musim gugur.


"Gua lupa bawa," jawab Ichiro singkat.


Samatoki pun berjalan ke arah lemarinya. Membukanya, lalu mengambil sebuah syal wol berwarna hitam. Setelah itu ia berjalan ke arah Ichiro dan memakaikannya di leher pemuda dwiwarna tersebut. Tentu saja Ichiro terkejut dengan perlakuan Yakuza di hadapannya.


"Pakai syal gua aja. Kalo lu gak make, ntar lu kedinginan," ucap Samatoki datar dan berhasil membuat Ichiro menampilkan serabut merah kecil di wajahnya.


"Umm... Ma-makasih..."


'Sialan, Ichiro manis banget...'


Karena terlalu sibuk memakaikan syal pada leher Ichiro –lebih tepatnya, memerhatikan Ichiro dengan wajahnya yang malu-malu-, Samatoki hampir lupa dengan sesuatu. "Oh iya..."


"Kenapa?"


Samatoki tidak menjawab dan malah melangkahkan kakinya menyusuri setiap sudut kamar. Ichiro pun hafal dengan gelagat Samatoki saat ini. "Pasti dia sedang mencari sesuatu..." gumamnya.


"Lu cari apaan?" tanya Ichiro.


Samatoki pun menoleh, "Cari totebag yang isinya aksesoris anting," jawabnya singkat. Lalu ia pun kembali mencari barang yang disebutkan.


Oh, anting yang dibeli tadi, pikir Ichiro. Ingat dimana Samatoki menaruhnya, ia pun segera memberi tahu Yakuza tersebut. "Kan tadi lu taruh di mobil," ucap Ichiro. Samatoki pun menghentikan kegiatannya tersebut sambil berusaha mengingat-ngingat.


"Oh iya... Gua lupa..."


"Kebiasaan, lu. Dari dulu gitu mulu." Cibir Ichiro.


"Bacot njir..."


"Bodo. Weeekk..." Ichiro pun menjulurkan lidahnya. Mengejek Samatoki. Sang Yakuza pun hanya bisa menghela nafas dan memaklumi sifat pemuda otaku tersebut. 'Dari dulu kan dia emang begitu...' batin Samatoki yang sudah hafal luar-dalam tentang Ichiro.


Sebelum pergi, Samatoki menyuruh Ichiro menggunakan lip balm pada bibirnya. Tentu saja, Ichiro menolak mentah-mentah perintah Samatoki. Karena ia lelaki, bukan wanita. Pikir Ichiro begitu


"Pake aja napa, sih?! Warna lip balmnya kan sewarna sama bibir lu," paksa Samatoki.


"Gak mau!"


"Kenapa, sih?! Orang-orang juga gak bakal tau kalau lu pake lip balm!"


"Tapi tetep aja gua gak mau, Samatoki-san. Gua itu cowok! Bukan cewek!"


"Oh, c'mon Ichiro. This is all for your sake..."


"But, i don't want to use lip balm on my lips..."


"Tapi bibir lu pucat banget, Ichiro."


Karena perkataan Samatoki barusan, Ichiro pun mulai memikirkan kembali apa yang dikatakan Yakuza tersebut.


"Okey, gua bakal pake. Tapi cuman sedikit," kata Ichiro yang pada akhirnya memilih mengikuti perkataan Samatoki.


Ichiro pun mengambil benda pewarna bibir tersebut dari tangan Samatoki. Lalu memakaikan batangan berwarna pink tersebut ke bibirnya. Setelah dirasa cukup, Ichiro pun meratakan pewarna bibir tersebut dengan cara mengecap kedua belah bibirnya satu sama lain.


Melihat Ichiro memakai lip balm, tanpa sadar Samatoki terus memerhatikannya dengan seksama. Manis sekali bocah di hadapannya ini, benar-benar seperti seorang wanita, pikirnya begitu.


"Ke-kenapa? Aneh ya?" tanya Ichiro yang sadar sedang diperhatikan Samatoki.


"E-enggak kok. Keliatan manis malahan—" sadar akan ucapannya yang kelewatan, Samatoki pun segera menutup mulutnya dengan kedua telapak tangannya.


