Ke Pedalaman

Kami akhirnya sampai di basecamp kami di kecamatan N. Leena yang duluan turun, rumahnya lebih dekat ke terminal sementara kami masih jauh di depan lagi. Kami lalu turun ke basecamp, melapor ke paroki. bagi yang belum tau, paroki itu semacam kantor layanan untuk agama katolik yang biasanya terdiri dari beberapa wilayah kira-kira seluas beberapa desa. nah, ternyata, tempat tugas kami bukan di paroki dalam kota ini, tetapi lebih ke pedalaman lagi. 


Wah pas banget dengan hobbynya Oceph. dia memang suka alam liar. soal mendaki gunung, arung jeram, tangguh dia. gue dan Cito harus nyesuaiin diri. Rencananya kami nunggu jemputan besok pagi. Kami diantar dengan jeep ke perbatasan wilayah, yang ternyata disambung jalan setapak sehingga gak bisa dilalui mobil. Perjalanan selanjutnya on foot. Wuihh.


Sebelum berangkat, kami sudah briefing singkat. soal tujuan kami ke pedalaman itu, di sana ada sebuah sekolah dasar. rencananya kami praktek di sana mengajar agama. itu sebuah sekolah baru, belum lima tahun dibangun. dan kami diberitahu kalau warga di sana nggak bisa bahasa melayu, sebutan lokal di sini untuk bahasa Indonesia. 


Wah, tantangan banget itu. 


"Komunikasinya dengan umat gimana?" gue tanya ke pembimbing gue.


"Ntar ada yang jadi penerjemah. Guru-guru di sana gak semuanya bisa. kebanyakan kan guru dari luar. Belum mahir bahasa lokal. tapi ada seorang guru nanti yang membantu."


Ok, rombongan pun siap berangkat. Gak banyak barang tambahan, cuma gue tadi beli sandal sama perlkengkapan MCK plus tikar. lokasi di sana jauh dari tempat belanja jadi antisipasi dari awal. Gue taunya semyua disiapin tapi gak apa=apa untuk jaga-jaga.


Perjalanan dengan jeep benar-benar mirip road race. Syukure syukur pas ketemu karang keras, roda jeep menggelinding aja biasanya. tapi kalau ketemu tanah liat, slipnya menjadi-jadi. terpaksa harus turun dan dorong. Syukurlah jelang jam sebelas kami sudah sampai di persimpangan. Persimpangan ini adalah cabang antara jalan yang bisa dilalui roda empat dan perjalanan lanjutan yang masih harus ditempuh dengan berjalan kaki.


Kayak merayap saja kami di awal perjalanan. Perkiraan sebenarnya kami dijemput jam dua siang. itu perhitungannya dengan pertimbangan kendaraan macet di tengah jalan. tetapi ternyatakami tiba lebih cepat, sehingga jam sebelas kami sudah tiba di persimpangan.


"Gimana nih, nunggu aja?" sopir jeep kami nanyain.


"Ah gak asik," Cito mengeluh, ambil tasnya, lalu berjalan duluan.


"Gimana, atlet kok kalah sama bendahara?" gue nantang si Oceph.


"Okelah. Kita cabut aja duluan."


kami bertiga akhirnya mutusin jalan kaki sembari menunggu para penjemput.


"Ada satu jalan saja ke sana. Beberapa penjemput sudah diatur, tetapi mereka sedang dalam perjalanan." begitu kata si sopir.


Mendaki ternyata tantangan banget. apalagi dengan beban tas ransel. belum lagi kardus kardus milik cito dan oceph. tapi gue sama teman-teman gu gak mau kalah. Ternyata yang jadi champion adalah si oceph. atlet tulen dah. dia sudah lancar jaya di punggung bukit sementara gue sama cito masih merayap kayak siput.


"Woi cepat woi...." sombong dia di atas sana teriakin kami. Belum kering keringat, gue bareng cito terpaksa ya harus lanjut lagi. Sampai di atas, pemandangannya luas karena tanahnya gundul. gue sama cito heran lihat ke sana kemari.


"Sep, mana kampungnya?"


"Mana gue tau... ikutin aja jalan ini terus"


Kami bertiga lanjut berjalan. Kali ini jalanannya menurun. Jalan setapak di atas tanah putih ini terlihat terus ke arah lembah. ada sebuah bukit kecil di tengah-tengah lembah sana, di mana ujung jalan ini berakhir. jalan selanjutnya tidak lagi kelihatan lagi karena dihalangi bukit kecil itu.


"Wah daripada capek mending guling aja deh  tas ini."


 Cito yang sudah kepayahan lebih dulu mengguling tasnya. tasnya meluncur lebih dulu lalu tertahan di batang semak puluhan meter di bawa sana.  


"Wah boleh juga tuh" gue nyusul guling tas gue.


Tas gue lalu melucur turun ke lembah dan akhirnya tertahan di batu karang. lebih jauh dari punya Cito.


Si Osep sebenarnya mau pikul aja tasnya tapi akhirnya menyerah, ikut guling tasnya. Kami menyusul menuju tas kami lalu menggulingkannya lagi. tasnya memang jadi kotor di sana sini. tapi masih mendingan daripada harus kami pikul. tobat pikulnya waktu mendaki tadi. Ya jangankan gue sama cito, si osep yang kampiunnya atlet pun nyerah tadi.


Nah, saat asyik asyik guling guling tas inilahg para penjemput kami tiba.


"Itu mereka" terdengar suara seorang anak laki-laki.


Oh ternyata itu tim yang disuruh menjemput. Di belakangnya muncul seorang yang lebih dewasa,memakai sarung dan pinggangnya bergantung parang.


Anak-anak pada berlarian menjemput kami. adasekitar sepuluhorangmereka. si pria ituyangtampaknya jado pemimpin.


"Duh, kenapa gak nunggu kami di persimpangan?" si pria yang kenialin namanya Rufus itu berntanya. "Berat lho kalau harus pikul sendiri." katanya sambil liat tas-tas kami.


MEngikuti pak rufus, anak-anak itu gantian menyalami kami.


"Wah, rajin-rajin ya?" gue jabatr tangan mereka. ANak-anak ini kelihatan lincah-lincah. tak terlihat lelah meskipun perjalanan mereka mungkin saja tidak kalahjauh dengan perjalanan yang sudahkami tempuh.


"Anak-anak, ayo gantian bawa tas ini." perintah pak rufus.

















Comment