"Hah? M-manis?" semburat kecil berwarna kemerahan kembali muncul di wajah Ichiro. Degup jantungnya pun berdetak tak normal. Begitu juga dengan Yakuza di hadapannya.


"Lu-lupakan! Sekarang ayo kita pergi!" ucap Samatoki kemudian, sambil menarik tangan Ichiro untuk keluar dari apartemennya dan pergi menuju basement.


....


Sesampainya di basement, Samatoki menyuruh Ichiro untuk memasuki sedan miliknya terlebih dahulu. Dan menunggunya sebentar, karena Samatoki ingin pergi ke toilet sambil menenteng pomade di tangannya.


"Ngapain dia bawa pomade segala ke toilet?" gumam Ichiro heran.


Setelah beberapa menit Ichiro menunggu, akhirnya Samatoki datang. Lalu pria bersurai putih tersebut masuk ke dalam sedan. Untuk beberapa saat, Ichiro membatu karena melihat penampilan Samatoki yang berbeda dari yang sebelumnya.


'Jadi, dia ke toilet buat menata rambutnya ke belakang?!' batin Ichiro.


Ya. Saat ini, penampilan Samatoki berbeda karena ia menata dan menyisir rambutnya ke belakang. Menampilkan kening mulusnya yang semulus bokong Ichiro—maksudnya bokong bayi.


Sadar diperhatikan Ichiro, Samatoki pun menoleh dan bertanya. "Ada apa? Apa ada yang aneh dari gua?".


"E-enggak! Gak ada sama sekali!" ucap Ichiro spontan. Ia pun mengalihkan pandangannya ke arah lain. Menghindari pemandangan kening mulus Samatoki yang menjadi kesukaannya saat di TDD dahulu.


Samatoki pun terheran dengan sikap Ichiro saat ini. Tiba-tiba mengalihkan pandangan darinya dan tak mau menatapnya. Apa tadi ia berbuat kesalahan hingga membuat Ichiro marah? Pikir Samatoki begitu.


Samatoki pun mulai menjalankan sedan hitam bermerek be em weh miliknya menuju 'tempat utama' yang dimaksud.


Selama perjalanan, Samatoki dan Ichiro tak banyak berinteraksi. Samatoki sibuk menyetir dan Ichiro lebih suka diam sambil menikmati pemandangan kota Yokohama pada malam hari.


"Jangan merokok. Nanti jasmu bau rokok," ucap Ichiro memperingatkan Samatoki saat sang Yakuza tersebut mengeluarkan batangan tembakau dari saku jasnya.


"Kenapa kau bisa tau kalau aku mau merokok? Daritadi kan kau menghadap kaca jendela di sampingmu,"ujar Samatoki sembari memasukkan kembali batangan tembakau itu ke dalam saku jasnya.


"Bayanganmu terpantul jelas, bodoh! Begitu saja kau tak paham," sahut Ichiro tanpa menoleh ke arah Samatoki.


'Bocah ini kenapa, sih?' batin Samatoki.


Dan akhirnya... Perjalanan menuju tempat yang dimaksud Samatoki, kembali diisi oleh keheningan.


....


Setelah 1 jam perjalanan dari apartemen Samatoki menuju 'tempat utama', mereka pun akhirnya sampai disana. Samatoki pun segera memarkirkan sedannya di tempat yang sudah disediakan.


"Woy, bocah..." panggil Samatoki pada Ichiro. Pemuda dwiwarna tersebut hanya menjawabnya dengan sebuah gumaman.


"Hmm..."


"Gua mau ngomong sama lu sebentar,"


"Yaudah tinggal ngomong aja," ujar Ichiro yang masih tak melepas pandangannya dari kaca jendela disampingnya.


"Gimana gua mau ngomong kalau lu nya ngeliat ke arah jendela terus?"


"Yaudah, sih. Tinggal ngomong aja. Gua dengerin,"


Ichiro tetap kekeuh untuk tak mengalihkan pandangannya dari kaca jendela di sampingnya. Ia tak mau melihat penampilan Samatoki dengan surainya yang ditata ke belakang. Itu hanya akan membuat jantungnya lepas dari tempatnya.


'Inget, Ichiro... Sekarang dia itu mantan lu. Bukan pacar lu lagi...' batin Ichiro.


Hal tak terduga pun terjadi. Samatoki yang mulai kesal dengan kelakuan Ichiro, pun menarik dagunya secara kasar. Agar Ichiro bertatapan langsung dengan dirinya. Tentu saja, hal itu membuat Ichiro terkejut.


"Gua lagi ngomong sama lu, bocah. Kalau ada orang ngomong sama lu, liat mukanya g****k!" ucap Samatoki dengan suara rendah. Ichiro tahu, saat ini Samatoki sedang marah karena ia abaikan. Karena Ichiro sudah hafal luar-dalam tentang Yakuza di hadapannya ini.


Samatoki tak suka diabaikan.


Tubuh Ichiro pun mulai sedikit gemetar. Karena ketakutan melihat Samatoki yang seperti ini. Ichiro memang sudah sering melihat Samatoki mengamuk atau marah-marah. Dan ia sudah terbiasa dengan hal itu.




Tapi lain halnya jika Samatoki marah dalam keadaan seperti ini...


Suara direndahkan...


Mata menatap datar namun tersirat jelas bahwa ada amarah yang mendalam...


Ichiro tak suka Samatoki yang seperti ini...


Dahulu saat mereka pacaran maupun sekarang...




"M-maaf..." cicit Ichiro.


Menyadari Ichiro ketakutan karena perlakuannya, Samatoki pun merubah nada suara dan tatapannya menjadi normal kembali. "Haaahhh... Oke, gua juga minta maaf. Makanya jangan cuekin gue..." ujar Samatoki sambil menghela nafas.


"Jadi gini, gua mau lu jujur sama gua..." Samatoki pun mulai membuka pembicaraan.


"Okey..."


"Tadi, pas gua mandi. Gua nemu darah di wastafle. Apa itu darah lu?" pertanyaan Samatoki membuat Ichiro meneguk ludah. Ia takut Samatoki tahu, kalau saat ini kondisi tubuhnya sedang bermasalah.


Percuma juga bohong... Tapi jujur juga bukan pilihan tepat. Pikir Ichiro begitu.


"Itu emang darah gua—"


"Jadi lu beneran sakit?!" Samatoki pun terkejut dan langsung memotong perkataan Ichiro.


"Jangan potong dulu omongan gua! Gua belum selesai ngomong bujank!" ujar Ichiro sambil menutup mulut Samatoki dengan telapak tangan kanannya.


"Jadi gua tadi sikat gigi, terus gak sengaja kena gusi gua. Akhirnya berdarah, deh." Jelas Ichiro yang akhirnya memilih berbohong walaupun mengaku bahwa darah di wastafle itu adalah miliknya.




Bohong.


Itu yang dipikirkan Samatoki saat Ichiro mengatakan hal itu.


Menggaruk tengkuk sambil sesekali melirik ke arah lain saat berbicara...


Itu salah satu kebiasaan Ichiro yang Samatoki hafal, saat bocah tersebut sedang menyembunyikan sesuatu dari dirinya maupun orang lain...




Bukankah ia sudah bilang tadi? Ia hafal luar-dalam tentang Ichiro. Mulai dari kepribadiannya, kebiasaannya, sampai pada hal tentang keluarganya. Bahkan Samatoki mengetahui semua masa lalu Ichiro.


Begitu pun sebaliknya.




"Oh, gitu..." ucap Samatoki pada akhirnya. Walaupun sebenarnya ia sangat khawatir dengan kondisi pemuda sembilan belas tahun tersebut.


Samatoki pun mengambil totebag berisi anting yang mereka beli tadi dari kursi jok belakang. Lalu, ia pun mengambil dua kotak kecil berlapis beludru dari dalam totebag tersebut. Yang satu berwarna merah, dan yang satu berwarna hijau.


"Nih, pake." Titah Samatoki sambil memberikan satu kotak kecil yang berlapis beludru berwarna merah. Saat dibuka, ternyata berisi sepasang anting dengan hiasan batu emerald yang Samatoki beli tadi.


"Eh? Ini bukannya anting yang tadi lu beli?" tanya Ichiro heran.


"Iya. Emang kenapa?"


"Kenapa lu gak make yang ini? Kan lu yang beli anting ini..."


"Gua lebih suka yang ruby..."


Karena tak enak hati, Ichiro pun berniat menolaknya dengan halus. "Tapi—", tahu Ichiro akan menolak, Samatoki pun langsung memotong perkataanya. "Jangan menolak. Ini perintah dari gua."


"O-okey..."


Jujur saja, Samatoki dari awal memang berniat ingin membelikan sebuah aksesoris untuk Ichiro. Saat ia menemukan anting berhiaskan batu emerald tersebut, ia langsung meminta pendapat pada sang penerima. Dan secara tidak langsung, Ichiro menyetujuinya.


Tapi yang namanya 'gengsi', pasti membuat seseorang tidak mau jujur dengan perasaannya sendiri. Dan malah membuat alasan lain agar perasaan yang sebenarnya ia rasakan tertutupi~


Dalam waktu 2 menit, Samatoki pun sudah selesai memakaikan anting miliknya pada cuping telinganya sendiri. Ia pun melirik Ichiro. Terlihat, pemuda bersurai hitam tersebut nampak kesulitan memasangkan antingnya pada cuping telinga kirinya.


Samatoki pun mengambil anting tersebut dari tangan Ichiro. "Sini gua pakein." Ujar Samatoki. Ichiro pun mengangguk tanda setuju.


Saat Samatoki memakaikan anting pada cuping telinga kirinya, degup jantung Ichiro kembali tidak normal. Apalagi wajah mereka saat ini berdekatan. Ditambah lagi penampilan Samatoki dengan surai yang ditata kebelakang. Tanpa sadar, Ichiro memalingkan wajahnya.


'Tuh kan... Dia ngalihin pandangannya lagi dari gua...' batin Samatoki.


"Oke. Udah selesai," ucap Samatoki.


"Ma-Makasih..." balas Ichiro sambil menundukkan wajahnya. Sesekali, kedua manik dwiwarnanya melirik ke arah Samatoki.


Tak tahan dengan kelakuan Ichiro saat ini, membuat Samatoki penasaran. Apa yang membuat Ichiro terus-menerus mengalihkan pandangannya dari dirinya.


"Hey, Ichiro..." panggil Samatoki dengan nada suara rendah namun lembut. Ia pun kembali mendekatkan dirinya pada Ichiro.


Dengan nakal, jari-jari Samatoki yang dingin menyentuh perpotongan leher Ichiro. Lalu menelusuri setiap jengkalnya. Karena perlakuan hal itu, seketika bulu kuduk Ichiro meremang.


"Sa-Samatoki! Wait..." ucap Ichiro dengan nafas yang tertahan sambil menahan lenguhan yang ingin keluar dari mulutnya.


Samatoki paham betul tentang Ichiro. Termasuk bagian-bagian sensitif di tubuhnya. Salah satunya, leher. Walau hanya sekedar disentuh saja, Ichiro tak akan tahan. Dan mungkin lenguhan pelan atau desahan kecil, akan keluar dari mulutnya.


Tapi, sepertinya Ichiro sedang berusaha untuk menahan lenguhan maupun desahan yang ingin keluar dari mulutnya. Bahkan rona merah di wajah pemuda dwiwarna tersebut sampai terlihat dan mulai menjalar ke telinganya.


"Please tell me why.... Ichiro..." bisik Samatoki dengan sensual di telinga Ichiro. Salah satu bagian sensitif di tubuhnya, selain leher.


"Mmm! Stop this...Samatoki!" geram Ichiro kesal. Sembari menggigit ujung bibirnya, untuk menahan desahan yang ingin keluar dari mulutnya. Mau bagaimana lagi? Kuda albino di hadapannya menyerang dua titik sensitif Ichiro secara bersamaan.


Namun sayang, Samatoki tak mau mendengar perkataan Ichiro. Dan malah melanjutkan perkataannya yang tadi sengaja ia potong. "Why you didn't want to see me?" bisiknya lagi dengan sensual sambil mengelus perpotongan leher Ichiro. 


Mana mungkin gua bilang ini semua karena jidatnya, pikir Ichiro. 


"Hah... Pe-perasaan lu aja kali... Mmmh!" ujar Ichiro yang masih berusaha menahan desahannya. 


"You're lie right?" 


"No... Ngghh!" 


"Really?" 


"Iya... Ngghh... Sekarang, boleh berhenti, kan?" 


"Entah?" 


 "What?! Samatoki—ah!" satu desahan kecil lepas dari mulut Ichiro. Akibat perlakuan dari pria Yakuza di hadapannya. Menggigit cuping telinganya. 


Sadar akan perbuatannya yang membuat Ichiro mendesah kecil, Samatoki pun menarik tangannya dari leher Ichiro lalu menjauhkan tubuhnya. "Sorry, gua gak seharusnya kayak gitu ke elu. Karena gua bukan cowok lu lagi," ujar Samatoki datar. 


"Mmm... Iya, gak papa." 


. 


"Sialan... Aku kelewatan. Sampai lupa kalau anak ini bukan lagi milikku..." –Samatoki. 


"Padahal aku tak masalah kalau kau melanjutkannya. Aku rindu sentuhan darimu..." –Ichiro.


....


Setelah beberapa lama berdiam diri dalam sedan tanpa satu kata pun, akhirnya Samatoki mengajak Ichiro untuk segera keluar dari sedannya. Lalu, beranjak pergi dari tempat parkir menuju sebuah gedung yang terletak persis disampingnya.


"Ini tempat apaan, sih?" tanya Ichiro saat mereka sudah berada di depan gedung tersebut.


"Ntar lu juga tau, bocah. Intinya, nih tempat isinya busuk semua." Samatoki sengaja menekankan kata 'busuk', bermaksud untuk memberitahu Ichiro bahwa tempat yang mereka tuju sangatlah menjijikkan.


Saat ingin memasuki gedung tersebut, mereka dihadapkan oleh dua penjaga bertubuh kekar dengan setelan jas hitam. Kedua penjaga tersebut meminta mereka untuk menunjukkan kartu 'anggota'. Samatoki pun mengambil kartu yang dimaksud dari dalam jasnya, lalu menunjukkannya pada kedua penjaga tersebut. Baru setelah itu, mereka berdua diperbolehkan masuk.


"Penjagaannya ketat amat..." gumam Ichiro.


"Soalnya tempat ini gak bisa dimasukkin sembarang orang, bocah. Oh iya, lu kan bocah... Bocah mah mana paham," ledek Samatoki dengan seringai khas di wajahnya.


"Bacot lu njir,"


Saat mereka memasuki tempat tersebut, mereka disambut oleh beberapa pelayan pria. Ternyata, gedung tersebut berisi bar dan tempat perjudian. Dengan status bintang lima. Selain itu, ada beberapa fasilitas lengkap lainnya. Termasuk fasilitas 'penghibur diri'.




Yang membuat Ichiro terkejut, bukanlah hal itu...


Melainkan adanya beberapa orang yang biasa menjadi sorotan publik...


Seperti orang-orang pemerintahan, pejabat, pengusaha, dan beberapa menteri dari negeri ini...


Bahkan beberapa selebritis jepang juga berada di tempat ini...




"Tempat ini sering dijadikan pusatnya pencucian uang, penggelapan dana, kasus prostitusi online, jual-beli senjata ilegal, dan lain-lain. Dan juga biasa dijadikan sebagai tempat 'penghibur diri'. Untuk memasukinya juga sangatlah sulit, maka dari itu tempat ini terisolasi dari publik." Jelas Samatoki yang sadar akan keterkejutan Ichiro melihat beragam 'orang penting' disini.


"Pantas saja kau menyebut tempat ini busuk. Bagiku mungkin lebih dari busuk..." ucap Ichiro.


"Oh iya, ngomong-ngomong... Kenapa tempat ini, semuanya isinya lelaki?" tanya Ichiro.


"Hah? Tentu saja. Tempat ini kan dikhususkan untuk para gay saja. Memangnya kau tidak lihat tulisan di depan pintu masuk tadi?" jawab Samatoki yang heran dengan pertanyaan Ichiro.


"Hah?! Gay?!"


Sepertinya hal buruk akan terjadi, pikir Ichiro.


Tbc...




Hae~


Maap lama~


Maap kalo jelek dan gak nyambung~


Bye~


Jangan lupa vote wankawan~

Comment